GAYA HIDUP

Biyan ”Humba Hammu” Jembatan Cinta Sumba


BAGAIMANA mungkin tidak jatuh cinta pada Pulau Sumba? Secuil surga kecil di Indonesia timur itu memikat perancang busana Biyan Wanaatmadja hingga melahirkan ”Humba Hammu”, Sumba yang Cantik. Koleksi busana berbasis tenun ikat itu menjadi jembatan untuk menilik kecantikan  yang,bagi sebagian besar, orang masih tersembunyi.[baca selengkapnya]

⇦⇧⇨

Senyuman Perlawanan…

Di Bukit Barede, semangat Pangeran Diponegoro hidup kembali. Warga di bukit ini bersatu mempertahankan tanah dan memberdayakan diri melawan kekuatan modal dengan cara santun dan beradab: pantang menjual tanah, tetapi mengolahnya menjadi tempat wisata. Mereka melawan dengan senyuman agar tamu tetap datang.[...]
⇦⇧⇨

Para Pencari Kedamaian

Rumah menjadi alasan bagi Agus Kuncoro untuk selalu pulang. Sejauh-jauhnya pergi, ia akan selalu menemukan alasan untuk pulang, yakni menemui sumber kebahagiaan dan kedamaiannya di rumah: anak dan istri.
Agus muncul dari balik tangga yang mengantar kami tiba di lantai dua rumahnya. Penampilannya segar karena baru saja mandi meski wajahnya masih ”muka bantal”. Ia baru tiba di rumah pukul 04.00 setelah hampir 24 jam berada di lokasi shooting. Sejak awal tahun, setiap hari tanpa jeda Agus harus melakukan pengambilan gambar untuk sinetron terbarunya, Dunia Terbalik, yang sudah tayang lebih dari 550 episode. Sinetron yang ditayangkan sebuah televisi swasta ini berkisah tentang para pria yang ditinggal istri masing-masing untuk bekerja sebagai TKI di luar negeri. Dengan pola shooting kejar tayang, Agus harus sudah di lokasi shooting di Cibubur, Jakarta Timur, pukul 10.00 atau 11.00. Jika beruntung, ia sudah bisa pulang pukul 22.00. Namun, jika tidak, ia bisa tiba di rumah menjelang subuh dan hanya sempat tidur beberapa jam. Akibatnya, Agus hanya bisa bertemu anaknya sekejap, yakni saat Kun Keirra Gayla (9) pamit berangkat ke sekolah. Acara nonton ke bioskop atau makan bersama di mal yang biasa ia lakukan bersama keluarga di akhir pekan juga menjadi sulit dilakukan. ”Paling saya menemani anak main sepeda di seputar kompleks,” ungkap Agus yang juga hobi naik sepeda.
Sepeda balap tampak ditaruh di foyer atau ruang transisi di lantai bawah. Terlihat pula beberapa helm dan kacamata aksesori bersepeda. Setiap Selasa dan Kamis, Agus menyempatkan diri untuk bersepeda minimal 60 kilometer. Ia akan putar-putar area Bintaro di dekat rumahnya. Jika hari sedang hujan atau ia hanya punya waktu sedikit karena harus segera shooting, Agus menggotong sepedanya ke lantai dua. Roda belakang sepeda ia copot dan dihubungkan dengan alat yang membuat sepeda itu seperti sepeda statis. Sepeda juga dihubungkan dengan program komputer sehingga bisa disetel kecepatan putar rodanya. Sepeda ini ditaruh di dekat dinding kaca yang menghadap lapangan yang sekelilingnya ditanami pepohonan. Dinding-dinding di lantai dua rumah Agus memang didominasi kaca sehingga ruangan terasa terang dan lapang. Dari ruang makan atau ruang keluarga yang posisinya jauh dari dinding luar masih terlihat suasana luar rumah yang dihiasi pepohonan. ”Saya suka rumah yang meskipun di dalam rumah, suasananya kayak di luar. Saya juga suka rumah yang banyak sinar matahari,” ungkap anak keempat dari lima bersaudara ini.

Tabrak unsur

Jika Agus hobi bersepeda, sang istri, Anggia Jelita, hobi lari. Puluhan medali keikusertaan berbagai ajang lari milik Anggia tergantung di sudut foyer. Bulan depan, Anggia yang mengikuti Nusantarun berencana berlari sejauh 127,9 kilometer Purwokerto-Dieng untuk menggalang donasi bagi pengembangan 400 guru di Dieng lewat Kitabisa.com. ”Kalau istri saya hobinya serem, senangnya lari trail ke gunung-gunung. Sudah pernah ke Bromo, Tengger, Semeru, Gede. Mungkin dia ada masalah sama suaminya di rumah jadi lari ke gunung,” kata Agus, tentu saja bercanda. Agus mengaku sering deg-degan melihat hobi istrinya itu. Ia berniat mengarahkan sang istri agar beralih lari di jalan raya saja. Meski begitu, Agus mengaku, penting bagi suami istri, masing-masing punya hobi yang berbeda. ”Enggak seru kalau hobinya sama. Di luar, di dalam rumah yang diomongin nanti sama,” lanjut aktor yang paling diingat akan perannya di sinetron Para Pencari Tuhan. Dulu, ketika baru menikah, Agus dan Anggia juga hobi main bilyar di ruangan yang terletak dekat pantry. Kadang-kadang mereka mengundang teman-teman untuk ikut main bersama. ”Jagoan istri saya kalo main bilyar. Sekarang, saya mending main PS saja, ha-ha-ha,” kata Agus. Di rumah, keluarga ini paling suka bercengkerama di ruang yang menghadap dinding kaca atau di ruang keluarga yang menghadap ke televisi. Tidak ada sekat antar-ruangan. Masing-masing hanya ditandai dengan lantai yang berbeda. Ini salah satu tabrak unsur yang disukai Agus dalam menata interior rumah. Misalnya, di ruang keluarga yang dekat dengan dinding kaca, lantainya dihiasi marmer. Setelah itu, ruang di sebelahnya ditutup lantai kayu yang pada titik-titik tertentu diberi kaca berbentuk lingkaran sebagai akses sinar bagi ruang di bawahnya, yakni foyer. Antara lantai marmer dan kayu dibatasi dengan keramik bermotif sulur flora sebagai transisi.
Setelah itu, ruang keluarga di dekat televisi kembali berlantai marmer. Ruang makan dan pantry di sebelahnya berlantai motif kayu dari vinyl. Begitu pula dengan dinding. Salah satu dinding di ruang keluarga dihiasi batu-batu alam yang biasa dipakai pada dinding luar rumah dan kemudian disusun secara horizontal (susun sirih). Dinding bagian luar rumah dan foyer dilapisi batu bata biasa. Hasil pembakaran yang membuat warna batu bata bervariasi, mulai dari merah hingga kehitaman, memang sengaja dicari untuk memperkaya nuansa. Foyer dibatasi pintu utama dari kaca yang dipasang miring. Pintu kaca membuat ruangan tidak terkesan sempit dan gelap. ”Semula pintunya dari gebyok. Tapi, kata orang, kita enggak tahu, dulu gebyok itu dari rumahnya penjahat atau orang baik, jadi lebih baik kalau rumah baru pakai pintu baru saja,” kata Agus yang tinggal di rumah ini sejak menikah tahun 2005. Pintu utama rumah semula dua, yakni yang dapat diakses lewat tangga di depan rumah dan yang terletak di samping. Namun, kemudian diputuskan pintu di samping yang dijadikan pintu utama. ”Kata orang kalau pintu utamanya dua, nanti istrinya dua. Jadi, oleh istri saya, langsung dibikin pintunya satu saja, yang di samping. Tangga depan tidak difungsikan lagi,” ungkap Agus sambil tertawa. Agus hobi membaca buku, seperti Rabindranath Tagore dan Leo Tolstoy. Namun, akhir-akhir ini ia semakin sulit mencari waktu untuk membaca. Banyak buku yang sudah dibelinya belum sempat dibuka. Tempat favoritnya membaca adalah sofa merah di ruang keluarga, kursi di lantai mezzanine antara lantai dua dan lantai tiga tempat kamarnya berada, atau di dekat kolam ikan yang dibuat di lantai dua. ”Membaca penting banget untuk aktor karena menumbuhkan daya imajinasi,” kata Agus.[Sumber :Kompas Minggu,5 November 2017 |OLEH: SRI REJEKI]
= 0 =


AKSEN | Kembali ke Akar
 - ᴑ⃝ᴑ -

Kisah Kopi dari Kaki Ijen


Masyarakat adat Using di Kemiren, Banyuwangi, Jawa Timur, punya hajat setiap tahun, yakni menyuguhkan kopi kepada setiap pengunjung di Festival Kopi Sepuluh Ewu. Festival itu tak hanya sekadar acara ngopi. Festival itu menjadi representasi cara warga Using menjamu tamu secara tradisional yagn dibalut dengan gaya kekinian.


Duduk dulu dengan nyaman, saya tuangkan kopi dari kaki Ijen untuk suguhan,” kata Nidom Joesron, peracik kopi asli Banyuwangi. Di tengah kesibukannya menerima tamu, Nidom pun meracik empat cangkir kopi spesial. Dua kopi arabika dan dua kopi robusta. Masing-masing diperlakukan istimewa agar aroma asli kopi tetap terasa. Pertama, Nidom membasuh cangkir dengan air panas, lalu menuang 6 gram kopi, kemudian menuang perlahan air panas yang sudah disiapkan di teko setengah cangkir. Setelah muncul crema atau buih kopi, ia menambah lagi air hingga cangkir penuh. Aroma kopi segar segera menyebar. Para tamu diminta menebak aroma apa yang muncul dari kopi yang di-roasting Nidom. Kepada mereka, Nidom bercerita tentang kopi beraroma rempah dari kebun Belawan di sebelah barat kaki Ijen. Kisah tentang kopi di kaki Gunung Ijen pun berlanjut sepanjang malam. Cerita tentang kopi dengan cara yang lebih tradisional juga disampaikan oleh Pak Slamet (53), warga Kemiren. Pak Slamet bukan seorang peracik kopi. Dia adalah petani yang punya sedikit pohon kopi di kebunnya. Namun, ia bisa bercerita tentang kisah ikatan kopi dengan para buyutnya. Slamet saat masih kecil ingat betul, setiap pagi, siang, dan sore, kakek-neneknya menghidangkan kopi di cangkir keramik kecil kepada setiap tamu yang datang. Kopi dihidangkan terpisah dengan gula aren yang menjadi pemanis kala itu. Sudah menjadi tradisi bahwa setiap tamu di Kemiren dianggap membawa rezeki. Oleh karena itu, tuan rumah mengeluarkan minuman terbaik mereka untuk dinikmati, yakni kopi yang diracik sendiri. ”Istilah kami adalah sonjo atau berbincang santai sambil ngopi,” kata Slamet. Sabtu (21/10) sore itu, dalam Festival Ngopi Sepuluh Ewu, Slamet mengulang tradisi para buyutnya, menjamu tamu yang datang. Ia menggunakan cangkir-cangkir yang sama seperti yang digunakan para buyutnya untuk menjamu tamu. Cangkir warisan turun-temurun.

Tradisi ”ngopi”

Ngopi Sepuluh Ewu menjadi acara tahunan di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi, Jawa Timur. Acara itu digelar saat musim petik kopi tiba. Setiap acara Ngopi Sepuluh Ewu tiba, warga mengeluarkan meja dan kursi di teras dan pinggir jalan untuk memberi tempat duduk para tamu atau wisatawan yang datang berkeliling kampung itu. Mereka mempersilakan duduk serta menghidangkan kopi dan jajan pasar buatan sendiri kepada para tamu yang belum mereka kenal sebelumnya. Temaram lampu, sinar bulan, dan alunan musik angklung Kemiren dari atas paglak atau menara bambu turut membuat semarak malam itu. Dari ngobrol santai minum kopi itulah keakraban terjalin. Warga di Kemiren mempunyai semboyan sak corot kopi dadi seduluran, yang artinya dari seteko kopi jadilah jalinan persau- daraan. Dari sekadar ngobrol santai, rasa persaudaraan pun bisa tumbuh. Ngopi Sepuluh Ewu itu diinisiasi Pemerintah Kabupaten Banyuwangi untuk memopulerkan desa wisata Using di Kemiren. Meski ada di desa, gaya ngopi di tempat itu juga mengadopsi gaya ngopi kekinian. Ada spot untuk foto dan swafoto bersama warga Using yang berpakaian adat hingga spot untuk ngumpul bareng. Ngopi memang representasi gaya hidup masyarakat Using di Kemiren. Mereka tak bisa dipisahkan dari kopi dan tradisi ngopi. Secara geografis, Kemiren dikelilingi perkebunan kopi besar, seperti Kali Bendo, Lidjen, Bumisari, Banyu Lor, Kali Klatak, dan Selogiri. Perkebunan tersebut sudah ada di Banyuwangi sejak zaman Belanda sekitar tahun 1927. ”Dulu, sebagian besar orang di sekitar Ijen kerja di kebun kopi,” kata Setiawan Subekti yang merupakan pakar kopi sekaligus pemilik dari perkebunan kopi di sekitar Kemiren. Sebagian kakek buyut warga Kemiren turut pula menanam satu atau dua pohon kopi di ladang mereka. Hasil kebun itu diambil dan diolah sendiri. Dulu, mereka menyangrainya dengan wajan dari tembikar dan bahan bakar kayu. Kini, mereka masih melakukan hal serupa. Hanya, kopi tak lagi ditumbuk dengan alu, namun digiling di mesin penggiling kopi di pasar-pasar tradisional. Kopi juga menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari warga. Setiap pagi, para petani minum secangkir kopi sebelum berangkat ke ladang atau kebun. Kopi juga menjadi minuman sore sekaligus minuman wajib jika bertamu. Salah satu bukti kedekatan warga Using di Kemiren dengan kopi adalah adanya cangkir-cangkir lawas yang mereka miliki. Cangkir kecil itu bermotif bunga klasik dengan tatakan yang bermotif senada. Senari (56), warga asli Using di Kemiren, mengatakan, cangkir-cangkir keramik kuno itu diwariskan turun-temurun dari kakek buyutnya. Hampir setiap keluarga mempunyai cangkir kopi warisan. Mereka tak hanya punya satu set, namun dua, tiga, bahkan enam set cangkir. Senari memiliki enam lusin cangkir kuno di rumahnya. Tiga lusin miliknya dan tiga lusin lagi milik istrinya. Cangkir tersebut merupakan warisan dari orangtua masing-masing. ”Dua set cangkir telah saya berikan kepada anak-anak saya yang sudah berumah tangga sebagai bekal rumah tangga mereka,” katanya. Menurut Senari, cangkir tersebut hanya digunakan untuk menyuguhkan minuman kopi dan hanya dikeluarkan saat rumahnya kedatangan tamu. Selanjutnya, cangkir-cangkir tersebut akan disimpan di lemari. Bagi warga Kemiren, cangkir keramik adalah alat terbaik untuk menghidangkan kopi panas yang enak. Cangkir keramik lebih tahan panas daripada gelas kaca yang biasa digunakan juga untuk minum air dingin. Jika di Kemiren ada 1.045 keluarga dan masing-masing mempunyai satu set cangkir berisi 12 cangkir, minimal ada 12.540 cangkir di Desa Kemiren. Budaya ngopi orang Kemiren itu menjadi alasan mengapa di desa tersebut tidak ditemukan kedai atau warung kopi. Untuk apa mencari kopi di kedai kalau bisa ngopi di rumah sendiri atau di rumah tetangga. Samsudin Adlawi, budayawan Banyuwangi, menuturkan, warga Using Kemiren menghidupkan filosofi gupuh, lungguh, suguh saat menghadapi tamu yang berkunjung ke rumahnya. Artinya, setiap tamu yang datang akan disambut hangat, dipersilakan duduk nyaman, dan pemilik rumah akan menyiapkan kopi terbaik mereka. Kopi ibarat suguhan wajib. Mereka memberikan kopi yang terbaik untuk para tamu saat mereka datang. ”Bagi orang Kemiren, tamu harus disambut dengan kopi. Kalau tamu minta teh, berarti dia sedang tidak fit,” ucapnya. Kopi dan keramahan orang Using Kemiren sangat terasa dalam pergelaran Kopi Sepuluh Ewu. Kopi yang disuguhkan dan dinikmati tuan rumah dan tamu berasal dari satu seduhan yang sama. Sekali mereka menyeruput kopi yang sama, ikatan persaudaraan di antara mereka terjalin. Sak corotan dadi sak seduluran. Biji kopi robusta. Nidom, pemilik kedai kopi, mengeluarkan biji kopi untuk disajikan kepada pengunjung di kedai miliknya di Banyuwangi, Jumat (20/10). Desi Mirantika (25), warga Desa Kemiren, menyuguhkan kopi menggunakan cangkir peninggalan dari orangtuanya dan kakek-neneknya. Warga Desa Kemiren menyambut tamu dengan suguhan secangkir kopi dalam Festival Kopi Sepuluh Ewu di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi, Sabtu (21/10). Mbah Sainah (61) membuat kucur untuk persiapan kopi sepuluh ewu.[Sumber:Kompas Minggu, 22 October 2017|Oleh :ANGGER PUTRANTO/ SIWI YUNITA/IRMA TAMBUNAN]
 - ᴑ⃝ᴑ -



UNCOVERING CHINA’s cashless society

Decades after Deng Xiaoping’s economic reform, China’s economy continues to evolve. Now, the country is poised to become the world’s first cashless society. The Jakarta Post’s Ika Krismantari and Benni Yusriza recently visited China on the sponsorship of the Chinese Embassy in Jakarta to see how technological advances and the internet have transformed Chinese people’s live in every aspect.
The prevalence of China’s mobile payments is hard to overlook. Not only is everyone  talking about the e-payment platforms, but also people are using them in their daily lives to the point where it seems they can’t live without them.
Tourist guides, shop attendants, street vendors, waiters, snack sellers and buskers all ask if you want to pay or donate using WeCHat or Alipay – the most popular smartphone payment option. Cash may be used as  the last resort.
“I pay for my groceries with this as well as my taxi fares,” 35-year-old Li Nan from Beijing said, while showing off the We Chat Pay app on his phone to The Jakarta Post.
The tourist guide quipped he could not live without the app, which makes his day-to-day transactions much easier.
Cash has become somewhat a relic of the past in China as the cashless trend is  taking hold in the country, with mobile payment becoming a basic necessity.
As of the end of 2016, more than half of China’s population, or about 731 million people, was connected to the internet, and 95 percent of them, or around 695 million, were on mobile internet.
According to a report from scholarly journal Big Data Research, China’s mobile transactions totaled 38.6 trillion yuan (US$5.8trillion) in 2016, or an increase of more than 200 percent from the previous year. Bloomberg columnist Adam Minter even called that year “China’s cashless revolution.”
Another study conducted by the Tencent Research Institute, owned by Tencent – WeChat’s developer –also shows a similar trend of China going toward a cashless society.
Based on WeCHat Pay data and an online survey involving 6,595 respondents, the report showed that. Chinese consumers spent $5.5 trillion through mobile payment platforms last year, about 50 times more than their American counterparts.
Half of the respondents also stated that they conducted less than 20 percent of their monthly transaction with cash. The respondents said they only paid in cash when no other payment methods were available (73 percent) or for small transactions (46 percent).
Both young and old generations in China have agreed that cash is so last year. According to the Tencent study, young people, especially women, lead the cashless trend in china.
The post-80s generation said they spent less than one-fifth of their money each month using cash. But, even the older generation is joining the trend, with 45 percent of respondents born in the 1960s saying they used cashless than 20 percent of the time.
The report also indicates that mobile payments had conquered service industries from travel, entertainment, retail to dinning.
In china, every segment of the dining industry has adopted mobile payment. Fast-food chains and high-end restaurants to fruit vendors and food stands all receive mobile payments.
For example, during our stop at a food stand in Beijing, the shopkeeper refused cash from buyers because she did not have enough cash for change; she kept pointing at a QR code sticker displayed on her stall.
Two tech giants – Tencent and Alibaba, the operator of Alipay – have cashed in on this unstoppable cashes trend in China. Tencent’s earnings almost rippled fro ma year earlier to 6.4 billion yuan due to the rise in mobile payments.
Meanwhile, Alibaba’s 2016 revenue jumped 56 percent to 158.27 billion yuan, driven by online transactions.
Given their successes in China, the two companies are eyeing up expansion abroad. Alipay has entered more than 200 countries and regions under 18 different currencies.
It has more than 40 million registered overseas merchants. Meanwhile, WeChat covers more than 130,000 overseas customers in 13 countries and regions, supporting settlements in 10 currencies.
Key factors
China’s cashless revolution has surprised many, two years ago, British newspaper The Independent billed Denmark to become the world’s first cashless nation.
But, it turns out that the adoption of the mobile payment method has nothing to do with economic development, as the still-developing China is leading the game two years later.
Bank of China reported that mobile payments reached 157 trillion yuan last year, or more than 200 times the amount made in the US.
At this rate, it looks only fair to assume that China, the first country to create banknotes, is set to become the first one to abandon them.
Learning from China’s story, experts have agreed that the ease of adopting the technology is one of the important keys that can sway people toward mobile payments.
The adoption of QR code technology (quick response codes similar to bar codes) is crucial in the development of China’s Internet finance industry.
Payment systems based on QR codes do not require sellers to spend more on credit card machines or bank less. QR codes are more accessible than other more sophisticated technology, like near-filed communication (NFC) technology that not all mobile phones have.
China’s mobile payment industry is rapidly growing also due to its low barriers for consumers mobile payment platforms in China are open to all smartphone users who have bank accounts. They don’t need to have credit cards, making it easier for people to use the technology.
Lessons for Indonesia
China’s success story has enticed many countries to follow suit. A cashless society is a dream that many countries cherish to move toward a more efficient economy, mainly because they would have to print fewer banknotes if their citizens relied on mobile payments.
Economist from the Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Grace Dewi said that the most obvious benefit of developing a cashless system was better financial security.
“With cash, banknotes or coins, people can evade tax because it does  not have names. Cash can easily be misused for illegal transactions, such as corruption or drug business. So, moving to a cashless society will reduce the risk,” said Grace.
However, to make the most of the cashless society, she added, it would highly dpend on how a country integrates the system into society.
“Society is not a monolithic entity. There is the government, law enforcement and the people who are all important to the creation of the cashless system,” Grace said. She attributes China’s success to the fact that the system was built in rather monolithic society.
Following China is probably India. In February, the Indian government introduced the India QR to promote cashless transactions around the country.
Some Africa countries are also on track to becoming cashless societies. Last year, Master card Inc. rolled out a QR code system in Africa that attracted 100,000 Nigerian traders.
In Indonesia, the potential for mobile transactions is promising. The latest figures showed that mobile transactions stood at Rp 7.05 trillion ($523 million) last year, up from Rp 5,28 trillion from the previous year.
In july this year, monthly transactions hit an all-time high of Rp 1.14 trillion. Currently, mobile transactions account for 22.68 percent of total domestic non-cash transactions.
This is an exponential increase compared in 2009, according to Bank Indonesia.
With Indonesia’s mobile device penetration having surpassed its population of more than 250 million, of which 102 million people use smartphones, the country has a bright prospect to become a cashless nation.
As an old saying goes, “Seek knowledge and wisdom even if you have to go as far as China,” it is time for Indonesia to learn from the land of Confucious on this aspect of the material world.
ᴑ⃝ᴑ

EXPERIENCE of modern China just a few clicks away

WHETHER it is strolling around the Summer Palace in Beijing, marveling at the collection of more-than-2,000-year-old terracotta sculptures in Xi’an, savoring a halal delicacy in Muslim Street or experiencing nightlife in Shanghai, the experience of traveling in China is not always on par with the country’s amazing digital progress.
A few years back, many people believed that traveling to China was not for the faint-hearted. It took enormous determination and courage, because visitors had to deal with challenges of culture and language.
One important tip for tourists traveling to China was to always remember to bring their hotel card bearing the hotel’s name in Chinese characters to ensure they would be able to return to base safe and sound.
Now we don’t need to do that anymore, because we can turn to various language apps to help us find our way back to the hotel.
Technology, on the one hand, is indeed a blessing for foreign tourists in China, as its assistance makes life easier, especially for first-time visitors.
Tourists can book admission tickets to tourist  spot and get transportation services with just a few clicks.
Visitors don’t have to worry too much about carrying lots of cash around, because mobile payments are ubiquitous.
Even a candy stall in the Muslim street in Xi’an displays a QR code that people can scan to pay via a mobile payment platform.
The comfort of traveling brought about by technology is expected to boost China’s tourism industry. The Chinese government plans to promote the use of information technology to facilitate the growth of the tourism industry by 2020.
Under the vision, all tourist areas classified as 4A sites or  above will feature free WiFi, audio guides and online reservations .the 4A rating is the second highest in a five-level assessment system. 5A-rates sites include the Great Wall in Beijing and the Museum of the Terracotta Army in Xi’an.

⇐↕⇒
Beauty of Wedari


Beauty of Wedari


↩↕↪

Comments

Popular Posts