HOBI & KOMUNITAS


Dunia Penggila Gambar


TANPA penghapus, tanpa ragu. Sekali garis harus jadi. Saat itu dan di situ. Tak ada rumus pengulangan, apalagi menumpuk-numpuk garis. Jika satu garis gagal, segera singkirkan, ganti media baru. Itulah syarat utama gambar sketsa sebagai karya ”urban sketcher”.
Tanpa penghapus, tanpa ragu. Sekali garis harus jadi. Saat itu dan di situ. Tak ada rumus pengulangan, apalagi menumpuk-numpuk garis. Jika satu garis gagal, segera singkirkan, ganti media baru. Itulah syarat utama gambar sketsa sebagai karya ”urban sketcher”.{baca selengkapnya}

*↩↨↪*

Berdaya di Bale Bengong


Para penulis ini bergabung bukan sekadar untuk berbagi suka dan duka atau membicarakan yang tengah tren untuk bahan penulisan. Melainkan mereka juga menyambangi berbagai kelompok masyarakat untuk berbagi pengetahuan. Tujuannya, untuk memberdayakan. Pelatihan di desa-desa, sekolah, atau di tempat pengungsian bencana pernah diselenggarakan oleh para penulis yang tergabung dalam komunitas yang dinamakan Bale Bengong. Sebenarnya bukan hanya pelatihan menulis. Ada pula pelatihan teknologi informasi hingga jurnalisme warga […]
↩↨↪

BERSAUDARA di Jalan Raya


MELIHAT pemandangan lebih bebas dan berkesempatan menyapa setiap orang yang disinggahi menjadi hal yang membuat orang-orang ini ketagihan menunggang “kuda besi”. Mereka bisa menggeber tunggangan roda dua sejauh-jauhnya, bahkan hingga keliling dunia. Lima puluhan rider (pehobi naik motor) sejak 7 November lalu bertolak dari Jakarta menuju Surabaya. Katanya, mereka tidak ingin sekadar tur gaya-gayaan, tetapi […]
↩↨↪

Dari hulu hingga hilir, lereng gunung hingga rawa, tanah Papua adalah surga pangan. Di tengah hutan sekalipun, dapur masak siap digelar. Beragam jenis bahan pangan dihadiahkan oleh alam untuk diolah sebagai pelepas lapar dan dahaga.
KEKAYAAN alam yang menjadi sumber pangan itu menginspirasi para pencinta kuliner di Papua. Mereka bergabung dalam komunitas Papua Jungle Chef (PJC) sejak 2008. Para koki itu bergerilya menularkan virus “cintai pangan lokalmu” kepada dunia. Di Papua, virus terus menyebar, ari kota hingga pedalaman yang sagunya kian terancam punah.
Alhasil, hutan dan rawa kini bagaikan sebuah mal. Tak perlu keluar uang, alam telah menyediakan. Syarat untuk dapat mencicipi kenikmatan kuliner berbsahan alami ini pun tidak berat. Cukup belajar meramu.
Geliat berburu dan meramu hasil pangan lokal itu akhirnya melegakan Andre Liem, Ketua Papua Tour Guide Community. Ia pernah merasa resah ketika Bandara Internasional biak di buka tahun 1990 an. Kehadiran badnara mendatangkan banyak wisatawan berkunjung. Di satu sisi para pemandu wisata gembira. Mereka menyambut banyak tamu utnuk diantar melancong. Namun, persoalan baru muncul.
Selama mengantar tamu bertualang dari satu tempat ke tempat lain, Andre kerap dihadapkan pada satu pertanyaan. “Di mana tamu-tamu saya dapat menemukan tempat makan yang menyediakan masakan lokal,” ujarnya mengenang.
SAat itu, sagu melimpah di alam Papua. Akan tetapi, di rumah-rumah makan, hampir mustahil mendapatkan menuy lokal dan tradisional. Ambil contoh, papeda, makanan khas dari bahan sagu, telah semaki nlangka. Sulit menemukan warga mengolah sagu jadi papeda. Bahan bakunya ada, tetapi tak banyak lagi generasi muda yang bisa dan mau mengolahnya.
Karena itu, kerap kali ia dapati wisatawan kembali ke negaranya dengan rasa penasaran. Keunikan kuliner Papua menjadi cerita belaka.
Gelisah akan keadaan itu, Andare dan sejumlah pencipta kliner memutuskan berhenti sekadar melancong dan meandu turis. Keidnahan alam Papua perlu disempurnakan dengan keistimewaan kulinernya. Di hutan, bahan sagu masih melimpah. Di sungai, ikan-ikan berseliweran. “Inilah saatnya kami belajar memanfaatkan yang ada di alam,” katanya
Tahun 2008, dimulailah gerakan kuliner lokal. Anak-anak muda, baik mahasiswa, penggerak pariwisata, maupun permuda desa, menginventarisasi kekayaan kuliner dari pedalaman. Hasilnya, mereka dapati betapa banyaknya bahan makanan. Sagu misalnya, ditemukan 11 macam di Distrik Sentani saja. Ubi-ubian ada 20 jenis, keladi ditemukan 10 jenis.
Para orangtua ikut bergabung. Mereka kini getol menularkan warisan pengetahuan kuliner lokal yang masih tersisa. Pelestari kuliner dari Distrik Sentani, Mamai Wehelmina Monim (76), rajin mengajarkan cara meracik berbagai jenis umbi-umbian menjadia makanan lezat. Favoritnya adalah brha, kue basah yang dibuat dari kukusan singkong ubi manis, dan keladi.
Dapur dadakan
Akhirnya, gerakan emgnhidupkan pangan lokal menggeliat di Papua. Di mana saja ada bahan makanan, di situlah dapur dadakan digelar. Dapurnya bukan di rumah ataupun hotel berbintang, melainkan di alam terbuka.
Setelah dipanen, bahan-bahan diolah langsung di tempat. Makan di tempat. Di bawah sinar mentari atau rembulan. Tentulah itu sangat istimewa.
PJC dimotori oleh seorang pencinta kuliner, Charles Tato, atau akrab dipanggil Chef Chato. Sepuluh tahun terakhir ia menelusuri sumber-sumber pangan hingga ke pedalaman. Dari petualangannya, Chato mendapati begitu banya kbahan pangan yang dimiliki Papua. Pada masa lalu, bahan-bahan itu diolah tampa bumbu. Di atas tanah yang subur, bahan pagnan memiliki rasa alami yang mewah.
Kepadapara pendatang, ia berupaya memperkenalkan masakan serba bakar dan rebus, dan nyaris tanpa bumbu. Sebab, itulah identitas kuliner asli Papua. Memperkenalkan tradisi itu menajdi sebentuk gastro-diplomasi.
Namun, kata Chato, kuliner Papua tak hendak menutup diri. Pada masa kini, saat lidah mulai dimanjakan rmepah dan bumbu, lahirlah beragam paduan. Kuliner Papua pun melebar dalam masakan Nusantara. Chato mencontohkan, di perkampunga Genyem, Kabupaten Jayapura, terbuka alias tebu telur dulunya hanya, diolah dengna caraq bakar bata. Mereka biasa menyebutnya sayur lilin. Kini, perpaduan dengan budaya modern menghasilkan osen dan tumirs sayur tebu, dengan tambahan minyak kelapa, sedikit garam dan lada.
Kaya rasa
Bukan hanya sagu. Pulau Numfor, Kabupaten Biak Numfor, juga kaya akan hasil pokem aliasa sorgum Bahan itu bisa diolah menjadi tepung untuk sumber karbodrat. “Masyarakat di sana ternyata sudah terbiasa mengolahnya menjadi bubur. Rasanya seperti sereal,” katanya.
Lain lagi di Kabupaten Supriori. Di sana, buah tanaman bakau diolah menjadi makanan pengganti kentang. Chato menceritakan, beberapa menu memang terkesan liar an mengerikan, seprti ulat sagu. akan tetapi, bagi kalangan tertentu , ulat sagu justru paling dicari, apalagi jika menikmatinya di tengah pesta ulat sagu adat Korowai.
Di acara pesta ulat sagu, masyarakat menyiapkan ulat-ulat terbaik. Ulat sagu dicampur dengan sagu, lalu dibakar batu. Seperti apa kenyalnya daging ulat sagu? “Seperti menggit daing buah leci yang lembut,” jawabnya.
Untuk menyesuaikan lidah orang modern, komunitas itu pun membuat modifikasi kuliner. Ulat ditumis dengan minyak kelapa beserta garam hitam dari pegunungan setempat. Kadang-kadang ualt sagu diolah menjadi sate. Bisa dinikmati dengan kecap dan sambal.
Tak kalah seru racikan Martinus, pemuda Desa Adat Soroba, Jayawijaya. Saban waktu ia rajin mendaki gunung utnuk mengumpulkan air garam hita. Lalu, air garam dibwa gulang dalam wadah bamboo. Kembali ke desa, air garam diekstrasi. ia pun menciptakan masakan baru, bubur labu. Bubur dan garam hitam ia suguhkan kepada tamu-tamu yang berkunjung dan menginap di desa wisata itu.
“Mereka senang. Tak menyangka bisa menikmati masakan dengan bahan-bahan khas dari sini,” kata Martinus.
Makanan yang dianggap sederhana bagi masyarakat setempat, menjadi istimewa bagai para pelancong dari luar. Apalagi ketika mereka diajak ikut meramu dan memasak. “Jika mereka bisa ikut olah ,tidak hanya perut kenyang .Wisaatawan lebih puas karena terlibat langsung. Mereka mendapatkan pengetahuan baru juga.” ujarnya.
Komunitas koki Papua menjadi koki-koki yang beraksi di alam terbuka. Saat ini, Papua Junggle
Chef telah beranggotakan 120-an orang. Mereka juag menggagas sekolah pangan. Pada sejumlah festival kuliner di daerah lain, komunitas  ini kerap diundang untuk berbagi pengalaman, misalnya pada Ubud Food Festival yang digelar Mei 2018 lalu.
Pada berbagai kesempatan, mereka menekankan, kekayaan alam Papua adalah dapur termewah yang mereka miliki. Untuk itulah dapur alam itu perlu tetap dijaga. [Sumber: Kompas, Sabtu, 9 Juni 2018|Oleh:Siwi Yunita Cahyaningrum & Irma Tambunan]

Comments

Popular Posts