OPINI

Hilangnya Semar
Tiga tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dinilai telah memberikan tingkat kepuasan yang lumayan tinggi bagi masyarakat. Namun, sukses itu ternyata tidak serentak menghilangkan kegelisahan masyarakat. Tentu kegelisahan itu tidak disebabkan pertama-tama karena pemerintahan Presiden Jokowi, tetapi justru karena peluang-peluang demokrasi yang disalahgunakan secara tidak bertanggung jawab oleh sementara kalangan.
Itulah latar belakang bagi Bentara Budaya Yogyakarta dalam menjalankan program seni dan budayanya selama September-Oktober 2017, menyongsong tiga tahun pemerintahan Jokowi-Kalla. Programnya adalah pameran foto bertema Di mana Garuda dan pameran lukisan serta pentas kesenian berjudul Hilangnya Semar. Garuda, simbol kekayaan identitas bangsa, akhir-akhir ini seakan menghilang. Dalam pameran Di mana Garuda, para wartawan foto yang tergabung dalam Pewarta Foto Indonesia menampilkan karya yang menggambarkan bagaimana Garuda masih bisa ditemukan walau dalam keter sembunyian nya yang dalam. Hilangnya Semar memperlihatkan keprihatinan serupa. Khusus di Jawa, Semar adalah simbol kebudayaan, identitas, dan pamomong, yang selalu mendampingi manusia dalam suka dukanya. Dengan Hilangnya Semar dilukiskan bagaimana dewasa ini kebudayaan, identitas, dan pamomong itu menghilang. Hilangnya Garuda dan Semar mengajak kita merenungkan kembali kegelisahan yang akhir-akhir ini terjadi. Pertama-tama, kendati banyak kemajuan, dewasa ini kita mudah merasa tidak terikat satu sama lain. Tiadanya keterikatan itu membuat hidup jadi kurang nyaman, tidak terjamin, dan kurang bahagia. Sebagian warga, lebih-lebih kelompok minoritas, malah merasa hidup dan keberadaannya kurang diterima. Seakan mereka bukanlah saudara se-Tanah Air dan sebangsa. Sebagai tempat, Tanah Air itu ada dan menampung kita. Namun, karena di tempat itu kita tak lagi merasakan keintiman, keterikatan, kenyamanan, dan keamanan, kita seperti kehilangan Tanah Air. Tanah Air itu bagaikan ibu, tempat kita ingin selalu kembali dan rindu. Hilangnya Garuda dan Semar adalah simbolik ketika Tanah Air seperti tak lagi bisa menjadi ibu. Sekarang, kita mudah menjadi serba gelisah. Mungkin karena Semar sudah ditelan raksasa, seperti digambarkan dalam pameran seni di Bentara Budaya itu. Raksasa itu adalah globalisasi yang menelan bulat-bulat hidup kita, lebih-lebih kaum kita yang miskin dan terpinggirkan. Bagi kaum yang terakhir ini, globalisasi bukanlah keuntungan, melainkan kerugian. Dalam keadaan belum siap, mereka sudah dipaksa masuk ke dalam globalisasi yang telah menjadi sivilisasi modern. Padahal, seperti dikatakan sosiolog Zygmunt Bauman, sivilisasi modern bukanlah jaminan manusia tak menjadi barbar, malah sivilisasi bisa juga menyebabkan kebarbaran. Hal itu terjadi karena andalan sivilisasi globalisasi adalah teknologi. Sementara, kata Bauman, dalam teknologi tersembunyi risiko ”adhiaphorisasi”. Maksudnya, karena teknologi, manusia dijadikan indifferent, acuh tak acuh, tak peduli dan cuek dalam perilaku moralnya. Teknologi membuat semuanya jadi netral. Akibatnya, keberadaan manusia pun bisa dianggap tak punya nilai istimewa. Karena itu, manusia bisa begitu saja ditiadakan. Globalisasi teknologi modern itu bisa menelan mentah-mentah Semar sebagai simbol wong cilik. Itulah kiranya barbarisasi teknologi zaman modern yang sedang melanda kita dewasa ini. Teknologi yang netral terhadap nilai hidup manusia dengan mudah memperalat manusia untuk menjadi barbar. Tindakan barbar itu boleh kita lihat dengan paling jelas dalam kekejaman dan kebrutalan aksi-aksi terorisme. Dalam fenomena itu tampak bagaimana teknologi modern menggandeng fanatisme primitif untuk menjadi kekuatan superdestruktif terhadap kemanusiaan. Kita gelisah karena barbarisme teroris ini juga sudah mendatangi hidup kita. Dan, menyedihkan, karena lagi-lagi yang jadi alat dan diperalat adalah kaum miskin, kurang pendidikan, dan terpinggirkan oleh arus globalisasi.
Semar-semar palsu
Cuek dan tak peduli terhadap kemanusiaan akibat kemajuan teknologi itu memang telah melanda Tanah Air kita. Ibaratnya kita telah menjadi manusia batu. Hati kita membatu tak punya perasaan. Di hadapan manusia batu ini, seorang Semar, personifikasi kearifan dan kebijaksanaan, juga tak bisa berbuat apa-apa. Ia memberi tahu dan menasihati, tetapi itu semua seperti angin berlalu buat manusia batu. Akhirnya Semar pun hilang, bukan karena ia memang mau menghilang, melainkan karena ia sudah tak lagi didengarkan dan dipedulikan. Kecuekan terhadap kemanusiaan itu menjadi paling terwujud dalam diri politikus kita. Mereka tak memandang rakyat dalam segala aspek manusianya yang utuh. Kemanusiaan rakyat disempitkan hanya pada emosi, naluri primordial, dan sentimen mayoritas serta agresi fanatisme keagamaan. Akal sehat, rasa kebersamaan, dan naluri toleransi dikesampingkan. Ini semua dijalankan oleh politikus semata-mata demi meraih kekuasaan, yang belum tentu membahagiakan rakyat. Sementara rakyat sendiri memang belum terlalu matang dalam menyadari dan mengolah kemanusiaannya secara utuh. Maka, dengan mudah, mereka tersulut oleh provokasi politik yang membakar emosi, naluri primordial, supremasi mayoritas, serta agresi fanatisme keagamaannya. Kemanusiaan rakyat sungguh dimiskinkan oleh kepentingan kekuasaan para politikus. Dan, rakyat sebagai endapan kebijaksanaan, guru hidup berketetanggaan, gotong royong dan toleransi jadi menghilang. Itulah tragika yang ingin digambarkan dengan hilangnya Garuda dan Semar. Politikus-politikus mengerjakan semuanya itu demi dan atas dasar kebebasan, yang diberikan oleh demokrasi. Namun, mereka menyalahpahami kebebasan. Kebebasan digunakan sebagai alat kekuasaan, bukan sebagai penyangga demokrasi. Demi alasan kebebasan, rakyat terus diprovokasi untuk menggunakan kebebasannya, dengan melebih-lebihkan bahwa rakyat berhak atas semuanya. Wacana kebebasan dipersempit menjadi ”mana hakku” dan ”bagaimana aku memperoleh hakku”. Itulah yang oleh filsuf Axel Honneth disebut sebagai ”patologi kebebasan”. Kebebasan demikian adalah patologis karena berakibat menyempitkan manusia hanya sebagai ”orang yang berhak” dan melupakannya sebagai ”manusia yang berkewajiban”. Memang apabila manusia hanya disempitkan pada haknya, ia akan menjadi patologis buat lingkungannya, tak peduli terhadap kesosialan, keterikatan, dan kewargaannya. Situasi ini menjadi makin patologis jika wacana kebebasan dibumbui dengan bahasa sentimen primordial yang bernada mengecualikan: ”mana hakku sebagai pribumi” dan ”bagaimana aku harus meraih hakku sebagai pribumi”. Politikus penyalah guna kebebasan itu kini berkeliaran dalam jagat demokrasi kita. Mereka menarik karena pandai membungkus dirinya dengan pencitraan yang mudah diterima rakyat. Mereka memikat karena pandai menggunakan bahasa yang akrab dengan rakyat. Mereka itulah ”semar-semar palsu” yang digambarkan oleh pameran seni Hilangnya Semar. Semar memang figur rakyat. Karena itu, dengan menjadi seperti Semar, mereka juga mudah diterima rakyat. Semar-semar palsu itu pandai berkata bijak dan damai. Namun, kebijakan dan kedamaian itu hanyalah bungkus untuk menyembunyikan tindakannya yang suka menyulut pertentangan dan permusuhan. Mereka arif berkhotbah tentang kesederhanaan, tetapi dalam tindakannya mereka penumpuk harta dan koruptor. Mereka itulah ”Semar Mroyek”, Semar yang bergelimangan uang karena proyek-proyeknya. Semar itu sesungguhnya dewa rupawan bernama Ismaya. Ketika ia mroyek, Ismaya pun meninggalkan dirinya. Semar hanya menjadi badan wadak belaka. Celakanya, kewadakan ini justru diterima dengan mudah karena dewasa ini banyak warga masyarakat sudah didangkalkan, diwadakkan dalam formalisme, ritualisme, dan materialisme semata-mata. Semar-semar palsu itu adalah politikus-politikus bunglon. Dengan mudah mereka berganti wajah. Wajah atau kepala mereka bisa berganti-ganti, tetapi badannya tetaplah Semar. Dengan berbadan Semar, mereka tetap bisa diterima orang kebanyakan. Namun, sebenarnya mereka menipu karena kepala mereka bukanlah kepala Semar. Itulah lambang pribadi yang terbelah. Badannya proletar, tetapi kepalanya borjuis. Badannya ”kiri”, tetapi kepalanya ”kanan”. Badannya ”timur”, tetapi kepalanya ”barat”. Sesekali kepalanya ”partai ini”, lain kali ”partai itu”. Kepala kutu loncat ini tak merasa bersalah karena mereka yakin badannya tetaplah Semar yang merakyat. Mereka lupa rakyat lama-lama akan tahu bahwa mereka bukanlah pribadi politik yang berintegritas. Banyak Semar palsu sekarang menjadi aktor politik demokrasi kita. Mereka merasa menegakkan demokrasi, tetapi sesungguhnya mereka ancaman yang bisa meruntuhkan demokrasi. Di banyak belahan dunia, akhir-akhir ini fakta politis memperlihatkan, demokrasi sungguh terancam jika pemerintahan dan jabatan kenegaraan jatuh di tangan politikus tak berintegritas yang mroyek dan korup. Parlemen juga diperlemah apabila anggotanya terpisah dari keprihatinan dan keinginan rakyat. Seperti yang terjadi pada kita, DPR merembuk dan memutuskan sesuatu, sementara rakyat di tempatnya sendiri dan dengan caranya sendiri sudah memutuskan dan menjalankan sesuatu yang berlawanan dengan rembukan dan putusan DPR. Itu dengan mudah terbaca dalam lalu lintas media sosial yang begitu kritis dan sinis terhadap kebijakan, langkah, dan kata-kata pejabat atau anggota DPR. Keadaan demikian adalah tanda bahaya bagi demokrasi, tepatnya demokrasi representatif yang kita miliki. Soalnya, lama-lama rakyat tak percaya lagi kepada representasi wakil-wakilnya. Mereka merasa keprihatinannya tak disalurkan dengan baik oleh wakil-wakilnya. Kalau demikian, apa gunanya representasi mereka? Pertanyaan ini adalah cikal bakal bagi munculnya gerakan populisme. Populisme itu mudah marak di negara-negara demokrasi yang kuat, apalagi di negara yang baru belajar demokrasi seperti kita. Padahal, kita tahu, populisme itu bahaya bagi demokrasi karena, bagi mereka, perantara atau representasi sudah tidak relevan lagi. Mereka cenderung memangkas perwakilan itu. Jelas, ini bisa berakibat pada anarki, apalagi jika dalam situasi demikian muncul demagog-demagog populis yang pandai membakar nyala populisme itu. Dari hal di atas benarlah adagium yang berkata, ”demokrasi bisa mengubur dirinya sendiri”. Sebab, lawan dari demokrasi tak datang dari ”luar”, tetapi dari ”dalam” dirinya sendiri. Dan, lawan-lawan itu adalah aktor-aktor patologis demokrasi: politikus-politikus yang tak bertanggung jawab, korup, dan tak berintegritas. Dalam hal ini perlu kita ingat sejenak ejekan J Goebbels, demagog fasistis rezim Nazi. Kata Goebbels, ”Inilah lelucon demokrasi: bagi musuh bebuyutannya, demokrasi menyediakan sendiri senjata yang digunakan untuk membunuh dirinya sendiri.”
Sengkuni tobat

Menghadapi tahun politik menjelang Pemilu dan Pilpres 2019, Presiden Jokowi kelihatannya meraba segala kegelisahan, kekhawatiran, dan bahaya di atas. Karenanya, Presiden meminta kita waspada dan tak membuat kegaduhan: ”Masyarakat butuh ketenangan. Masyarakat perlu kesejukan. Masyarakat memerlukan pemimpin yang memberi semangat, syukur kalau bisa memberi inspirasi. Masyarakat perlu itu. Bukan malah membuat masyarakat khawatir” (Kompas, 20/10/17). Sesungguhnya, seperti ditemukan para wartawan foto dan diungkapkan para seniman dalam pameran ”Hilangnya Garuda dan Semar” itu, kegaduhan itu tak ada di tingkat bawah. Para wartawan menunjukkan, Garuda tetap hidup dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Garuda itu mewujud dalam kegembiraan anak-anak yang bermain dan optimistis akan masa depannya, dalam kegembiraan menyambut perayaan 17 Agustus, juga dalam perbuatan cinta kasih dan tolong-menolong yang amat biasa dan sederhana. Sementara beberapa seniman menggambarkan, Semar juga tidak hilang, kita bisa menemukannya asal kita mencari dia di tengah kehidupan yang sederhana. Ia tersenyum di pasar ikan, ia bekerja sebagai penyapu jalan, yang menyapu bukan dengan sapu lidi, melainkan sapu persatuan. Rakyat biasa juga bisa mengambil hikmah justru dengan hilangnya Semar. Dalam pertunjukan wayang kulit untuk menutup pameran di Bentara Budaya, digelar lakon Ilange Semar. Diceritakan, hilangnya Semar membuat terang dan jelas mana yang baik dan mana yang jahat. Manusia tak bisa mengelak untuk diterangi cahaya terang itu. Bahkan, Patih Sengkuni, tokoh culas dan provokator kerusuhan yang ulung, tak bisa tidak harus mengakui kesalahannya. Ia tak bisa lagi menutupi kejahatannya. Ia tersiksa oleh kejahatan itu. Maka, ia ingin bertobat. Alasan pertobatannya bukan lagi moral, politik atau kekuasaan, melainkan kehidupan. Ia merasa sudah tua, tak boleh lagi ia meneruskan kejahatannya. Kalau tidak, bagaimana ia mempertanggungjawabkan semua perbuatannya ketika mati nanti. Sengkuni akhirnya bertobat. Mana ada Sengkuni bertobat? Ini sungguh melawan pakem wayang. Namun, malam itu lakon wayang Ilange Semar memang sengaja hendak dijadikan sindiran agar politikus kita juga mau bertobat, seperti Sengkuni. Memang, seluruh perbuatan politik pun tak bisa hanya dipertanggungjawabkan secara politik dan demi kekuasaan. Politik harus dipertanggungjawabkan juga terhadap kehidupan, yang mau tak mau harus berhadapan dan berakhir dengan kematian dan akhirat. Untuk itu, siapa pun perlu bertobat.[Sumber : Kompas6 Nov 2017 |Oleh : SINDHUNATA Pemimpin Majalah Basis, Yogyakarta]
⇚⇊⇒
Kaleidoskop Otonomi Daerah oleh Irfan Ridwan Maksun
Dalam tahun 2017, berturut-turut dalam konteks otonomi daerah, bangsa Indonesia mengecap sejumlah peristiwa. Peristiwa itu mulai dari pelaksanaan pilkada serentak, penangkapan beberapa kepala desa terkait dana desa, dicokoknya sejumlah kepala daerah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mencuatnya kembali usulan pemindahan ibu kota RI, rendahnya daya serap APBD sejumlah daerah, hingga aroma Pilkada Serentak 2018 dan Pilpres 2019 yang kian menguat. Diprediksi 2018 adalah ajang politik nasional dan lokal untuk mengambil hati masyarakat Indonesia. Tentu ini berimplikasi signifikan terhadap praktik otonomi daerah (otda) ke depan. Oleh karena itu, kita harus cermat mengkajinya untuk membawa perbaikan kehidupan berbangsa Indonesia.

* ) *

Protokol Madrid dan EKonomi Kreatif oleh Ari Juliano Gema
Pada 2 Oktober 2017, Indonesia secara resmi bergabung menjadi negara pihak ke-100 dari The Protocol Relating to Madrid Agreement Concerning the International Registration of Marks (Protokol Madrid). Bergabungnya Indonesia ditandai dengan diserahkannya instrumen aksesi Indonesia atas Protokol Madrid oleh Menteri Hukum dan HAM RI kepada Dirjen World Intellectual Property Organization (WIPO) di Geneva, Swiss, saat penyelenggaraan Sidang Umum WIPO.
*(*

Kita Ini Siapa oleh Radhar Panca Dahana
TENTU saja kita, bangsa Indonesia, selalu samar, bingung bahkan tidak tahu atau tak percaya
pada sejarah asal-muasalnya sendiri. Karena buku atau literatur yang mencoba menjelaskan hal
itu pun masih bersilang sengketa, berbasis datanya masing-masing. Sementara kita sendiri,
sebagai warga yang patuh pada negara, mengikuti dan mengakui panduan dan ajaran negara
tentang sejarah diri kita, setidaknya melalui pendidikan formal melalui buku sejarah resmi pemerintah.
Apa yang kit abaca dari buku panduan sejarah negara itu, berulang-ulang sejak puluhan lalu, terdengar sudah pserti favel atau mitos. Sebagaimana tercantum dalam buku teks Sejarah Indonesia untuk SMA, terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia tahun 2015, halaman 51, terceritalah bahwa “Seiring dengan kedatangan orang-orang dari Yunnan ke Kepulauan Indonesian (2000-1500 SM) yang kemudian dikenal sebagai nenek moyang kita itu, makan pelayaran dan perdagangan mulai dikenal”.
Sambil membawa cermin, orang Batak,, Sunda, Bugis, hingga Flores bisa mendatangi provins idi barat daya RRC, yang direbut dari kerajaan Thai pada awal abad Masehi itu, lalu membanding-bandingkan diri. Semirip apa kita dengan “nenek moyang” itu? Sehebat apa “nenek moyang” itu bisa melahirkan bagnsa-bangsa yagn kemudian kita kenal sebagai penghuni Nusantara” sebagai bangsa Indonesia yang Bhineka tunggal ika itu?
Lalu, bagaimana dengan banyak data baru (ditemukan) yang ditebar banyak ahli belakangan ini? Bahwa penghuni awal kepulauan ini, bangsa Australomelanesia yang berkulit gelap, telah melaut sejuah 70 kilometer untuk mencapai dan menghuni Australia dan ke barat menyeberangi Samudra Hindia, pada 3.000 SM (Belwood, 2000; Read, 2005). Atau kitab kuno Geographiea Syntaxis karya Ptolomeus pada 161, menyebut kota Baroussai (Barus) sebagai penghasil kapur wangi (kamper) yang membalsem raja Mesir, Ramses KK, pada 5.000 SM? Temuan fosil cengkeh di ktoa Terqa, Eurfrat Tengah, bertarikh 1.700 SM ,juga fosil kambign di Pulau Timor bertarikh 1.500 SM, masa di mana kambing hanya hidup di Timur Tengah?
Bagaimana pula dengan temuan batu-batu purba di lembah Bada (Sulawesi Tengah) dan Goa Paseman (Sumatera Selatan) yang mengukir gambar seorang perwira perang mengendari gajah mengenakan sepatu bot dan gelang yang mirip jam tangan (Muhandar, 2010)? Batu itu bertarikh 3.000 SM, jauh lebih tua daripada budaya Dongson yang ktia anggap membawa peradaban baru (perunggu) ke negeri ini. Apalagi dikaitkan dengan fosil-fosil manusia Liang Bua (Homo floresiensis alias hobbit) dari masa 94.000-13.000 SM, manusia dari Manggarai, Flores, yang katai (pendek) karena terkena wabah mikrocefali.
Tentu saja masih banyak temuan baru lain yang tidak hanya menelurkan teori “arus balik”, di mana justru bangsa Nusantara yang melakukan migrasi ke utara, termasuk ke Vietnam hingga Hina utara, tetapi jgau sebuah konstatasi dari Michael D Coe dan S Houston dalam bukunya The Maya (2004: 58), yang menyatakan peradaban Maya, “…was diffused fro meastern Indonesia to Mesopotamia at a very early date”. Walau sebagian menganggapnya sumir, data itu membuat kita seamkin dalam bertanya. Dar manakan kita sesungguhnya? Siapa kita orang dan bangsa Indonesia ini sebenarnya?
Asing di kita
Kita bleum tahu bagaimana nanti akhir kontroversi hobbit dari Liagn Bua. Mungkin masyarkat saintifik dunia sulit untuk jujur dan berani mengakui pendapat Prof T Jacob (alm) bahwa hobbit itu adalah bagian dari Homo sapiens. Sebab, jika itu terjadi, fakta bar utersebut bisa mementahkan seluruh riwayat lahirnya bangsa-bangsa di dunia, yang tentu saja tidak hanya membaut seluruh civitas academica blingsatan, bahkan jatuh pingsan.
Namun, tanpa perlu itu terjadi, bukti-bukti arkeologis dan paleontologist sudah memperlihatkanbagaimana sebuah peradaban cukup tinggis sebenarnya sudah terbangun di kepulauan ini, jauh masa sebelum mitos-mitos yang didiseminasi oleh buku-buku sejarah negara. Termasuk di antaranya kedatangan bagnsa Arya-India ke Indonesia yang sejak awal masehi dan menginisiasi berdirnay kerajaan-kerajaan (bergaya) konsentris (Kontinental) pertama di beberapa Kepulauan Nusantara, sebelum Kuta di Kalimantan atau Tarumanegara di Bogor.
Setidaknya hal itu memberi kita pemahaman betapa (orang/bangsa) India, baik yang keeling (dravidan) maupun  mestizo (campuran Arya), sudah ikut mendiami kepulauan ini selama 2.000 tahun atau dua millennium. Masa yang jauh leibh tua ketimbang munculnya beberapa suku  bangsa di Indonesia, seperti Betawi bahkan Baduy. Bagaimana dengan karakter egaliternya sebagai bangsas bahari, masyarakat kepulauan ini mengembangkan pergaulan hingga percampuran ras (perkawinan silang) dengan bagnsa-bangsa asing itu, hingga melahirkan bentuk-bentuk campuran baru.
Sama halnya dengan orang/bangsa China yagn menruut Prof Lian Liji (2012) sudah melakukan hubungan tributer dengan bangsa-bangsa di Nusantara sejak masa Dinasti Han Timur (25-220 M). Profesor yang meneliti khusus catatan-ctatan kerajaan, yang detai ldan ditradisikan sejak abad ke-3 SM, tentang hubungan China-Indonesia, mencatat hubungan antara kerajaan China dan Ye Diao (Jawa) seudah terjadi sejak tahun keenam zaman Yong Jiao (131 M). Ye Diao adalah kerajaan di Jawa Barat yang dipimpin Raja Diao Bian (Devavawarman) yagn taka lain adalah Raja Salakanagara. Sebuah kerajaan yang disebut sebagai Kerajaan Argyr (argentums=perak=salaka) oleh Ptolomeus.
Keberadaan atau domisili orang China di negeri ini, sesuai catatan sejarah yagn ada, memang hampir sama panjang riwayatnya dengan orang India. Jauh sebelum Yi Jing (I-Tsing) meninggalkan puluhan muridnya di Sriwijaya pada abad ke-7, sudah tercatat pendeta Hui Ning yang menetap di Kerajaan He Ling (Kalingga) di abad ke-5 dengan ratunya Xi-Mo(Shima) yang dikagumi raja China karena kebijaksanaan dan ketegasannya dalam meberi hukuman. Belum lagi Faxian (Fa Hien) yang sudah melawat ke Jawa dan tinggal setengah tahun pada abad ke-4 dan tetnu meninggalkan bekasnya.
Kepribumian kita
Dari kenyataan historis dan akademis itulah ktia bisa membaca dan mengidentifisi keberadaan ktia sebagai manusia, juga sebagai bangsa. Menjawab pertanyaan yangsustansial hingga asal-asalan, apakah, misalnya, kita atau sebagai ndari ktia adalah suku bangsa asli? Penduduk yagn asli alias pribumi, sebagaimana dikategorisasi ole hpemrintahan colonial Hindia Belanda dulu? Atau lebih dalam lagi, benarkah ada yang namanya “asli” dan “pribumi” itu?
Jawabannya jelas, dan tentu saja afirmatif, berdasakan data sedikit terurai di atas: tidak ada! Jawaban seorang antropolog tetnang hal itu bahwa yagn asli itu adalah Homo wajakensis dan Homo soloensis, mungkin kini ditambah Homo florensiensi, mungkin ada benarnya. Namun, di mana mereka sekarang ini? Tinggal tulang tanpa pusara.
Yang kemudian bertahan dan ada hingga hari ini adalah manusia-manusia lanjutan missing link dari sapiens-sapiens yang punah itu yagn menyerbu dari pelbagai penjuru. Selama ribuan tahun pelbagai bangsa ini saling berinteraksi, menggunakan perangkat budaya bahari ( yang juga mereka ciptakan dan kembangkan ) untuk menciptakan  komunits, puak, tradisi, hingga suku-suku (bangsa) baru. Lewar karakter khas bahari yagn tumbuh di seantero kota pantai di ribuan pulau Nusantara, seperti egaliter, terbuka, multikkultur, interkultur, akseptan, santun, dan puluhan sifat khas yang menjadi ciri bagi sebuah Bandar yang maju dan kosmopolit.
Dari kehidupan kota yang kosmopolit itulah pertukaran terjadi. Bukan hanya secara ekonomis, melainkan juga secara sosial, politik ,cultural, hingga spiritual. Pertukaran yang pada akhirnya memberi pengaruh bahka nmenciptakan semacam identitas atau jati diri baru bagi para penghuninya. Identitas yang sesungguhnya tidak pernah dipermanensasi atau didefnisikan karena kehidupan banda yang kosmopolit selau baru, berubah dengan kedatangan orang-orang baru jgua dengan identitasnya yang baru (berbeda).
Kenyataan historis dan pragmatis inilah yang kita jalani dan berani akui. Ktia tidak dibentuk oleh (hanya) diri kita sendiri, tetapi juga (ternyata) oleh orang lain (liyan) juga. Ini fakta yagn  membuat ktia bukannya justru jadi rendah diri, tetapi rendah hati dan kareannya bahagia. Sebab, di dalam diri kita tersimpan orang lain yangberbeda apa pun ciri dan sifatnya.
Maka, bineka adalah elemen-elemen yang diikat oleh kebudayaan/peradaban (bahari) hingga jadi larutan tunggal (ika), menjadi Indonesia. Inilah keniscayaan kita, orang dan bangsa Indonesia.
Katakanlah, saya adalah orang Minang, Bugis, Manado, atau Sumba, bahkan China, India, Arab, yang telah beranak-pinak, puluhan, ratusan, bahkan ribuan tahun, sesungguhnya adalah larutan cultural itu: penduduk asli alias pribumi dari lokasi/wilayah yagn ditinggalinya. Mau namanya Ucok, Otong, Tole, atau Aseng, Ahmed, dan Adigung, jika ia memilih posisi (domisili) di satu tempat-Bandung atau Jakarta, misalnya-adalah pribumi Sunda dan Betawi. Semuanya berkontribusi dalam pembentukan jati diri dan karakter dari komunitas di tempat ia menetap, termasuk dalam adat, tradisi, agam, dan seterusnya.
Pepatah Minang yang menyatakan “dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung” adalah moto generic yang berlaku juga di suku-suku bangsa lain di negeri ini. Karena itu, hampir tidak ada suku bangsa di kepulauan ini yang tidak memiliki diasporanya, dalam arti warganya yang merantau untuk hidup, nyaman dan sukses di rantau, berbekal pada filosofi atau tuntutan adab seperti orang Minang itu.
Maka, jangankan orang China dan India, atau Arab dan Persia, yang begitu lama berdomisili di berbagai wilayah negeri kita, bangsa-bangsa yang lebih kemudian datang akan mau tidak mau mengikuti adat dan adab bahari di atas saat ia memutuskan untuk tinggal bahkan menjadi warga di negeri ini. Dan, begitu ia terlibat dalam kancah multicultural di tempat tinggalnya, berkontribusi ikhlas sebagaimana warga dari pelbagai suku lainnya, kita pun wajar menyebutnya: pribumi, jika istial htetap hendak digunakan.
Jadi, tidak ada lagi tokoh yang berteriak-teriak bahwa kotanya dibanjiri pendatang (yang notabene warga dari suku bangsa lain di negerinya sendiri). Chauvinism lokal macam itu, selain sangat mengeglikan, jgua jauh dari realitas historisnya sendiri. Bisa jadi yang berteriak itu sendiri ternyata juga pendatang.


* $ *

Teknologi Finansial dan Stabilitas Keuangan oleh Junanto Herdiawan
PERETASAN jutaan data pribadi konsumen yang dialami oleh Equifax, salah satu perusahaan pelaporan kredit nasional terbesar di Amerika Serikat, mengingatkan kita akan risiko yang dapat muncul dari perkembangan teknologi finansial. Teknologi memang hadir bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi mampu memberi manfaat, tetapi di sisi lain juga memberi rasa waswas bagi penggunanya. Tanpa disadari, setiap hari kita telah membagi aneka informasi pribadi, mulai dari perbincangan sosial, kebiasaan belanja, pola bepergian, hingga transaksi keuangan, melalui berbagai aplikasi berbasis internet yang kita miliki. Berbagai data tersebut, jika tidak dikelola dengan baik, memiliki potensi untuk disalahgunakan pihak yang tak bertanggung jawab. Regulator di sejumlah negara menyadari berbagai implikasi risiko yang muncul dari berkembangnya teknologi finansial (tekfin). Dalam pertemuan negara anggota G-20 di Jerman, beberapa waktu lalu, salah satu topik yang dibahas adalah pentingnya setiap negara untuk mencermati digitalisasi pada sistem keuangan. Fokus perhatian bukan hanya risiko mikro pada individual perusahaan tekfin, melainkan juga diperlukan adanya pemantauan dan pengawasan agar risiko mikro itu tidak menjalar menjadi risiko yang berdampak makro. Hal ini masuk akal mengingat investasi global di bidang tekfin terus tumbuh signifikan dalam lima tahun belakangan. Sepanjang 2016, investasi global di bidang tekfin melejit hingga melebihi angka 21 miliar dollar AS. Nilai tersebut meningkat lima kali lipat dibandingkan dengan tahun 2013. Data dari KPMG menunjukkan bahwa dalam triwulan II-2017, investasi di sektor tekfin masih terus tumbuh dan sudah mencapai 8,4 miliar dollar AS. Sebagian besar investasi tekfin dilakukan di AS dan Asia yang sebagian besar ditanamkan pada perusahaan tekfin di bidang pembayaran dan pinjam-meminjam berbasis digital. Di tengah ekonomi global lesu saat ini, meningkat signifikannya investasi tersebut tentu perlu dicermati.
Pengawasan dan regulasi
Dalam laporan yang berjudul ”Financial Stability Implication from Fintech (2017)”, Dewan Stabilitas Finansial (Financial Stability Board/FSB), sebuah lembaga internasional yang memantau dan memberikan rekomendasi terhadap sistem keuangan global, menyampaikan pentingnya regulator untuk membenahi aspek pengawasan dan regulasi dalam menyikapi pertumbuhan tekfin. Dalam laporan itu, FSB mengingatkan regulator di sejumlah negara untuk terus-menerus melakukan pengujian pada aturan-aturan yang dimilikinya agar dapat memperoleh manfaat optimal dari perkembangan inovasi, tetapi di sisi lain mampu melindungi konsumen dan meminimalkan munculnya risiko, baik mikro maupun makro. Teknologi finansial terus bertumbuh tanpa bisa dicegah seiring dengan bergesernya preferensi masyarakat, khususnya generasi milenial, yang menginginkan kenyamanan, kecepatan, biaya yang lebih efisien, dan kemudahan dalam bertransaksi keuangan. Kita melihat inovasi tekfin saat ini juga muncul dan berlangsung begitu cepat. Namun, berbagai inovasi tersebut belum terbukti resilien dan belum seluruhnya melalui siklus pengujian lengkap (full cycle process), terutama pada aspek mitigasi risiko. Dilihat dari penerapan teknologinya, kemunculan berbagai inovasi di bidang pinjam meminjam digital (fintech credit), robo-advisors, inovasi pembayaran bernilai besar, penggunaan mata uang virtual (cryptocurrency), kecerdasan buatan (Artificial Intelligence), dan mesin pembelajar (machine learning) berpotensi memberikan manfaat bagi perekonomian. Manfaat yang dapat kita rasakan antara lain munculnya berbagai aplikasi yang mengurangi peran pihak intermediasi sehingga pembayaran bisa lebih efisien dan transparan. Selain itu, berkembangnya tekfin juga berpotensi meningkatkan inklusi finansial dan pertumbuhan ekonomi. Untuk Indonesia dengan 64 persen penduduknya masih belum terjangkau layanan keuangan (unbanked people), kehadiran tekfin memberikan peluang besar untuk memperluas inklusi finansial.
Risiko dan potensi penyalahgunaan

Namun, di balik manfaatnya yang besar, tekfin juga memiliki risiko dan potensi penyalahgunaan. FSB membagi risiko ini menjadi dua, yaitu risiko mikrofinansial dan risiko makrofinansial. Risiko mikrofinansial adalah risiko yang dapat menyebabkan satu perusahaan tekfin memiliki kerentanan (vulnerable) terhadap munculnya gejolak (shocks). Beberapa risiko mikrofinansial yang perlu kita cermati adalah soal keamanan data, peretasan (cyber risks), tata kelola beberapa perusahaan tekfin yang masih lemah, pengelolaan likuiditas, ketergantungan pada pihak ketiga untuk teknologi, hingga risiko pelanggaran regulasi. Adapun risiko makrofinansial adalah kerentanan secara luas yang dapat menyebabkan gejolak pada sistem keuangan dan meningkatkan kemungkinan terjadinya instabilitas hingga krisis keuangan. Risiko ini muncul jika kegagalan di satu perusahaan tekfin kemudian menyebar dan menular ke perusahaan lain, lalu berdampak sistemik, dan biasanya diiringi oleh anjloknya kepercayaan publik. Menyikapi perkembangan di atas, penting sekali bagi regulator untuk dapat menangkap munculnya berbagai potensi risiko tersebut. Bank Indonesia (BI) bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyadari pentingnya sinergi dan koordinasi dalam melakukan pengawasan mikro dan makro. OJK telah mengeluarkan peraturan OJK tentang layanan pinjam-meminjam berbasis digital, sementara BI juga telah mengeluarkan beberapa peraturan terkait inovasi tekfin di bidang uang elektronik, transfer dana, dan aturan bagi penyelenggara jasa sistem pembayaran. Dalam waktu dekat, BI juga akan mengimplementasikan peraturan regulatory sandbox agar dapat mendorong tumbuhnya inovasi dari pelaku tekfin dengan tetap menjaga kehati-hatian. Satu kesulitan bagi regulator saat ini dalam melakukan asesmen terhadap implikasi risiko makrofinansial adalah keterbatasan data yang dapat dikumpulkan dari para pelaku tekfin. Selain karena seri data (time series) yang masih pendek, mekanisme pengumpulan data oleh regulator juga masih terbatas. Di area inilah pentingnya sinergi dan koordinasi antara regulator dan pelaku industri tekfin, baik melalui asosiasi maupun komunitas lainnya, untuk dapat saling bertukar data dan informasi terkait perkembangan industri tekfin. Untuk itu, pendekatan regulator pun tidak bisa lagi menggunakan pendekatan lama yang hanya menunggu, tetapi juga harus tangkas (agile), eksperimen- tal, dan siap membuka ruang dialog sebesarbesarnya dengan para pelaku tekfin. {Sumber : Kompas, Senin, 30 October 2017 | Oleh JUNANTO HERDIAWANJUNANTO HERDIAWAN Kepala Bank Indonesia Fintech Office ]

Comments

Popular Posts