INTERNATIONAL
MEMBURU IMPIAN BARU di ERA BARU
--x--
--xxx--
Retaknya Dinasti Ibnu Saud
Manuver yang dilakukan Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin
Salman sulit dipisahkan, apakah murni langkah pemberantasan korupsi atau bagian
dari pertarungan kekuasaan di Arab Saudi. Seperti pisau bermata dua, langkahnya
bisa jadi melawan korupsi sekaligus
Raja Abdulaziz bin Saud, pendiri kerajaan dan raja pertama Arab Saudi (duduk), berpose bersama anaknya, Putra Mahkota Saud bin Abdulaziz, di Arab Saudi dalam foto tanpa tanggal.
|
Pemecatan dan penangkapan puluhan menteri, anggota kerajaan,
pejabat, dan pejabat senior militer dalam skala seperti pada Sabtu (4/11) belum
pernah terjadi dalam 85 tahun perjalanan Kerajaan Arab Saudi.
Manuver yang dilakukan Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin
Salman sulit dipisahkan, apakah murni langkah pemberantasan korupsi atau bagian
dari pertarungan kekuasaan di Arab Saudi. Kebijakannya seperti pisau bermata
dua.
Logika tersebut sepertinya sangat masuk akal. Lembaga
antikorupsi terkesan didirikan secara dadakan melalui dekrit Raja Salman, Sabtu
(4/11), dan Pangeran Mohammed langsung ditunjuk memimpin lembaga itu. Hanya
beberapa saat berselang, Pangeran Mohammed memerintahkan penangkapan 11
pangeran, 4 menteri, dan puluhan mantan menteri. Diberitakan, tersangka korupsi
yang ditahan mencapai 201 orang. Keutuhan dan kekompakan anak keturunan Ibnu
Saud yang dikenal solid selama 85 tahun—sejak negara modern Arab Saudi didirikan
Raja Abdulaziz al-Saud tahun 1932—itu kini mulai retak. Keretakan ini juga
tidak terlepas dari perubahan zaman yang dihadapi negara itu. Arab Saudi kini
sedang menghadapi peralihan generasi penguasa, dari generasi kedua ke generasi
ketiga dari anak keturunan Ibnu Saud. Raja Salman bin Abdulaziz (82) akan
menjadi generasi kedua terakhir yang memimpin. Jika tidak ada aral melintang,
Pangeran Mohammed (32), putra Raja Salman, akan menjadi raja pertama dari
generasi ketiga. Sudah lumrah dalam peralihan generasi penguasa terjadi gejolak
akibat pertarungan memperebutkan kekuasaan atau pengaruh di lingkaran generasi
penerus calon penerima warisan kekuasaan. Realitas politik inilah yang terjadi
di Arab Saudi saat ini. Akhir Juni lalu, Raja Salman mencopot Pangeran Mohammed
bin Nayef sebagai putra mahkota
Pecah kongsi
dan menggantinya dengan anaknya, Pangeran Mohammed. Tentu
langkah itu memunculkan intrik, gesekan, dan bahkan resistensi dari sebagian
kalangan keluarga Ibnu Saud. Situasi tersebut dibaca Pangeran Mohammed. Langkah
yang dia lakukan terhadap saudara-saudaranya melalui lembaga antikorupsi saat
ini merupakan serangan balik terhadap resistensi tersebut. Dapat dikata, saat
ini sedang terjadi pecah kongsi dalam keluarga besar Ibnu Saud. Dengan kongsi
yang selama ini tercipta, para anggota keluarga besar Ibnu Saud menikmati
hak-hak istimewa berupa harta melimpah dengan imbalan mereka tidak mengusik
proses suksesi di negara itu. Terjadinya pecah kongsi itu menunjukkan, Pangeran
Mohammed sudah tidak lagi mengindahkan pakem tradisi politik di lingkungan
keluarga. Ia menggunakan kendaraan lembaga antikorupsi yang baru saja dibentuk
untuk menyeret saudara-saudaranya sendiri ke dalam tahanan dengan tuduhan
terlibat korupsi. Saingan politik terkuat Pangeran Mohammed saat ini adalah
Pangeran Mohammed bin Nayef yang telah dicopot dari jabatan putra mahkota, Juni
lalu. Kedua pangeran itu sama-sama berasal dari poros ”Al-Sudairi Tujuh”. Poros
ini merujuk pada keturunan Raja Abdulaziz dari salah satu istrinya, Hussa
al-Sudairi, yang melahirkan tujuh putra, di antaranya Raja Salman, Raja Fahd
bin Abdulaziz, Putra Mahkota Sultan bin Abdulaziz, dan Putra Mahkota Pangeran
Nayef bin Abdulaziz. Poros Al-Sudairi Tujuh paling berpengaruh di lingkungan
keturunan Raja Abdulaziz. Pangeran Mohammed bin Salman, Rabu lalu, sudah
membekukan rekening Pangeran Mohammed bin Nayef yang bahkan konon dikenai
tahanan rumah sejak dicopot dari jabatan putra mahkota. Harian Al Quds al Arabi
mengungkapkan, anggota keluarga dekat mantan Menteri Pertahanan Pangeran Sultan
bin Abdulaziz—juga dari poros Al-Sudairi Tujuh—pun ditangkap. Jika Pangeran
Mohammed berani bertindak terhadap pangeran dari poros Al-Sudairi Tujuh yang
dikenal kuat, apalagi terhadap para pangeran yang bukan dari poros Al-Sudairi
Tujuh. Ia tanpa ragu-ragu menangkap Pangeran Miteb bin Abdullah dan Pangeran
Alwaleed bin Talal. Pangeran Miteb adalah putra Raja Abdullah (almarhum),
saudara tiri Raja Salman. Begitu juga dengan Pangeran Alwaleed dari poros
Al-Talal yang dikenal sebagai pembangkang semasa hidupnya. Pangeran Talal
pernah mengasingkan diri ke Beirut dan Kairo. Ia juga menyerukan agar
diterapkan sistem monarki konstitusional di Arab Saudi. Posisi Pangeran
Alwaleed kuat dan terkenal karena suksesnya dalam bisnis hingga menjadi salah satu
orang terkaya di dunia. Namun, di keluarga besar Ibnu Saud, ia bukan dari poros
kuat.
Peran AS
Beredar pula berita bahwa tewasnya Pangeran Mansour bin
Muqrin pekan lalu akibat jatuhnya helikopter yang ditumpanginya di wilayah
Asir, dekat perbatasan dengan Yaman, karena sengaja ditembak oleh jet tempur
Arab Saudi. Pangeran Mansour disinyalir juga termasuk pangeran yang mengkritisi
kewenangan besar Pangeran Mohammed. Seperti Pangeran Miteb dan Pangeran
Alwaleed, ia bukan dari poros kuat Al-Sudairi Tujuh. Dinamika di Arab Saudi
saat ini menunjukkan, sayap Al-Salman untuk sementara memenangi pertarungan.
Namun, dinamika di negara itu tampaknya belum berakhir dan masih berlanjut.
Peran Amerika Serikat (AS) disebut cukup kuat terhadap kebijakan Pangeran Mohammed.
Sang putra mahkota ini dikelilingi beberapa konsultan politik dan ekonomi dari
AS, seperti Boston Consulting Group, McKinsey Group, dan Oliver Wyman
Consulting.[Sumber:Kompas Sabtu , 11 November 2017|OLEH: MUSTHAFA ABD RAHMAN]
--x--
19 Region
of Communist Party of China
SHANDONG
SHANGHAI
SICHUAN
JIANGSHU
GUANDONG
HENAN
HUNAN
BEIJING
LIAONING
HUBEI
HEBEI
ANHUI
ZHEJIANG
Heilongjiang
Guangxi
Yunnan
Tianjin
Shaanxi
Chongqing
Shanxi
Jiangxi
Xinjiang
Fujian
Inner Monggolia
Gansu
Guizhou
Jilin
Ningxia
Tibet
Qinghai
Hainan
100 TAHUN REVOULUSI OKTOBER | Rakyat Rusia Butuh
Perubahan
ORANG-orang
berkumpul dengan latar belakang foto Tsar Rusia Nicholas II dan pendiri Uni
Sovyet Vladimir Lenin dalam pembukaan pameran di sebuah museum seni di St
Petersburg, Rusia, Rabu (25/10) silam. Pameran yang berlangsung hingga 4
Februari 2018 ini diadakan dalam rangka peringatan 100 tahun Revolusi
Bolshevik.
Kesulitan hidup yang mendera rakyat Rusia menambah dukungan
pada sistem monarki dan komunisme. Bahkan, anak muda memimpikan masa depan yang
cerah, seperti yang dijanjikan Revolusi Oktober, 100 tahun yang lalu. Sistem
monarki dianggap lebih cocok karena rakyat Rusia membutuhkan pemerintah
otoriter.
Mikhail Ustinov (68) menyimpan kenangan pahit akibat
Revolusi Oktober tahun 1917. Banyak anggota keluarganya pada waktu itu dibunuh
karena mendukung kekuasaan tsar. Kini, Ustinov justru merindukan kembalinya
sistem monarki di Rusia. ”Rakyat Rusia sejatinya mendukung monarki di dalam
jiwanya meski Soviet mau menghancurkan jiwa kami,” kata Ustinov yang menyebut
dirinya juru bicara masyarakat monarki Moskwa, Sabtu (28/10). Penguasa monarki
Rusia yang terakhir, yakni Tsar Nicholas II, dibunuh kelompok Bolshevik tahun
1918. Istri dan anak-anaknya juga dibunuh. Tahun 1998, Tsar Nicholas II
direhabilitasi dan dimakamkan di Saint-Petersburg. Dua tahun kemudian, ia
ditetapkan sebagai orang suci oleh Gereja Ortodoks. Seperti keluarga Tsar
Nicholas II, semua anggota keluarga Ustinov juga dihancurkan di masa revolusi
yang dianggapnya sebagai kudeta. Sikap Ustinov ini juga dimiliki sekitar 28
persen rakyat Rusia yang menghendaki Rusia suatu saat nanti kembali ke sistem
monarki. Ini hasil survei lembaga jajak pendapat pemerintah, VTsIOM, Maret
lalu, atau naik dari 22 persen pada 2006. Para pendukung monarki populer di
kalangan generasi muda, yakni usia 18-24 tahun (33 persen) dan 25-34 tahun (35
persen). Sosiolog Stepan Lvov yang membantu survei ini menilai, generasi Soviet
menentang monarki berbeda dari generasi muda yang menginginkan monarki.
”Monarki bagi anak muda lebih menarik dan efektif. Monarki tidak dilihat
sebagai sistem pemerintah yang menghambat kebebasan dan demokrasi,” ujar Lvov.
Monarki dilihat sebagai alternatif solusi yang dapat mengembalikan ketertiban
di dunia yang tidak stabil ini. Lahir setelah Uni Soviet tumbang, guru sejarah
di Nizhny Novgorod, Pavel Markov, menilai, monarki lebih cocok bagi rakyat
Rusia. Demokrasi ternyata tak cocok karena rakyat membutuhkan pemerintahan
otoriter dan kekuasaan yang terpusat. ”Sistem monarki konstitusional memungkinkan
konsolidasi nilai-nilai tradisional untuk menguatkan rakyat yang menghadapi
masa sulit,” ujar Markov. Rusia juga sebenarnya saat ini sudah mendekati sistem
monarki karena Presiden Vladimir Putin sudah berkuasa selama 18 tahun. Bahkan,
kemungkinan bisa jadi bertambah lagi enam tahun setelah pemilihan presiden pada
2018. Jika itu terjadi, Putin pun sudah seperti tsar tak resmi.
Generasi muda
Selain monarki, generasi muda juga semakin mendukung Partai
Komunis karena tertarik pada ide sosialisme. Partai Komunis menjadi partai
kedua terbesar di parlemen dengan 42 kursi dari 448 total kursi yang dikuasai
partai Rusia Bersatu. Ketua gerakan anak muda dan Komite Pusat Partai Komunis
Vladimir Isakov (30) mendukung partai ini karena tertarik ideologi sosialisme.
”Tanpa revolusi, tidak mungkin ada orang pertama dari Rusia yang menjelajah
luar angkasa. Tidak ada juga kemenangan di Perang Dunia II. Kita tak akan jadi
negara adidaya,” ujarnya. Di era Soviet, sayap anak muda partai Komsomol atau
Persatuan Anak Muda Komunis memiliki banyak anggota. Kini, anggotanya mencapai
21.000 orang, sebagian besar berusia 20 tahun. Partai Komunis kerap menyerang
kebijakan ekonomi pemerintah yang dianggap tidak jelas karena ada di antara
liberalisme dan kapitalisme. Partai Komunis mendukung kebijakan luar negeri
Kremlin, kata Isakov, tetapi menentang kebijakan ekonomi dan sosial. ”Kami
setia pada ide Karl Marx dan Lenin,” ujarnya. Presiden Rusia Boris Yeltsin
pernah melarang Partai Komunis Uni Soviet setelah kudeta gagal Agustus 1991.
Waktu itu, para pemimpin partai berusaha mempertahankan rezim komunis. Namun,
pada 1993, partai komunis yang baru lahir dengan pimpinan Zyuganov, mantan
pejabat partai. Ia menyatakan partai ini sebagai pewaris Partai Komunis Soviet.
Partai ini populer 1990-an ketika jutaan warga jatuh miskin setelah reformasi
ekonomi. Zyuganov nyaris memenangi pemilihan presiden pada 1996 saat menghadapi
Yeltsin. Namun, gerakan radikal kiri Rusia menuding Partai Komunis kehilangan
sikap independen karena hanya melayani kepentingan Kremlin. Pada peringatan
Revolusi Bolshevik bulan depan, Partai Komunis berencana menggelar unjuk rasa
di Moskwa bersama kelompok sosialis internasional di Saint Petersburg.[Sumber :
Kompas, Senin, 30 October 2017 |EUTERS/AFP/LUK/AFP/OLGA MALTSEVA]
- @ -
Pawai Besar Dukung Persatuan | Pro-kemerdekaan Pertimbangkan Ikut Pemilu Desember
Para pendukung persatuan Spanyol berdemonstrasi di Barcelona, Minggu (29/10). Madrid mengambil alih pemerintahan Catalonia setelah parlemen wilayah otonom itu mendeklarasikan kemerdekaan.
BARCELONA, MINGGU — Unjuk rasa damai besar-besaran kembali terjadi di jalan-jalan di Barcelona, Minggu (29/10). Rakyat pendukung persatuan menyampaikan aspirasi mereka dengan penuh semangat. Sebanyak 300.000 warga diperkirakan turun ke jalan.
- @ -
TIMUR TENGAH | Tak Gentar Sanskis AS, Iran Terus Produksi Rudal
DUBAI, MINGGU —
Iran tak akan menghentikan produksi rudal untuk kepentingan pertahanan diri.
Mereka yakin, langkah itu tidak melanggar kesepakatan nuklir Iran tahun 2015.
Sikap tegas Iran ini muncul tiga hari setelah DPR Amerika Serikat menyepakati
sanksi baru terhadap Iran terkait program rudalnya. Presiden Iran Hassan
Rouhani menegaskan sikap Iran itu dalam pidato yang disiarkan televisi
nasional, Minggu (29/10). "Kami tetap akan mengembangkan rudal. Kami juga
akan tetap memproduksi persenjataan apa saja yang dibutuhkan dan akan kami
gunakan kapan saja untuk mempertahankan diri. Program ini tak melanggar
kesepakatan Internasional apa pun," kata Rouhani saat berpidato di
parlemen Iran.
= # =
Mengejar Impian Jadi Pabrik Inovasi
Naik kereta
api di China (sudah tidak) tut-tut-tut. Bahkan, karena saking cepat laju kereta
cepat, 250-350 kilometer per jam, nyaris tidak terdengar suara apa pun.
Jangankan suara, bergoyang saja tidak. Siapa yang hendak turut pun, (sudah
tidak) bisa naik
dengan percuma karena harga tiket yang relative mahal.
Naik kereta
api di China (sudah tidak) tut-tut-tut. Dengan kecepatan 250-350 kilometer per
jam, kereta itu bergoyang saja tidak. Siapa yang hendak turut pun, (sudah
tidak) bisa naik dengan percuma karena harga tiket yang relatif mahal.
Harga tiket
kelas dua untuk relasi dari ibu kota Beijing ke Shanghai 553 yuan atau Rp 1,13
juta. Tiket kelas satu dikenai harga 933 yuan (Rp 1,9 juta) dan 1.748 yuan (Rp
3,5 juta) untuk kelas bisnis. Meski begitu, kereta cepat atau kereta peluru
yang bentuknya mirip kereta peluru Shinkansen di Jepang ini semakin digemari.
Dari tahun 2007 hingga 2016 terdapat 5,79 miliar penumpang. Faktor kecepatan
penyebabnya. Bayangkan saja, kereta peluru yang kami naiki dari Stasiun Beijing
South menuju Shanghai Hongqiao atau melalui jalur kereta Jinghu cukup
membutuhkan waktu 4,5 jam. Padahal, jarak antara kedua kota itu 1.318
kilometer. Sebelum ada kereta cepat, perjalanan dari Beijing ke Shanghai di
pantai timur China butuh waktu 11 jam 22 menit. Sementara trayek
Beijing-Guangzhou yang berjarak 2.298 kilometer dulu jarak tempuhnya sampai 20
jam 53 menit. Sekarang? Cukup 8 jam saja. Pakar kereta cepat sekaligus Wakil
Direktur Departemen Internasional di China Academy of Railway Sciences Zhao
Zhangshan yang menemani rombongan kami yang terdiri atas 25 wartawan dari 18
negara di dalam kereta, 12 Oktober, mengatakan, rute Beijing-Shanghai ini
menghubungkan dua zona ekonomi penting di China, yakni Bohai Economic Rim dan
Yangtze River Delta. Untuk mendukung kereta cepat, sejak 1997-2017, semua rel
diperbaiki dan ditingkatkan kualitasnya. Jumlah kereta cepat sekitar 2.600 unit
yang beroperasi setiap hari, menghubungkan lebih dari 200 kota, menjangkau 32
dari 34 provinsi yang ada di China. Selain Beijing-Shanghai, ada juga rute
Beijing-Xian (1.216 kilometer), Shanghai-Guangzhou (1.647 kilometer),
Shanghai-Kunming (2.252 kilometer), Xian-Shanghai (1.509 kilometer), dan
Xian-Chengdu (643 kilometer). Hingga akhir 2016, panjang rel kereta cepat
mencapai 22.000 kilometer, termasuk 12.500 kilometer rute kereta dengan
kecepatan di bawah 250 kilometer per jam. Total jalur kereta sekitar 124.000
kilometer. Pada 2020 targetnya akan tercapai sepanjang 30.000 kilometer. Ambisi
China tidak hanya pada pengembangan teknologi kereta cepat, tetapi juga pada
pengembangan teknologi lain, seperti pesawat terbang komersial. Kami diajak
berkunjung ke ”pabrik” pesawat komersial China di Shanghai, tetapi sayangnya
semua informasi dan hasil pengamatan harus dirahasiakan dan tidak boleh
dipublikasikan. ”For your eyes only,” begitu kata pendamping kami mengingatkan.
Selain pesawat, China juga gencar mendorong pengembangan teknologi di bidang
media massa, seperti media cetak Oriental Morning Post di Shanghai yang sudah
100 persen beralih ke digital sejak tahun lalu dan berubah nama menjadi The
Papers. Meskipun unit usaha di bawah payung Shanghai United Media Grup ini
masih terbilang muda, pembacanya sudah mencapai 86 juta dan rata-rata 8,5 juta
per hari. Kuncinya, ada pada konten yang berkualitas yang setiap hari bisa
mencapai 350-400 tulisan, foto, dan video. Untuk mendukung riset, pengembangan
teknologi, dan inovasi perusahaan besar ataupun perusahaan yang baru mulai
berkembang, pemerintah membuka sejumlah kawasan industri, seperti Zhangjiang
Hi-tech Park seluas 79,7 kilometer kubik yang dibuka tahun 1992 di Shanghai. Di
tempat dengan fasilitas yang mendukung seperti ini lahir perusahaan platform
berbagi audio pertama dan terbesar di China, yakni Ximalaya FM dengan 400 juta
pengguna. Dari sini, kami diajak berkunjung ke Rumah Sakit Umum Shanghai yang
memanfaatkan teknologi untuk mempercepat layanan, mulai dari pendaftaran
administrasi hingga perawatan. Tidak ada proses antre karena semua sudah diatur
sendiri melalui mesin khusus seperti ATM, mulai dari menentukan dokter, memilih
jam konsultasi dokter, hingga memilih cara pembayaran. ”Ini konsep rumah sakit
pintar. Teknologi digunakan untuk mempermudah layanan demi kepentingan pasien,”
kata Presiden RSU Shanghai Wang Xingpeng yang mengajak kami berkeliling sambil
mencoba memakai mesin ”ATM kesehatan” itu. Ternyata betul, sesederhana memakai
mesin ATM. Untuk urusan pembayaran tanpa uang tunai, China lebih berpengalaman
karena semua transaksi pembayaran sudah bisa dilakukan cukup melalui aplikasi
WeChat di telepon genggam. Mulai dari beli tiket, kopi, cemilan, hingga
pemakaian fasilitas ”sepeda berbagi”. Bukan hanya itu. Setiap kali kami masuk
ke Gedung Balai Agung Rakyat untuk meliput Kongres Partai Komunis China (PKC),
pengamanan menggunakan teknologi identifikasi wajah. Jadi, sebelum melewati
mesin pemindai, wajah kami sudah terpampang di layar lengkap dengan nama, asal
media, dan asal negara.
Industri teknologi
Selama 13 hari kunjungan ke China, kami dibawa berkeliling
ke berbagai perusahaan dan kawasan industri di Beijing dan Shanghai untuk
menunjukkan perkembangan China selama paling tidak lima tahun terakhir. Pesan
yang kami tangkap adalah China bisa maju pesat karena berbekal inovasi dan
teknologi. Seperti yang beberapa kali dikemukakan Presiden China Xi Jinping
kepada PKC untuk mendorong industri teknologi. Dalam pidato pembukaan Kongres
Ke-19 PKC, Rabu lalu, Xi Jinping kembali mengajak mewujudkan ”Impian China”
sebagai negeri pencipta atau ”pabrik inovasi” di bidang-bidang antara lain
kedirgantaraan, energi ramah lingkungan, dan cyberspace. Untuk itu, Xi Jinping
berjanji memperkuat kerja sama antar-perguruan tinggi, lembaga penelitian
pemerintah, perusahaan negara, dan perusahaan yang baru mulai berkembang. ”Kita
akan memperkuat penelitian dasar sains, proyek-proyek sains dan teknologi skala
nasional, serta memprioritaskan inovasi pada teknologi penting,” kata Xi
Jinping.[Sumber :Kompas, Sabtu 21 October 2017 | OLEH : LUKI AULIA ]
Filipina Selatan Tetap Jadi Kancah Konflik
Pada 16 Oktober 2017 pagi, peluru tentara Filipina dipastikan menewaskan Isnilon Hapilon dan Umar Maute. Meski demikian, perang melawan terorisme di Filipina dan Asia Tenggara dinilai masih jauh dari selesai. Bahkan, tentara Filipina menambah 10 batalyon untuk mengejar sisa kelompok lain yang terafilisiasi dengan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah di Filipina Selatan.
Truk militer pengangkut personel melintasi area di kota Marawi, Pulau Mindanao, Filipina selatan, Rabu (25/10), yang sebelumnya menjadi lokasi utama pertempuran antarmilisi Maute dan tentara Filipina. Beberapa hari sebelumnya, Filipina mengumumkan bahwa pertempuran antara militer dan kelompok yang berafiliasi pada Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) itu berakhir setelah berlangsung selama berbulan-bulan.”
Kekalahan NIIS di Suriah, Irak, dan Filipina tidak berarti perang selesai. Serangan teror di New York dan tempat lain selama beberapa minggu terakhir menunjukkan ancaman tetap ada,” kata Menteri Luar Negeri Filipina Peter Cayetano, di Manila, seperti dikutip Reuters. Selain serangkaian teror yang terjadi di banyak negara, dasar pernyataan Cayetano adalah masih ada petinggi kelompok Maute yang hidup. Adik Umar Maute, Abdullah, diduga masih hidup dan memimpin kelompok itu. Deputi Kerja Sama Internasional BNPT Inspektur Jenderal Hamidin menyebutkan, orang dekat Hapilon sekaligus bendahara kelompok itu, Mahmud Ahmad alias Abu Handzallah, juga tidak diketahui keberadaannya. Mantan dosen Universiti Malaya di Malaysia itu diduga sudah tiga tahun menyusup ke Filipina. Jauh sebelum bergabung dengan Hapilon, Mahmud diketahui mengikuti latihan perang bersama Al Qaeda di Pakistan. Militan asing di Filipina bukan hanya Mahmud. Sejumlah warga Indonesia, Malaysia, dan beberapa negara lainnya juga diduga masih berada di Filipina. Di sana, mereka bergabung dengan kelompok Maute. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Arrmanatha Nasir menyatakan, sampai sekarang tidak ada informasi terverifikasi soal WNI di Marawi. Berkali-kali Indonesia meminta Filipina mengirimkan pemberitahuan resmi agar Kemlu RI bisa memverifikasi. ”Sampai sekarang, tidak pernah ada. KJRI di Davao dan KBRI Manila terus meminta itu,” ujarnya. Namun, Direktur Yayasan Prasasti Perdamaian Taufik Andrie menyatakan memang ada WNI yang menjadi milisi di Marawi. Mereka tiba dalam beberapa gelombang. ”Milisi asal Indonesia cenderung tidak terlalu memikirkan siapa pemimpinnya. Mereka hanya membutuhkan tempat untuk berperang,” tutur peneliti terorisme lulusan Asia-Pacific Center for Security Studies (APCSS) Hawaii itu.
20 kelompok bersenjata
Taufik mengatakan, pilihan lokasi untuk medan tempur besar bagi kelompok teror tetap berada di Filipina selatan. ”Di sana, masih banyak kelompok bersenjata,” ujarnya. Setidaknya 20 kelompok bersenjata masih aktif di Filipina. Sebagian, seperti Jamaatu al-Muhajireen Wal Ansar (JMA), sudah menyatakan kesetiaannya pada NIIS. Kelompok itu secara konsisten menyerang Front Pembebasan Islam Moro (MILF). Serangan-serangan itu bertujuan melemahkan MILF yang membantu tentara Filipina menyerang kelompok Maute. Diharapkan, saat MILF lemah, anggotanya beralih ke JMA. Pakar terorisme di S Rajaratnam School of International Studies, Rohan Gunaratna, juga menyebut Filipina selatan akan tetap menjadi pusat aktivitas teror di Asia Tenggara. Dalam Counter Terrorist Trend and Analyses edisi Oktober 2017, Gunaratna menyebut belum ada tanda NIIS akan sepenuhnya hilang dari Filipina. Meski demikian, ada potensi NIIS menyebarkan pengaruh ke Sabah di Malaysia dan Sulawesi di Indonesia. Karena itu, kerja sama keamanan Indonesia-Malaysia-Filipina tetap dibutuhkan agar hal itu tidak terjadi. Para menteri pertahanan di Indonesia-Malaysia-Filipina me- mang sudah bersepakat soal kerja sama itu. Saat ini fokus utama adalah menjaga perbatasan agar militan tak bisa menyusup.
Sulit muncul
Taufik menyatakan, saat ini sulit muncul medan pertempuran baru bagi kelompok teror di Asia Tenggara. Setelah NIIS tumbang di Suriah dan Irak, praktis tidak ada indikasi rebutan pengaruh untuk menjadi pemimpin di Asia Tenggara. Aksi teror dalam rangka perebutan pengaruh pernah terjadi sebelum kelompok Maute dan Hapilon muncul. Di Indonesia, perebutan pengaruh itu antara lain berujung pada ledakan bom Thamrin, Januari 2016. Bahrun Naim diduga mendalangi pengeboman itu dan sejumlah serangan lain. Ia diduga berusaha menjadi pemimpin di Asia Tenggara. Namun, namanya hilang setelah Maute dan Hapilon naik daun. Pemimpin Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Indonesia yang berafiliasi ke NIIS, Aman Abdurrahman, juga tidak menunjukkan ambisi menjadi kepala di Asia Tenggara. Padahal, banyak anggota JAD berkali-kali mendesaknya. Medan pertempuran baru juga sulit muncul karena di negara Asia Tenggara lainnya tidak ada kelompok bersenjata sekuat di Filipina. Di Indonesia, JAD dan Jamaah Islamiyah (JI) yang condong ke Al Qaeda terus diburu polisi. Tentara Penyelamat Rohingya Arakan (ARSA) di Myanmar belum terlalu kuat. Kelompok yang sudah menyatakan kesetiaan pada NIIS itu masih sangat kesulitan menghadapi pasukan Myanmar. Di Malaysia, petugas keamanan terus memburu dengan ketat setiap orang yang dicurigai terlibat terorisme. Bahkan, unggahan di media sosial bisa membuat seseorang ditangkap dan dikenai tuduhan terlibat terorisme. Di Thailand, sampai sekarang belum ada kelompok yang betul-betul teruji dan terbuka mendukung NIIS. Bahkan, Barisan Revolusi Nasional (BRN), kelompok yang memperjuangkan pemisahan Thailand selatan, sudah menyatakan tidak akan menerima NIIS di Thailand. Sejauh ini kelompok teror hanya memanfaatkan Thailand sebagai jalur penyelundupan logistik dan orang. Pun, tidak semua faksi teroris bisa memanfaatkan itu dengan baik. Di Indonesia, sejauh ini hanya JI yang memiliki jaringan untuk menyelundupkan orang dan logistik. Adapun JAD berkali-kali terbukti gagal. Taufik mengatakan, JI sedang menunjukkan gejala bangkit lagi. Indikasinya, 28 anggota JI ditangkap selama 2014-2017. Sebelumnya, sejak teroris Malaysia Noordin M Top tewas ditembak di Jawa Timur pada 2009, tak ada anggota JI yang ditangkap. ”Saat ada yang tertangkap lagi, berarti mereka mulai kembali beraktivitas,” ucapnya. Meskipun demikian, ia meyakini JI belum akan menjadi ancaman dalam waktu dekat. Kelompok itu dinyatakan masih terlalu sibuk dengan pembenahan internal. ”Ancaman terdekat sekarang dari JAD,” ujarnya. Pada Agustus 2017, JAD menyebarkan video yang mengajak berperang ke Filipina, Suriah, dan Irak. Beberapa penangkapan oleh polisi menunjukkan anggota JAD melakukan dan merencanakan serangan ke sejumlah sasaran di Indonesia.[Sumber : Kompas, Minggu 5 Nov 2017 KRIS RAZIANTO MADA]
AFP/TED ALJIBE
*_-
Pada 16 Oktober 2017 pagi, peluru tentara Filipina dipastikan menewaskan Isnilon Hapilon dan Umar Maute. Meski demikian, perang melawan terorisme di Filipina dan Asia Tenggara dinilai masih jauh dari selesai. Bahkan, tentara Filipina menambah 10 batalyon untuk mengejar sisa kelompok lain yang terafilisiasi dengan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah di Filipina Selatan.
Truk militer pengangkut personel melintasi area di kota Marawi, Pulau Mindanao, Filipina selatan, Rabu (25/10), yang sebelumnya menjadi lokasi utama pertempuran antarmilisi Maute dan tentara Filipina. Beberapa hari sebelumnya, Filipina mengumumkan bahwa pertempuran antara militer dan kelompok yang berafiliasi pada Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) itu berakhir setelah berlangsung selama berbulan-bulan.”
Kekalahan NIIS di Suriah, Irak, dan Filipina tidak berarti perang selesai. Serangan teror di New York dan tempat lain selama beberapa minggu terakhir menunjukkan ancaman tetap ada,” kata Menteri Luar Negeri Filipina Peter Cayetano, di Manila, seperti dikutip Reuters. Selain serangkaian teror yang terjadi di banyak negara, dasar pernyataan Cayetano adalah masih ada petinggi kelompok Maute yang hidup. Adik Umar Maute, Abdullah, diduga masih hidup dan memimpin kelompok itu. Deputi Kerja Sama Internasional BNPT Inspektur Jenderal Hamidin menyebutkan, orang dekat Hapilon sekaligus bendahara kelompok itu, Mahmud Ahmad alias Abu Handzallah, juga tidak diketahui keberadaannya. Mantan dosen Universiti Malaya di Malaysia itu diduga sudah tiga tahun menyusup ke Filipina. Jauh sebelum bergabung dengan Hapilon, Mahmud diketahui mengikuti latihan perang bersama Al Qaeda di Pakistan. Militan asing di Filipina bukan hanya Mahmud. Sejumlah warga Indonesia, Malaysia, dan beberapa negara lainnya juga diduga masih berada di Filipina. Di sana, mereka bergabung dengan kelompok Maute. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Arrmanatha Nasir menyatakan, sampai sekarang tidak ada informasi terverifikasi soal WNI di Marawi. Berkali-kali Indonesia meminta Filipina mengirimkan pemberitahuan resmi agar Kemlu RI bisa memverifikasi. ”Sampai sekarang, tidak pernah ada. KJRI di Davao dan KBRI Manila terus meminta itu,” ujarnya. Namun, Direktur Yayasan Prasasti Perdamaian Taufik Andrie menyatakan memang ada WNI yang menjadi milisi di Marawi. Mereka tiba dalam beberapa gelombang. ”Milisi asal Indonesia cenderung tidak terlalu memikirkan siapa pemimpinnya. Mereka hanya membutuhkan tempat untuk berperang,” tutur peneliti terorisme lulusan Asia-Pacific Center for Security Studies (APCSS) Hawaii itu.
20 kelompok bersenjata
Taufik mengatakan, pilihan lokasi untuk medan tempur besar bagi kelompok teror tetap berada di Filipina selatan. ”Di sana, masih banyak kelompok bersenjata,” ujarnya. Setidaknya 20 kelompok bersenjata masih aktif di Filipina. Sebagian, seperti Jamaatu al-Muhajireen Wal Ansar (JMA), sudah menyatakan kesetiaannya pada NIIS. Kelompok itu secara konsisten menyerang Front Pembebasan Islam Moro (MILF). Serangan-serangan itu bertujuan melemahkan MILF yang membantu tentara Filipina menyerang kelompok Maute. Diharapkan, saat MILF lemah, anggotanya beralih ke JMA. Pakar terorisme di S Rajaratnam School of International Studies, Rohan Gunaratna, juga menyebut Filipina selatan akan tetap menjadi pusat aktivitas teror di Asia Tenggara. Dalam Counter Terrorist Trend and Analyses edisi Oktober 2017, Gunaratna menyebut belum ada tanda NIIS akan sepenuhnya hilang dari Filipina. Meski demikian, ada potensi NIIS menyebarkan pengaruh ke Sabah di Malaysia dan Sulawesi di Indonesia. Karena itu, kerja sama keamanan Indonesia-Malaysia-Filipina tetap dibutuhkan agar hal itu tidak terjadi. Para menteri pertahanan di Indonesia-Malaysia-Filipina me- mang sudah bersepakat soal kerja sama itu. Saat ini fokus utama adalah menjaga perbatasan agar militan tak bisa menyusup.
Sulit muncul
Taufik menyatakan, saat ini sulit muncul medan pertempuran baru bagi kelompok teror di Asia Tenggara. Setelah NIIS tumbang di Suriah dan Irak, praktis tidak ada indikasi rebutan pengaruh untuk menjadi pemimpin di Asia Tenggara. Aksi teror dalam rangka perebutan pengaruh pernah terjadi sebelum kelompok Maute dan Hapilon muncul. Di Indonesia, perebutan pengaruh itu antara lain berujung pada ledakan bom Thamrin, Januari 2016. Bahrun Naim diduga mendalangi pengeboman itu dan sejumlah serangan lain. Ia diduga berusaha menjadi pemimpin di Asia Tenggara. Namun, namanya hilang setelah Maute dan Hapilon naik daun. Pemimpin Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Indonesia yang berafiliasi ke NIIS, Aman Abdurrahman, juga tidak menunjukkan ambisi menjadi kepala di Asia Tenggara. Padahal, banyak anggota JAD berkali-kali mendesaknya. Medan pertempuran baru juga sulit muncul karena di negara Asia Tenggara lainnya tidak ada kelompok bersenjata sekuat di Filipina. Di Indonesia, JAD dan Jamaah Islamiyah (JI) yang condong ke Al Qaeda terus diburu polisi. Tentara Penyelamat Rohingya Arakan (ARSA) di Myanmar belum terlalu kuat. Kelompok yang sudah menyatakan kesetiaan pada NIIS itu masih sangat kesulitan menghadapi pasukan Myanmar. Di Malaysia, petugas keamanan terus memburu dengan ketat setiap orang yang dicurigai terlibat terorisme. Bahkan, unggahan di media sosial bisa membuat seseorang ditangkap dan dikenai tuduhan terlibat terorisme. Di Thailand, sampai sekarang belum ada kelompok yang betul-betul teruji dan terbuka mendukung NIIS. Bahkan, Barisan Revolusi Nasional (BRN), kelompok yang memperjuangkan pemisahan Thailand selatan, sudah menyatakan tidak akan menerima NIIS di Thailand. Sejauh ini kelompok teror hanya memanfaatkan Thailand sebagai jalur penyelundupan logistik dan orang. Pun, tidak semua faksi teroris bisa memanfaatkan itu dengan baik. Di Indonesia, sejauh ini hanya JI yang memiliki jaringan untuk menyelundupkan orang dan logistik. Adapun JAD berkali-kali terbukti gagal. Taufik mengatakan, JI sedang menunjukkan gejala bangkit lagi. Indikasinya, 28 anggota JI ditangkap selama 2014-2017. Sebelumnya, sejak teroris Malaysia Noordin M Top tewas ditembak di Jawa Timur pada 2009, tak ada anggota JI yang ditangkap. ”Saat ada yang tertangkap lagi, berarti mereka mulai kembali beraktivitas,” ucapnya. Meskipun demikian, ia meyakini JI belum akan menjadi ancaman dalam waktu dekat. Kelompok itu dinyatakan masih terlalu sibuk dengan pembenahan internal. ”Ancaman terdekat sekarang dari JAD,” ujarnya. Pada Agustus 2017, JAD menyebarkan video yang mengajak berperang ke Filipina, Suriah, dan Irak. Beberapa penangkapan oleh polisi menunjukkan anggota JAD melakukan dan merencanakan serangan ke sejumlah sasaran di Indonesia.[Sumber : Kompas, Minggu 5 Nov 2017 KRIS RAZIANTO MADA]
AFP/TED ALJIBE
Comments