SOSOK
PERNAH melihat air gambut? Kalau
belum, gampang membayangkannya. Air gambut persis seperti air seduhan teh
kental, berwarna merah kecoklatan. Bedanya, air yang berasal dari tanah
sisa-sisa pelapukan tumbuhan setengah membusuk itu rasanya asam dengan pH sekitar
3.5. Makanya, air gambut tidak layak dikonsumsi. Bagaimana kalau tidak ada air
selain air gambut yagn bisa dikonsumsi? Desi [find out more]
⇘⇅⇙
PETANI Milenal dari Terengge
Saat teman sebayanya masih berjuang menyelesaikan kuliah
sembari menggantung mimpi jadi pegawai negeri sipil atau pekerja kantoran,
Masnawati (22) sudah sibuk mengurusi usaha pembibitan kakao. Itu merupakan
pilihan usaha yang tak lazim bagi perempuan seusianya, setidaknYa di kampung
halamannya di Desa Tarengge, Kecamatan Wotu, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi
Selatan.[find out more]
Saat teman sebayanya masih berjuang menyelesaikan kuliah
sembari menggantung mimpi jadi pegawai negeri sipil atau pekerja kantoran,
Masnawati (22) sudah sibuk mengurusi usaha pembibitan kakao. Itu merupakan
pilihan usaha yang tak lazim bagi perempuan seusianya, setidaknYa di kampung
halamannya di Desa Tarengge, Kecamatan Wotu, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi
Selatan.[find out more]
↺*↻
Membuat Petani Menjadi Seksi
Petani merupakan profesi yang sangat penting bagi keberlangsungan ketahanan pangan dunia. Akan tetapi, semakin sedikit generasi muda yang mau menekuni bidang ini. Oleh sebab itu, profesi petani harus dikemas menjadi seksi, layaknya bintang film ataupun foto model.Petani harus menarik perhatian.
Prinsip itu dipegang teguh oleh Cherrie Atilano (31), pendiri perusahaan agribisnis Agrea dan Yayasan Agrea yang berbasis di Pulau Marinduque, Filipina. ”Profesi petani sama dengan pekerjaan lainnya. Harus dikembangkan dan dipromosikan sesuai dengan perkembangan zaman,” kata Atilano saat ditemui di Jakarta, akhir Oktober lalu. Ia menjadi salah satu pembicara dalam Forum Pangan Asia Pasifik yang menampilkan pakar pertanian, kesehatan, pangan, dan berbagai bidang terkait dari wilayah Asia, Australia, dan Oseania. Acara yang diprakarsai oleh Kementerian Kesehatan dan Yayasan EAT dari Norwegia ini merupakan diskusi pangan terbesar di dunia. Perjuangan Cherrie membuat anak muda menyukai bertani dilakukan melalui sekolah vokasi pertanian yang ia dirikan. Sekolah seluas 2 hektar ini berfungsi sebagai balai latihan kerja terakreditasi pemerintahnya. Sekolah tersebut resmi mengantongi izin mengajar sejak 2015. Setiap angkatan kursus terdiri atas 25 orang yang merupakan putra-putra daerah Marinduque. Di sana, anak-anak muda tersebut mengikuti kursus selama 20-29 hari mengenai pertanian organik hingga peternakan ayam yang ramah lingkungan. Mereka juga mendapat pelatihan pembuatan pupuk ataupun ramuan pertanian organik. Ketika lulus, selain mendapat ijazah, mereka juga tidak dilepas begitu saja. Akan tetapi, mereka juga mendapat pendampingan untuk memulai usaha di bidang pertanian. ”Bentuknya berupa penyuluhan di bidang literasi keuangan, penanaman kesadaran membentuk keluarga petani sehat, dan penguatan organisasi petani,” papar Cherrie. Ia percaya bahwa petani yang sukses tidak hanya karena faktor panen berlimpah, tetapi juga karena memiliki kemampuan manajemen kesejahteraan keluarga dan strategi bertani modern. Bahkan, kini sekolah pertanian Agrea juga memberikan kursus pertanian selama libur sekolah kepada anak-anak ”gedongan” dari perkotaan. Mereka diajarkan untuk peduli dengan makanan yang tersaji di piring setiap hari. Melalui kepedulian itu, anak muda perkotaan juga berkontribusi kepada nasib petani dan pelestarian lingkungan. Anak muda perkotaan harus mendapatkan pengertian bahwa keberadaan petani dan profesi petani adalah profesi penting dalam kehidupan dan harus mendapat perhatian semua pihak. Berkat merekalah berbagai sumber pangan diproduksi dan memberi penghidupan kepada konsumennya.
Anak petani
Kehidupan petani bukan hal baru bagi Cherrie. Darah petani mengalir di dalam tubuhnya. Kedua orangtuanya adalah tuan tanah di Bacolod, Provinsi Negros Occidental, Filipina. Mereka memiliki lahan pertanian tebu. Tidak heran jika sejak kecil Cherrie kerap dibawa ayah untuk melihat-lihat kondisi lahan pertaniannya dan bertemu dengan para petani. Melalui ayahnya pula, ia belajar cara mengelola pertanian yang menguntungkan, baik bagi pemilik lahan, pekerja, maupun lingkungan hidup. Rupanya, masa kecilnya yang berhubungan dengan petani dan pertanian berdampak dalam kehidupan dia selanjutnya. Beranjak dewasa, Cherrie memutuskan kuliah di jurusan pertanian. Meskipun begitu, ketika lulus kuliah, ia tidak langsung bekerja di sektor pertanian. Ia justru masuk ke sebuah perusahaan pengembang properti dan berprofesi sebagai perancang penataan lahan. Namun, gaji besar tidak membuat Cherrie betah atau bertahan di pekerjaannya itu. Dunia pertanian seperti memanggilnya terus. Dua tahun kemudian, ia memutuskan bergabung dengan sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang pemberdayaan petani. Keahliannya di bidang pertanian berguna dalam merancang pemanfaatan lahan secara optimal untuk bertani, beternak, dan perumahan. Bersama LSM itu, Cherrie sudah membantu 1.000 desa di Filipina. Setelah tujuh tahun berkiprah di LSM, Cherrie memutuskan untuk keluar dan mencari hal baru. ”Awalnya saya berat meninggalkan pekerjaan karena energi yang sudah dicurahkan di sana. Namun, salah seorang kerabat bilang di luar sana masih banyak petani yang membutuhkan bantuan. Akhirnya, saya bersemangat kembali,” tuturnya. Kerabat tersebut membawa Cherrie ke Pulau Marinduque yang terletak 8 jam perjalanan darat dan laut dari ibu kota Manila. Marinduque yang berpopulasi 260.000 jiwa adalah provinsi termiskin ke-4 dari 12 provinsi termiskin di Filipina. Dulu, pulau tersebut merupakan tambang perunggu. Pada 1996 terjadi bencana banjir dan longsor akibat pola penambangan yang tidak ramah lingkungan. Industri penambangan pun lumpuh dan penduduk terperosok dalam kemiskinan. Menurut Cherrie, ketika ia pertama kali menginjakkan kaki di Marinduque pada 2014, sebanyak 91 persen beras yang dikonsumsi penduduk diimpor dari Vietnam. ”Padahal, dari segi alam, Marinduque sangat potensial. Kalau diolah dengan baik, bisa diproduksi beras tiga kali lipat dari kebutuhan pen- duduk,” katanya. Hal tersebut belum termasuk potensi produksi sayur-mayur dan hewan ternak. Cherrie lalu mendirikan perusahaan pertanian Agrea yang bermarkas di ibu kota Provinsi Marinduque, Boac. Ia merekrut sarjana-sarjana lokal sebagai pegawai. Selain terdidik, mereka juga mengenal budaya lokal dan memiliki jejaring dengan petani, tokoh masyarakat, dan tokoh agama setempat. Perlahan, Agrea menjangkau kelompok-kelompok tani dan berbagi ilmu mengenai ketahanan pangan, diversifikasi pangan, serta cara penanaman yang ramah lingkungan. Setiap kelompok tani juga dilatih membuat koperasi agar bisa belajar mengelola lahan serta pemasukan dan pengeluaran dari hasil produksi. Total ada 15 kelompok tani yang dibina. Setiap kelompok beranggotakan 70 petani. ”Kami juga mendatangkan profesional untuk melatih petani membuat produk turunan dari hasil produksi. Misalnya, dari panen kelapa juga dibuat kopra, santan kemasan, dan gula merah,” papar Cherrie. Ada pula pelatihan cara mengemas produk yang higienis sekaligus menarik minat calon pembeli.[Sumber: Kompas, Senin, 27 November 2017|Oleh:LARASWATI ARIADNE ANWAR]
Prinsip itu dipegang teguh oleh Cherrie Atilano (31), pendiri perusahaan agribisnis Agrea dan Yayasan Agrea yang berbasis di Pulau Marinduque, Filipina. ”Profesi petani sama dengan pekerjaan lainnya. Harus dikembangkan dan dipromosikan sesuai dengan perkembangan zaman,” kata Atilano saat ditemui di Jakarta, akhir Oktober lalu. Ia menjadi salah satu pembicara dalam Forum Pangan Asia Pasifik yang menampilkan pakar pertanian, kesehatan, pangan, dan berbagai bidang terkait dari wilayah Asia, Australia, dan Oseania. Acara yang diprakarsai oleh Kementerian Kesehatan dan Yayasan EAT dari Norwegia ini merupakan diskusi pangan terbesar di dunia. Perjuangan Cherrie membuat anak muda menyukai bertani dilakukan melalui sekolah vokasi pertanian yang ia dirikan. Sekolah seluas 2 hektar ini berfungsi sebagai balai latihan kerja terakreditasi pemerintahnya. Sekolah tersebut resmi mengantongi izin mengajar sejak 2015. Setiap angkatan kursus terdiri atas 25 orang yang merupakan putra-putra daerah Marinduque. Di sana, anak-anak muda tersebut mengikuti kursus selama 20-29 hari mengenai pertanian organik hingga peternakan ayam yang ramah lingkungan. Mereka juga mendapat pelatihan pembuatan pupuk ataupun ramuan pertanian organik. Ketika lulus, selain mendapat ijazah, mereka juga tidak dilepas begitu saja. Akan tetapi, mereka juga mendapat pendampingan untuk memulai usaha di bidang pertanian. ”Bentuknya berupa penyuluhan di bidang literasi keuangan, penanaman kesadaran membentuk keluarga petani sehat, dan penguatan organisasi petani,” papar Cherrie. Ia percaya bahwa petani yang sukses tidak hanya karena faktor panen berlimpah, tetapi juga karena memiliki kemampuan manajemen kesejahteraan keluarga dan strategi bertani modern. Bahkan, kini sekolah pertanian Agrea juga memberikan kursus pertanian selama libur sekolah kepada anak-anak ”gedongan” dari perkotaan. Mereka diajarkan untuk peduli dengan makanan yang tersaji di piring setiap hari. Melalui kepedulian itu, anak muda perkotaan juga berkontribusi kepada nasib petani dan pelestarian lingkungan. Anak muda perkotaan harus mendapatkan pengertian bahwa keberadaan petani dan profesi petani adalah profesi penting dalam kehidupan dan harus mendapat perhatian semua pihak. Berkat merekalah berbagai sumber pangan diproduksi dan memberi penghidupan kepada konsumennya.
Anak petani
Kehidupan petani bukan hal baru bagi Cherrie. Darah petani mengalir di dalam tubuhnya. Kedua orangtuanya adalah tuan tanah di Bacolod, Provinsi Negros Occidental, Filipina. Mereka memiliki lahan pertanian tebu. Tidak heran jika sejak kecil Cherrie kerap dibawa ayah untuk melihat-lihat kondisi lahan pertaniannya dan bertemu dengan para petani. Melalui ayahnya pula, ia belajar cara mengelola pertanian yang menguntungkan, baik bagi pemilik lahan, pekerja, maupun lingkungan hidup. Rupanya, masa kecilnya yang berhubungan dengan petani dan pertanian berdampak dalam kehidupan dia selanjutnya. Beranjak dewasa, Cherrie memutuskan kuliah di jurusan pertanian. Meskipun begitu, ketika lulus kuliah, ia tidak langsung bekerja di sektor pertanian. Ia justru masuk ke sebuah perusahaan pengembang properti dan berprofesi sebagai perancang penataan lahan. Namun, gaji besar tidak membuat Cherrie betah atau bertahan di pekerjaannya itu. Dunia pertanian seperti memanggilnya terus. Dua tahun kemudian, ia memutuskan bergabung dengan sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang pemberdayaan petani. Keahliannya di bidang pertanian berguna dalam merancang pemanfaatan lahan secara optimal untuk bertani, beternak, dan perumahan. Bersama LSM itu, Cherrie sudah membantu 1.000 desa di Filipina. Setelah tujuh tahun berkiprah di LSM, Cherrie memutuskan untuk keluar dan mencari hal baru. ”Awalnya saya berat meninggalkan pekerjaan karena energi yang sudah dicurahkan di sana. Namun, salah seorang kerabat bilang di luar sana masih banyak petani yang membutuhkan bantuan. Akhirnya, saya bersemangat kembali,” tuturnya. Kerabat tersebut membawa Cherrie ke Pulau Marinduque yang terletak 8 jam perjalanan darat dan laut dari ibu kota Manila. Marinduque yang berpopulasi 260.000 jiwa adalah provinsi termiskin ke-4 dari 12 provinsi termiskin di Filipina. Dulu, pulau tersebut merupakan tambang perunggu. Pada 1996 terjadi bencana banjir dan longsor akibat pola penambangan yang tidak ramah lingkungan. Industri penambangan pun lumpuh dan penduduk terperosok dalam kemiskinan. Menurut Cherrie, ketika ia pertama kali menginjakkan kaki di Marinduque pada 2014, sebanyak 91 persen beras yang dikonsumsi penduduk diimpor dari Vietnam. ”Padahal, dari segi alam, Marinduque sangat potensial. Kalau diolah dengan baik, bisa diproduksi beras tiga kali lipat dari kebutuhan pen- duduk,” katanya. Hal tersebut belum termasuk potensi produksi sayur-mayur dan hewan ternak. Cherrie lalu mendirikan perusahaan pertanian Agrea yang bermarkas di ibu kota Provinsi Marinduque, Boac. Ia merekrut sarjana-sarjana lokal sebagai pegawai. Selain terdidik, mereka juga mengenal budaya lokal dan memiliki jejaring dengan petani, tokoh masyarakat, dan tokoh agama setempat. Perlahan, Agrea menjangkau kelompok-kelompok tani dan berbagi ilmu mengenai ketahanan pangan, diversifikasi pangan, serta cara penanaman yang ramah lingkungan. Setiap kelompok tani juga dilatih membuat koperasi agar bisa belajar mengelola lahan serta pemasukan dan pengeluaran dari hasil produksi. Total ada 15 kelompok tani yang dibina. Setiap kelompok beranggotakan 70 petani. ”Kami juga mendatangkan profesional untuk melatih petani membuat produk turunan dari hasil produksi. Misalnya, dari panen kelapa juga dibuat kopra, santan kemasan, dan gula merah,” papar Cherrie. Ada pula pelatihan cara mengemas produk yang higienis sekaligus menarik minat calon pembeli.[Sumber: Kompas, Senin, 27 November 2017|Oleh:LARASWATI ARIADNE ANWAR]
⇐⇕⇒
Antara Nobel dan ”Teleport”
Jason dan
Samson adalah kombinasi yang menarik. Yang satu kecil kurus, serius, pemalu.
Yang lain kekar, santai, dengan tawa yang lepas. Dua kali bertemu, Jason selalu
mengenakan kemeja rapi, sepatu kanvas, dan berkaus kaki. Sebaliknya, Samson
selalu muncu
#(kiri) dan Jason Kristiano
(kanan, berkacamata), fisikawan muda yang telah memperbaiki teori sudut spin
partikel fermion.
Bernama
lengkap Jason Kristiano, pada usia belum 20 tahun, risalahnya sudah dimuat di
Physical Review C edisi November 2017 keluaran American Physical Society. Ini
adalah jurnal fisika paling bergengsi, bahkan risalah seorang doktor pun belum
tentu diterima. Jason mahasiswa S-1 Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Indonesia (UI). Samson Clymton (24), mahasiswa S-2
Jurusan Fisika UI, membantu dalam perumusan. Samson sudah menulis dua risalah
di jurnal yang sama, dan risalah ketiga dibuat bersama Jason. Samson tak hanya
menguji silang dan membetulkan rumus Jason, tetapi juga jadi teman diskusi.
”Dalam fisika teori, apalagi teori seperti ini, mentok kalau dikerjakan
sendiri,” kata Terry Mart, guru besar tetap bidang fisika, pembimbing mereka.
Rumus apakah yang mereka hasilkan sampai Physical Review C yang begitu ketat
menyeleksi risalah bersedia memuatnya? Jurnal Physical Review C termasuk
peringkat atas dalam pangkalan data Scopus. Phy- sical Review C juga masuk
Institute for Science Information (ISI)-Thomson yang lebih selektif memasukkan
jurnal ke dalam pangkalan datanya. Menurut ISI-Thomson, Physical Review C
memiliki impact factor 3,82. Artinya, 10 risalah di jurnal itu dikutip oleh 38
risalah lain dalam dua tahun setelah terbit. Jason dan Samson berhasil
memperbaiki teori yang agak ”cacat” karena ada kelemahannya, tetapi lebih dari
40 tahun terus dipakai karena tidak ada pilihan. Sederhananya, teori ini
tentang partikel yang diketahui punya momentum sudut orbital dan magnetik yang
secara gabungan menghasilkan momentum sudut spin. Pada partikel boson, salah
satu klasifikasi partikel menurut spin-nya, rumus mekanika kuantum untuk
momentum sudut spin sudah sempurna. Namun, untuk fermion, klasifikasi partikel
lain, yang memiliki spin 3/2 dan 5/2, masih diperdebatkan karena kalau dihitung
selalu ada sisa, hasilnya tidak nol.
Sampai akhirnya Terry melihat minat Jason dan menawarkan
riset teori cacat itu. Maklumlah, di semester kedua, Jason sudah mengambil mata
kuliah semester kelima. Di semester ketiga, ia ikut kuliah semester ketujuh.
Jadilah Jason lebih awal bertemu Terry. Tawaran di semester ketiga itu mulai
dikerjakan Jason di semester keempat. Buku-buku fisika yang perlu dibaca dia
sikat semua. Termasuk The Quantum Theory of Fields karya Steven Weinberg,
pemenang Nobel Fisika (1979), yang biasanya menjadi literatur riset tingkat
doktoral. Jason juga rajin mencari di internet hingga menemukan para fisikawan
yang mendalami teori tak sempurna itu. Di antaranya Acosta et al yang menulis
di jurnal fisika Eropa. Dasar teori Acosta ia gunakan untuk memformulasikan
reaksi partikel yang sempurna. Dengan bantuan Samson, tantangan ia selesaikan
dalam tiga bulan di awal semester keempat. Jason dan Samson memang pencinta
fisika. Pernah mendaftar D-3 robotik ketika mendapat beasiswa ke Jepang, Samson
akhirnya memilih S-1 jurusan fisika di UI. ”Saya suka fisika modern, terutama
mekanika kuantum,” ujar Samson. Asal tahu saja, mekanika kuantum disakralkan
karena merupakan pelajaran fisika paling indah sekaligus paling susah. Namun,
Samson baru bertemu Terry ketika mengambil mata kuliah struktur nuklir. Mata kuliah
semester kedelapan itu ia ambil di semester keenam. Sejak itu bergabunglah
Samson di Laboratorium Fisika Nuklir dan Partikel—tempat Terry menggembleng
rumus-rumus—rumah kedua Jason dan Samson sekaligus tempat menyimpan sepatu
Samson saat mengajar. Laboratorium teori itu terletak di lantai empat Gedung
Fisika tanpa lift dan hanya cukup diisi empat meja. Dua papan tulis yang
terpasang penuh dengan rumus.
Cita-cita
Kecintaan Jason dan Samson berbuah kemenangan dalam
lomba-lomba fisika, baik tingkat nasional maupun internasional. Namun, jalan
mereka ke fisika dilandasi cita-cita berbeda. Masuk fisika gara-gara ingin
menciptakan mesin teleport, Samson tak menyesal meski sulit mewujudkan
cita-citanya. Bergulat dengan rumus-rumus fisika sudah membuat ia bahagia.
Samson bahkan tidak ingin segera lulus meski saat ini indeks kumulatifnya 4 dan
kalau mau ia mampu menempuh S-2 dalam 1,5 tahun. ”Yang penting bisa memperdalam
fisika sebagai fondasi untuk aplikasi ke depan,” katanya. Sementara Jason ingin
menjadi pemenang Nobel Fisika. ”Peluang kecil, tetapi harus optimistis. Apalagi
pemenang Nobel dari Indonesia belum ada,” ujarnya. Belajar fisika setiap saat,
”Itu memang hobi saya,” ucapnya, membuat Jason memutuskan akan total belajar
fisika sampai S-3. Ia ingin mengejar S-2 dan S-3 di Amerika Serikat, negeri
tempat pemenang Nobel banyak dilahirkan. ”Saya merasa bisa berkontribusi di
bidang fisika,” katanya. Tidak mengherankan jika Jason mengidolakan Richard
Feynman, fisikawan AS jagoan fisika partikel, yang mendapatkan Nobel Fisika
(1965) bersama Sin Itiro Tomonaga dan Julian Schwinger. Feynman punya banyak
penjelasan fisika menarik, salah satunya ”There’s plenty of room at the
bottom”, yang meramalkan potensi luar biasa atom pada masa depan. Di luar
urusan fisika, Jason suka menonton film kartun. Sementara Samson suka main gim.
Jason suka nasi goreng, sate, dan soto, sedangkan Samson suka nasi padang, nasi
warteg, dan mi instan. ”Pokoknya yang bikin kenyang, he-he-he,” katanya.
Apalagi yang mereka kejar? Uang ternyata bukan segala-galanya. Mereka ingin
terus meneliti, mengerjakan hal-hal yang mereka senangi. ”Ngapain hanya mikirin
duit. Yang penting tidak menyusahkan orang lain dan diri sendiri,” kata Samson
diiringi anggukan Jason. ”Saya juga heran. Tiap hari melihat saya naik turun
ojek dan kereta, tetap saja mereka cinta fisika,” ujar Terry.[Sumber : Kompas,
Senin 13 November 2017 } OLEH AGNES ARISTIARINI]
௯
”Pak Koi” Sahabat
Petani
IKAN koi dipercaya oleh sebagian orang
sebagai ikan ”ajaib”. Meski tidak percaya terhadap mitos tersebut, Aris Hartana
bisa mengubah hidupnya dengan koi. Dengan modal awal Rp 50.000, dia bisa hidup
sejahtera lewat bisnis koi. Rezeki dari koi lantas ia bagi kepada puluhan petani.
Dusun
Dangkel Wetan berjarak sekitar 25 kilometer dari Kabupaten Magelang, Jawa
Tengah. Suasana dusun yang asri, dengan hamparan sawah di kiri dan kanan jalan,
memberi impresi segar. Rumah-rumah warga berjarak di dusun yang masuk bagian
dari Desa Karangtalun, Ngluwar, Kabupaten Magelang, ini. Meski harus masuk ke
jalan-jalan kecil di dusun, tidak sulit mencari kediaman Aris Hartana (46).
Orang di sekitarnya menyebutnya ”Aris Ko”, diambil dari kegiatan Aris
yangmembudidayakan ikan asal Jepang ini. Plang nama Rera Koi terpampang di
depan rumah ayah dua anak ini. ”Rera itu nama udara saya waktu jadi penyiar
radio,” ucapnya membuka percakapan, Senin (30/10), di teras rumahnya. Secangkir
kopi dan sepiring kue kampung menemani perbincangan. ”Dari menjadi penyiar itu
juga saya mendapat banyak kenalan luas, termasuk tentang koi.” Keseriusannya
dalam dunia koi dengan mudah dilihat dari rumahnya. Di sebelah rumahnya
berjajar tujuh kolam budidaya koi. Di kolam itu ada beragam jenis induk koi
yang berjumlah sekitar 100 ekor, juga ribuan benih di kolam. Di belakang
rumahnya masih ada sepuluh kolam yang sedikit lebih kecil untuk menampung hasil
panen koi para peternak. ”Kemarin baru panen di kecamatan lain. Hasilnya lumayan,”
katanya. Tidak jauh dari rumahnya, di sebuah petak sawah ikan koi beragam
ukuran dengan mudah ditemui. Kolam itu milik tetangganya yang diajak bekerja
sama. Sarjo, pengelola lahan, mengatakan, dalam sebulan, dia bisa
mendapatkanRp500.000 hinggaRp1 juta. ”Saya bisa nikahin anak dari hasil ini,”
ucap Sarjo. Aris terus menjalin kerja sama dengan para petani di sekitar
rumahnya, di sejumlah lokasi di Magelang, dan beberapa orang di wilayah
Yogyakarta. Puluhan peternak tersebar di delapan kecamatan di Magelang dan
selebihnya di Yogyakarta. Total peternak yang bekerja sama dengannya berjumlah
50 orang. Sistem ini disebut inti plasma. Untuk menyiasati kekurangan lahan,
Aris menggandeng petani untuk membudidayakan koi di lahan mereka. Aris
menyediakan benih, petani menyiapkan lahan. Aris tak mau memiliki sawah meski
penghasilannya saat ini bisa untuk membeli beberapa petak sawah. Dia mengaku
tidak ingin mengambil semua peran, dan ingin berbagi rezeki kepada petani.
Hasil dari beternak koi tidak main-main. Dia mencontohkan, untuk luas lahan
1.000 meter persegi yang ditanami padi bisa menghasilkan Rp 600.000 sampai Rp 1
juta dalam empat bulan. Sementara jika beternak koi, dalam sebulan kurang lebih
bisa mendapatkan Rp 1 juta. Artinya, satu berbanding empat. Teknisnya, peternak
membeli be- berapa kantong benih koi. Setelah diternak selama 15 hari, benih
ini mengalami pertumbuhan 3-5 sentimeter. Dari situ, petani sudah bisa mendapat
uang dengan menjual benih. Jika dikembangbiakkan, benihbenih ini berkembang
menjadi 7-10 sentimeter. Pada usia tersebut biasanya dilakukan panen pertama
untuk memisahkan benih yang menjadi koi atau tidak. ”Ini disebut pinalan
pertama. Memisahkan koi atau bukan, ya, pinalan itu bahasa perkoian-lah,
ha-ha,” kata Aris. Sebulan setelahnya, ukuran koi mencapai 10-15 sentimeter.
Untuk ukuran koi seperti ini rata-rata dijual Rp 3.000 hingga Rp 7.000 per
ekornya. Jika ada 500 ekor, hasilnya bisa Rp 1,5 juta, atau Rp 3 juta. Namun,
tidak semua koi dijual pada panen itu. Di masa ini, Aris selalu mendampingi
rekan kerjanya untuk memilah koi yang memiliki corak bagus dengan yang biasa
saja. Jika corak, warna, dan titik yang terdapat pada koi berpotensi dinilai
tinggi, dia menyarankan ditabung dulu. Dia juga menjadi pengawas,
administrator, dan penyuluh bagi para peternak yang tergabung dalam
jejaringnya. Dari Minggu hingga Senin, dia mengatur urutan panen dan jadwal
bertemu dengan pembeli. Sebab, dia tidak ingin pasokan berlebih dan membuat
harga koi dari peternak menjadi turun. Untuk penjualan, Aris membantu
pengangkutan hingga mempertemukan dengan pembeli. Dia mengambil porsi 10 persen
dari hasil penjualan.
Berawal kesenangan
Perkenalan pertama Aris dengan koi terjadi pada tahun 1995.
Saat itu, dia mempunyai kenalan yang memelihara koi. Dia kagum dengan ikan yang
bercorak indah ini. Tidak hanya itu, harga ikan koi juga dirasanya sangat tidak
masuk akal. ”Saya ingat betul pada tahun itu harga beras Rp 450 per kilogram.
Mosok koi dijual Rp 15.000 per ekor?” cerita Aris. Dia pun mulai mempelajari
segala hal tentang koi. Jenis, ukuran, corak, warna, termasuk cara memelihara
koi. BermodalRp50.000, dia membeli bibit koi. Memasuki awal tahun 2000-an, dia
mulai mengajak warga untuk beternak. Ada 20 orang yang tertarik bergabung dan
mulai mempraktikkan beternak koi. Kelompok ini bertahan selama delapan tahun
sebelum sebagian besar anggotanya memilih mandiri. Pada tahun 2010, Aris
memutuskan berhenti menjadi penyiar radio dan fokus beternak koi. Dia kembali
mengajak warga dan beberapa kenalannya yang mempunyai sawah untuk bersama-sama
mendapatkan manfaat yang lebih dari beternak koi. Erupsi Merapi pada tahun yang
sama membuatnya putus asa. Induk dan benih koi sebagian besar mati. Namun,
berkat bantuan beberapa pihak, dia dapat memulai lagi bisnisnya itu. Kini, dia menikmati
hasil jerih payahnya. Dalam sebulan, dia bisa meraup pendapatan belasan juta
rupiah. Koi juga menjadi bagian terbaik dalam hidupnya. ”Koi membuat hati saya
senang dengan cuma melihatnya. Itu mungkin yang membuat orang berpikir, koi
membawa keberuntungan, karena hati orang selalu gembira melihat koi,”
ceritanya. Pernah makan koi? ”Pernah. Rasanya pahit,” ucapnya dengan serius.
”Soalnya ikannya saya beli Rp 5 juta, ha-ha.” [Sumber : Kompas, Jumat 3 Nov
2017 |OLEH: SAIFUL RIJAL YUNUS]
⇎
Mengolah Sampah Menjadi ”Paving Block”
Tumpukan sampah yang menggunung menggugah Hartoyo Karsin
(53) untuk membuat sesuatu yang bermanfaat. Dengan belajar secara otodidak,
Karsin mengolah sampah plastik menjadi ”paving block”. Bau sampah yang
menyengat tak dihiraukannya.
Jarum jam menunjukkan pukul 08.30 ketika Karsin memarkir
sepeda motor roda tiga berwarna hijau. Dia bergegas membuka penutup bak
kendaraan, lalu menurunkan aneka jenis sampah yang baru saja diambil dari rumah
warga. Setiap hari, Karsin berkeliling ke rumah-rumah di Dusun Jetis dan Dusun
Karangtengah, Desa Jetis, Kecamatan Kemangkon, Kabupaten Purbalingga, Jawa
Tengah. Di dusun itu ada sekitar 100 rumah. ”Dari setiap rumah rata-rata dapat
2 kilogram sampah plastik per bulan. Kalau ditotal ada 2 kuintal sampah,” kata
Karsin. Sampah yang diangkut Karsin beraneka ragam. Sebagian besar sampah yang
dikumpulkan berupa plastik bekas kemasan mi instan, sabun cuci, dan minyak
goreng. Selain itu, dia juga mengumpulkan gulungan seng bekas, ember bekas, dan
kardus bekas. ”Botol plastik dipisahkan untuk dijual lagi. Satu kilogramnya Rp
3.000. Kertas dan kardus juga dijual Rp 500 per kilogram, sedangkan
plastik-plastik lainnya dibakar untuk paving block,” kata Karsin. Untuk membuat
paving block, Karsin memasukkan sampah plastik ke dalam tungku pembakaran
sampah berpelat besi dengan ukuran panjang 130 sentimeter dan lebar 65
sentimeter. Ada dua lubang pembakaran sampah di sana yang memiliki cerobong
asap setinggi 4 meter. Setelah dibakar sepuluh menit, sampah plastik yang
diaduk secara perlahan jadi menggumpal dan lumer. Warnanya pun jadi hitam
pekat. Bau sampah yang menyengat tidak menyurutkan semangat Karsin membuat
paving block. Kendati pernah diragukan dan dicemooh warga, Karsin teguh
menekuni pilihannya itu. ”Saya ingin sampah ini jadi barang yang memiliki nilai
dan bermanfaat lagi,” ujarnya. Setelah plastik lumer, Karsin menyiapkan cetakan
paving block dari pelat besi. Cetakan berdiameter 20 sentimeter itu berbentuk
segi enam. Isi cetakan terbagi tiga, bagian atas dan bawah diisi lumeran plastik,
lalu tengahnya diisi pecahan stop kontak. Selanjutnya, cetakan berisi lumeran
sampah itu dipres selama 15 menit. Paving block berbentuk persegi enam itu
berwarna hitam. Supaya paving block mudah dilepas dari cetakan, cetakan
direndam air selama lima menit. Proses terakhir, membersihkan tepian paving
block dari lumeran plastik dengan menggunakan parang. ”Satu hari paling banyak
bisa membuat 20-25 paving block,” ujar Karsin. Karsin memproduksi dua jenis
paving block, yaitu berdiameter 20 sentimeter dan 18 sentimeter dengan tebal 6
sentimeter. Harga jualnya sama, yaitu Rp 90.000 per meter persegi. Untuk
memasarkan produknya, Karsin bergabung dengan Kelompok Lestari Bumi. Selama
ini, Karsin mendapat pesanan dari Purbalingga dan sekitarnya. Saat itu, dia
tengah menyelesaikan pesanan paving block sebanyak 250 meter persegi dari Desa
Kedungbenda, Kabupaten Purbalingga, untuk digunakan membangun jalan. Selain
pesanan dari Purbalingga dan sekitarnya, Karsin juga pernah membuat paving
block pesanan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Sejumlah pejabat di lingkup
pemerintah daerah juga pernah memesan paving block ini. ”Saat ini ada juga
distributor dari Jakarta yang menjualkan paving block di sana. Setiap bulan,
jika ada barangnya, akan diangkut ke Jakarta,” katanya. ”Keunggulannya, paving
block ini tidak mudah pecah, tidak lumutan, dan sudah menjalani uji beban
sampai 290 kilogram,” ujar Karsin.
Menjadi pemulung
Selama lebih dari 30 tahun, Karsin bekerja sebagai sopir
truk pengangkut material bangunan. Sampai kemudian tahun 2003, dia mengalami
kecelakaan yang mengakibatkan kaki kirinya retak. Selama setahun, suami Tri
Sulasmi ini tidak bisa berjalan. Saat itulah, hatinya tergugah melihat masalah
tumpukan sampah yang semakin merusak lingkungan. Tak perlu jauh-jauh, di sekitar
rumahnya banyak sampah yang dibuang sembarangan. Apalagi, sungai kecil yang
dipakai untuk mengaliri sawah malah penuh dengan sampah plastik. Selama masa
pemulihan berada di rumah, Karsin sering memunguti sampah di sekitar rumahnya.
Lalu muncul ide untuk mengolah sampah. Pria lulusan SD ini mencoba membakar
plastik itu di wajan atau panci. Istri dan anak-anaknya pun protes dengan bau
plastik terbakar yang menyengat. Selain itu, peralatan dapur jadi rusak dan
berlubang. Awalnya, dengan limbah plastik yang mencair, Karsin membuat genteng.
Namun, genteng dari limbah plastik hanya bertahan selama dua tahun. ”Genteng
sering terkena hujan dan panas, apalagi tebalnya hanya 1 sentimeter. Jadi mudah
pecah. Saya lalu mencoba buat paving block dan ternyata bisa tahan lama,” tutur
Karsin sambil menunjukkan paving block yang dibuatnya pada 2004. Lalu, dia pun
beralih mencoba membuat paving block. Dengan tekun dan sabar, Karsin tetap
melanjutkan usaha membuat paving block dengan memanfaatkan sampah plastik. Dia
tetap tekun menghidupi niatnya untuk mengolah sampah guna mengurangi
pencemaran. ”Saya ingin lingkungan bersih dari sampah, bebas dari sarang
nyamuk, serta bebas banjir,” kata bapak tujuh anak ini. Tahun ini, usaha Karsin
mulai dilirik pemerintah daerah. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten
Purbalingga memberikan bantuan dana Rp 5 juta. Dana bantuan itu untuk
merenovasi gudang tempat produksi paving block. Bantuan lain berupa sepeda
motor roda tiga untuk mengangkut sampah yang didapatkan dari Badan Lingkungan
Hidup Kabupaten Purbalingga. Lebih lanjut, Karsin mendesain mesin produksi
paving block di tempat pembuangan akhir sampah. Dia menunjukkan detail
perencanaan bak penampung plastik, alat pemilah dan pencuci sampah plastik,
serta mesin pembakar sampah yang digambar di beberapa buku. Karsin berharap
rancangan itu bisa diterapkan dalam skala lebih luas dengan bantuan pemerintah
daerah. Kepala Desa Jetis Cahyani Dwi Hargani menilai, Karsin merupakan sosok
pahlawan yang memerangi sampah. ”Jarang ada orang yang mau turun langsung
menangani sampah. Pak Karsin sangat membantu menangani masalah sampah,” kata
Cahyani. Cahyani menyampaikan, pihak desa bersama PKK mendukung usaha Karsin
dengan menyosialisasikan pemilahan sampah dari rumah tangga. Desa juga membantu
menyediakan karung untuk menampung sampah plastik dari setiap rumah. Selain
itu, desa menganggarkan dana pembelian alat pengolahan sampah plastik untuk
mendukung proses produksi paving block.[Sumber : Kompas, Senin 6 November 2017
| OLEH MEGANDIKA WICAKSONO]
⇦⇧⇨
Menengok Desa, Menyebar Rezeki
CANDI BOROBUDUR seperti
magnet yang menarik banyak turis lokal dan turis asing. Namun, kehadiran mereka
tidak berdampak langsung terhadap kesejahteraan penduduk sekitar. Kirno Prasojo
(43) lantas memutar otak agar warga di sekitar Borobudur tidak hanya jadi
penonton, tetapi juga menjadi pemain di industri pariwisata. Maka, Ia membuat
wisata "tilik ndeso" atau menengok desa.
Kirno yang ditemui di rumahnya di dekat Candi Borobudur,
Magelang, Jawa Tengah, Selasa (14/11) pagi, bercerita, dulu setelah para turis
menikmati kemegahan Candi Borobudur, mereka mesti ”berjuang” melewati kumpulan
pedagang. Bagaimana tidak, untuk menuju pelataran parkir, mereka harus melalui
jalan yang sengaja dibuat berputar-putar melewati kios-kios pedagang.
Terkadang, turis harus susah payah menghindari para pedagang cenderamata yang
terus mengejar. Kirno sadar bahwa hal itu menjengkelkan para turis. Tak jarang
para turis menyatakan kekesalan mereka secara terbuka. Kirno ingin hal itu
tidak terjadi lagi. Para turis harus diberi pilihan agar mereka merasa nyaman.
Mereka diberi tawaran untuk menyewa andong atau kereta kuda ketika keluar dari
kompleks Borobudur. Andong itu akan membawa para turis keliling ke
kampung-kampung nan asri di sekitar Borobudur. Setelah itu, para turis diantar
ke tempat parkir kendaraan yang akan membawa mereka pulang. Dengan cara itu,
para turis senang karena mendapat atraksi tambahan, yakni diajak tilik ndeso
atau menengok desa di sekitar Borobudur. Warga pun senang karena kecipratan
uang dari industri pariwisata. Gagasan membuat program tilik ndeso muncul
karena Kirno lama malang-melintang di sekitar Borobudur. Ia dulu bekerja
sebagai pedagang asongan dan penjaga di area parkir Candi Borobudur. Kirno yang
lahir dan besar di Borobudur pernah merantau selama beberapa tahun dan bekerja
sebagai kontraktor listrik. Namun, desa selalu membuatnya rindu. Ia pun
akhirnya kembali ke desa dan bekerja sebagai tenaga pengaman pada acara sarapan
di alam terbuka di Hotel Aman Jiwo, Borobudur. Ia juga menjadi tenaga pengaman
di hotel-hotel lain.
Menyebar rezeki
Pengalaman-pengalaman itulah yang membuat Kirno berpikir
untuk ikut membangun desa-desa di sekitar Candi Borobudur. Ia pun merangkul
paguyuban andong, tukang becak, perajin, seniman, dan pedagang untuk membuat
wisata alternatif. Muncullah ide membuat wisata tilik ndeso .Ia berkomunikasi
secara intensif dengan pengelola Borobudur agar program tilik ndeso bisa jalan.
Setelah melewati jalan yang cukup panjang, program tersebut akhirnya bisa
dijalankan tiga tahun terakhir ini. Turis membayar Rp 75.000-Rp 100.000 untuk
menyewa satu andong yang bisa ditumpangi sekitar 4 orang. Andong tersebut akan
membawa para turis menyusuri jalan-jalan desa yang hijau, area persawahan, dan
blusukan ke pedusunan. Dari uang sewa andong itu, sebanyak Rp 47.000 menjadi
hak tukang andong. Sisanya dibagi-bagi untuk lima dusun yang dilewati andong,
untuk dana kas dusun, pemerintah desa, paguyuban pengurus andong Rp 1.000,
asuransi, balai ekonomi desa (balkondes), serta forum kluster wisata selaku
pengelola tilik ndeso dan biaya operasional. Kini, kusir andong bisa mendapat
Rp 2,6 juta-Rp 2,8 juta per bulan dari biasanya Rp 1 juta-Rp 1,5 juta. Jam
kerja mereka pun lebih pendek, yakni pukul 08.30-15.00 selama 15 hari kerja.
”Dihitung-hitung, penghasilan setengah bulan saja sudah melebihi upah minimum
daerah Magelang yang hanya Rp 1,57 juta. Lewat program ini, kesejahteraan
disebarkan kepada banyak warga,” kata Kirno yang menjadi Ketua Forum Rembuk
Klaster Pariwisata Borobudur. Menurut Kirno, pemasukan dari program ini juga
lumayan untuk ukuran dusun. Hanya dengan membuka diri untuk dilewati andong
wisata, sebuah dusun bisa mendapat pemasukan Rp 1 juta per bulan. ”Wisata
alternatif ini setidaknya bisa meredam konflik antarwarga. Selama ini, ada saja
anggapan, ’Wah, desaku cuma dilewati andong, tapi enggak dapat apa-apa’. Saya
ingin mendorong supaya warga sekitar candi juga merasa memiliki Borobudur dan
mendapatkan manfaat,” ujar Kirno. Setelah wisata tilik ndeso jalan, usaha lain
juga berkembang, seperti usaha cenderamata, kuliner, dan penginapan. Turis yang
perlu oleh-oleh bisa diantar langsung ke rumah-rumah perajin cenderamata yang
bertebaran di banyak desa. Turis juga diajak istirahat di balkondes pada
separuh perjalanan keliling desa untuk mencicipi aneka camilan kampung yang
dibuat ibu-ibu PKK. Dengan semua kegiatan ekonomi itu, transaksi total dari
wisata tilik ndeso bisa mencapai Rp 1 miliar per tahun. Itulah yang membuat
Kirno bangga karena wisata ini memberikan manfaat kepada banyak warga.
Setidaknya, taman wisata Candi Borobudur tidak hanya memberikan kontribusi
kepada pemerintah. ”Punya candi dan tamunya banyak, (tetapi) masyarakat desa
enggak dapat apa-apa. Saya ajak warga untuk berpikir bagaimana caranya supaya
warga bisa mendapatkan sesuatu dari keberadaan Borobudur,” ujar Kirno. Selama
ini, masyarakat hanya bisa jadi pedagang asongan di sekitar Borobudur. Hasilnya
hanya cukup untuk menyambung hidup. Sudah saatnya, lanjut Kirno, masyarakat
diajak urun rembuk untuk mengelola potensi wisata di sekitar Candi Borobudur.
Kirno kini berpikir untuk memperluas wisata tilik ndeso. Andong nantinya tidak
hanya berada di sekitar Borobudur, tetapi juga di hotel ataupun homestay yang
kini menjamur di sekitar Borobudur. Kirno pun sedang berpikir untuk
meningkatkan kemampuan kusir andong dalam melayani tamu, termasuk berbahasa
Inggris, agar tidak kebingungan jika diajak berkomunikasi oleh turis
asing.[Sumber:Kompas, Kamis 23 November 2017 | OLEH: STEFANUS OSA]
⇚⇑⇛
Mengabdi Untuk Hutan Sebangau
Selama 15 tahun terakhir, Hendri (35) menjaga hutan gambut di Sebangau, Palankaraya. Kalteng. Pendidikan formalnya hanya sekolah kejuruan bidang bangunan. Namun, ia tidak mau menjadi tukang bangunan dan pengawas proyek jembatan. Ia lebih memilih untuk menjaga hutan.
Ketekunan Hendri belajar selukbeluk hutan gambut beserta isinyadimulai dari membuat laporan dan mendampingi para peneliti dari beberapa negara. Kni, semua pengunjung dan peneliti bisa bertanya kepada Hendri tentang pembibitan, hidrologi gamubt, biodiversitas, hingaga perilaku primate.
“Kami orang Dayak menghormati hutan. Hutan itu hidup kami. Jadi, saya lebih memilih kerja di hutan daripada pekerjaan lain agar saya bisa merawat dan mengenal hutan saya,” kata Hendri di Kereng Bangkirai, Palangkaraya, Minggu (1/7/2018).
Awalnya Hendri bekerja sebagai pengawas beberapa proyek jembatan di Palangkaraya. Adalah Suwido Hester Limin (alm) yang mengajaknya untuk bekerja di hutan bersamanya.
Suwido adalah dosen UPR, pemerhati lingkungan, tokoh Dayak, dan penggagas Laboratorium Alam Hutan Gambut (LAHG) di Sebangau, Palangkaraya. Sosok ini meng memotiviasi Hendri untuk beralih pekerjaan dan mengabdikan dirinya untuk hutan gambut yang asri.
“Saya ingat betul perkataan Pak Suwido Limin, kalau sebagai orang asli di sini, kita harus malu jika hutan kita rusak. Itu jadi peganggan saya,” kata Hendri.
Kebakaran Hutan
Tahun 2003, ia mulai aktif bekerja di LAHG yang dikelola Center for International Cooperation in suistainable Management of Tropical Peatland (CIMTROP)-UPR. Tugas awalnya hanya memantau dan memadamkan kebakaran.
LAHG merupakan kawsan konservasi utnuk penelitian atau sering disebut hutan pendidikan. Luasnya mencapai 50.000 ha leibh. Saat itu, Hendri bekerja secara sukarela, yagn kadang idgaji kadang tidak.
Kebakaran paling parah dirasakannya pada 2006 dan 2015. Ia pernah memadamkan api di dalma hutan yang jaraknya sekitar 3 km dari bibir hutan. Karena number air tidak ada, ia dan semiblan tmannya terpakas menggali tanah menggunakan tangan dan parang untuk mendapatkan air.
Di kedalaman 2,5m , ia baru mendapatkan air untuk memadamkan api. Penggalian itu dilakukan sejak pukul 15.00 hingga pukul 23.00.
Ingatan it uterus membekas di kepalanya karean saat itu setelah api membesar, ia beisa menggerakkan hampir semua pemdua di Kereng Bangkirai untuk membantu memadamkan api dan berhasil.
“Semuanya tidur di hutan, sampai padam. Hari itu kampung sepi, Itanya tersisa anak-anak dan ibu-ibu,” kata Hendri.
Tidak hanya mengawasi kebakaran, lebih berat lagi adalah tugas menjdi pemantau dan pencegan pembalakan liar. ia menghitung dan mencatat kayu yang keluar dari hutan itu, lalu melaporkannya kepada pihak yang berwajib. Sayang, katanya, pelaku pembalakan liar kadang dtindak kadang tidak.
Melawan pembalak
Kawasan LAHG dulunya dalah kawasan hak pengusahaan htuan (HPH). Di sana terdapat satu perusahaan kayu yang mengelola kawasan itu sekitar 31 tahun lalu. Setelah perusahaan hengkang, hutan menjadi gundul dan menjadi sasaran maraknya pembalakan liar.
Total terdapat 18 kanal yang digunakan untuk mendistribusikan kayu keluar dari hutan. Kanal-kanal itu juga menjdi penyebab utama keringnya lahan gambut. Ciri khas hutan gmabut adala htanhnya yang penuh dengan air, maka jika dibuat kanal air dengan mudah keluar membentuk aliran seperti got bgesar. Lahan gambut yagn kering tadi akan sangat mudah terbakar, bahkan hanya dengna percikan api rokok.
“Saat itu, karena kami hanya tiga orang, kami tidak mungkin melwan mereka, apalagi berkelahi. Jadi, kami lakukan pendekatan, kami cari tahu siapa bosnya, baru kami temui langsung orangnya,” kata Hendri.
Tindakan reprensif yang Hendri lakukan untuk mencegah pembalakan hanay dengan memotong kayu yang ada di hilir-hilir kanal. Kayu dipotong sehingga tidak bisa dijual dan kehilangan nilainya. Dengan begitu, pembalak akan jengah. SEbagian besar pembalak, tambah Hendri, bukan berasal dari kampungnya, melainkan dari luar daerah, bahkan luar pulau.
Kegigihan dan minat belajar yagn tinggi membuat Hendri kemudian direkrut Borneo Nature Foundation (BNF). Mulai dari staf biasa di bagian pembibitan, hingga menjadi senior coordinator semau bidang hingga saat ini.
Dalam kunjungan ke LAHG, Kompas diberi kesempatan untuk melihat kondisi hutan. Saat itu, Communication Development Manager BNF Suzanne Turnock mengatakn , semua pertanyaan tentang apa pun didalam hutan itu bisa ditanyakan kepada Hendri. Meski awalnya ragu, semua pertanayan bisa dijawab oleh Hendri.
“Hendri bisa menjelaskan, bahkan sampai ke jenis-jenis capung,” ujar Suzannne saat itu.
Di LAHG tuganya menemani para peneliti dan memberikan penjelasan tentang kondisi hutan. Ia sangat mengenal hutan itu karena dirinya menjadi salah satu yang membuka pertama jalan-jalan di hutan itu. Dengan beigut, peneliti yang datang sagat mudah untuk keluar masuk hutan tanpa khawatir tersesat.
Sepanajgn perjalanan di dalam hutan, mata Hendri awas. Beberapa kali ia berdiri dan memberikan penjelasan tentang tanaman ataupun bhewan yang dijumpai di dalam.
di LAHG terdapat 220 jenis pohon, 201 spesies burung, 40 spesies reptile, 65 spesies ikna, dan 67 spesies mamalia, termasuk orang utan, bekantan, dan mamalai lain. Ia bisam enghafal semua nama lokal dari flora dan fauna yang hidup di LAHG, sebagian ia hafal nama latinnya.
Baru berjalan 20 menit ke dalam hutan dari kamp LAHG, Hendri menunjuk sebuah tanaman dan berkata. “Itu kantong semar, yang ini nama latinnya Nepenthes rafflesiona,”
Tak jauh dari kantong semar, ada sebuah tanaman yang unik. Baik daun maupun batangnya berwarna hijau. Masyarakat Dayak menyebutnya kayu sutra. Tanaman itu unik karena, meski diremuk dan digosok dengan tangan, daunnya tak robek.
Namun, jika sengaja dirobek, daunnya menunjukkan serat-serat halus yangmembelah bibir daun. “Ini tanaman obat, perempuan Dayak menggunakannya kalalu mengalami keputihan,” kata pria asli Dayak itu.
Selain sutra, Hendri juga menunjukkan seubah akar yang menjalar dari batang pohon besar. Orang awam akan melihat akar itu seperti gulma. Hendri menjelaskan bahwa akar itu bisa direbus dan diminum air rebusannya untuk menjadi obat kuat bagi pria.
Bagi Hendri, hutan memberikan kehidupan. Hal itu yang membuat Hendri sedih jika hutan dibakar atau terbakar. “Hati ini plong rasanya kalau lihat hutan itu hijau, rindang, dan asri karena memang seharusnya seperti itu,” kata Hendri.
--**(*-*)**--
SUDIANTAO
Lahir : Kabupaten Lombok Utara, 1 Juni 1977
Saudara : Anak pertama dari lima bersaudara
Menjaga Sempadan demi Masa Depan
Comments