KOTA

Jakabaring, dari Rawa Jadi ”Sport City”

Satu dekade terakhir, Jakabaring di Kota Palembang, Sumatera Selatan, begitu mendunia. Bukan saja karena ada stadion sepak bola yang megah, melainkan juga kawasan itu menjelma menjadi ”sport city” dan tempat perhelatan dua acara besar, yakni SEA Games 2011 dan Asian Games 2018. Padahal, dahulu kawasan itu sesungguhnya daerah rawa jorok, dan kerap dijuluki "tempat jin buang anak".

↺↻
Menikmati Kemilau Kota Sungai

Sungai Martapura yang melintas di tengah Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Sabtu (30/9) malam, jadi lebih berwarna. Gemerlap cahaya lampion dari perahu-perahu di sungai itu menarik perhatian orang untuk mendekat menuju ke sungai. Malam itu, perlu perjuangan ekstra untuk mencapai bibir Sungai Martapura di sepanjang Jalan Jenderal Sudirman dan Kapten Pierre Tendean. Ruas jalan yang berada di kedua sisi sungai tersebut dipadati ribuan orang. Kemacetan pun tak terhindarkan.
➽ 0⇦

Kebun Bibit Wonorejo Oase Hutan Surabaya


Kota Surabaya, Jawa Timur, tak punya pesona alam yang menakjubkan seperti Banyuwangi dan Pacitan, atau bahkan Pulau Madura. Namun, kehadiran pohon dan taman, termasuk Kebun Bibit Wonorejo di Surabaya timur memberi daya tarik bagi kota ini sehingga kerap jadi destinasi yang wajib dikunjungi.
Petugas merawat bibit tanaman di taman lain di Kebun Bibit Wonorejo Surabaya, Kamis (28/9). Selain tempat wisata, Kebun Bibit Wonorejo berfungsi sebagai kebun pembibitan untuk tanaman yang akan ditanam di taman di seluruh Kota Surabaya (kiri). Petugas Kebun Bibit Wonorejo, Erik, menyiapkan bibit tanaman yang akan ditanam di taman lain di Surabaya.
Ruang terbuka hijau (RTH) di kota seluas 333 kilometer persegi kini sudah mencapai 30 persen. Pemerintah Kota Surabaya tidak kenal lelah terus menambah luas ruang terbuka hijau berupa taman dan hutan sesuai tema. ”Kekuatan dan keistimewaan Kota Surabaya kelak menjadi kota wisata walau mengandalkan taman dan hutan kota,” kata Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, ketika mengajak presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri melepas penat di Kebun Bibit Wonorejo, pekan kedua September lalu. Di kebun bibit, sumber tanaman untuk mengisi seluruh taman, RTH serta pohon yang ada di ”Kota Pahlawan” ini, Megawati tampak sangat senang mendengar penjelasan Risma. Putri Proklamator Soekarno itu pun senang berjalan di antara pohon rindang, disertai semilir angin dan warna warni bunga. Di atas areal seluas 6 hektar, selama ini kebun bibit sudah berfungsi sebagai penyangga ekologis dan bertahap dikembangkan menjadi ekowisata. Jadi tak hanya ada tapak-tapak pembibitan, tetapi ada Waduk Wonorejo yang kelak disinergikan dengan Kali Jagir, tempat bermain, lintasan olahraga, kebun binatang mini berisi rusa Bawean, serta pusat kuliner yang seluruhnya dikelola warga sekitar. Jadi meski saat Megawati berkunjung didampingi banyak pejabat, tak lantas keceriaan anak-anak yang sedang bermain terganggu. Bocah-bocah justru acuh tak acuh dengan kehadiran rombongan itu. Mereka ada yang tetap asyik bermain ayunan, jungkat jungkit, halang rintang, sepeda statis, atau sekadar duduk di tepi telaga kecil buatan. Ada juga warga menikmati seisi rumah sekaligus persemaian bunga anggrek. Serombongan ibu-ibu tetap bercanda sambil menikmati makanan dan minuman dan dari jauh memandang rombongan besar yang tiba-tiba memadati kebun bibit. Suasana di kebun bibit bak berada di hutan. Tidak hanya tanaman yang beragam, tetapi juga ada kupu-kupu, capung, dan kumbang beterbangan. Kicau burung yang terbang berpindah antarpohon, akasia, alpukat, angsana, asam, beringin, bintaro, bungur, flamboyan, glodokan, jambu, johar, ketapang, kiara, kersen, mahoni, mangga, nangka, tanjung, dan trembesi. Sekitar 200 spesies tanaman koleksi Kebun Bibit Wonorejo belum membuat Megawati puas sehingga diberikanlah bibit baobab atau ki tambleng, pohon dari Afrika, dan bibit gayam, salah satu pohon khas Surabaya. ”Ibu Megawati pernah menyumbang 10.000 katak dan banyak yang disebar di sini sebagai predator nyamuk. Lha, masih banyak nyamuk, toh? Makanya, kodoknya jangan ditangkapi apalagi dijadikan swike,” kata Risma disambut tawa kalangan warga. Di kebun itu, ada danau kecil buatan yang salah satu fungsinya menampung air saat curah hujan tinggi dan berpotensi membuat kawasan Kelurahan Wonorejo kebanjiran. Air telaga kehijauan meski bukan berarti tercemar. Risma berencana mencemplungkan ratusan ikan sapu dengan harapan membantu menjernihkan air waduk itu.
Tempat favorit
Bozem itu menjadi salah satu tempat favorit warga untuk berfoto. Di tepi danau ada pelataran atau dermaga mini yang kerap dijadikan tempat foto pranikah hingga videoklip. ”Saya termasuk petugas yang sering diajak foto dengan warga. Mungkin gara-gara berita, katanya wajah saya ini mirip orang Korea,” kata Suko Aritomo, petugas jaga dan rawat Kebun Bibit Wonorejo. Di atas danau terentang kawat baja yang ternyata untuk permainan flying fox. Bebek dan angsa berenang di danau dari tepian ke tepian lainnya. Di sekeliling telaga ada lintasan lari, jalan, dan jalur terapi, alat-alat melatih kebugaran, wahana permainan anak, dan tentu saja bangku atau kursi santai. Ada juga dinding panjat untuk anak, kandang binatang, taman bunga, rumah anggrek, pembibitan, rumah kompos, tempat berkemah, toilet, dan keran air siap minum. Setiap Minggu pukul 05.30, diadakan senam aerobik meski berbayar cuma Rp 2.000 per pertemuan. Kepala Dinas Pertamanan dan Kebersihan Kota Surabaya Chalid Buchori mengatakan, Kebun Bibit Wonorejo di tepi Jalan Kendal Sari merupakan pemasok pohon dan tanaman untuk program penghijauan di Surabaya. Selain itu, setiap hari, rumah kompos mampu mengolah 20 ton sampah organik dari warga sekitar. ”Fungsinya komplet,” katanya dengan bangga. Kebun Bibit Wonorejo memiliki perjalanan cukup panjang. Di masa lalu, kawasan ini merupakan hutan sampai ke pesisir timur. Bagi orang luar Surabaya, Wonorejo cukup dikenal dengan keberadaan hutan bakau (mangrove). Lagi pula, lokasi hutan bakau dan kebun bibit relatif berdekatan. Wonorejo berarti hutan ramai. Di masa silam sebelum tersentuh pembangunan, kawasan pesisir timur Surabaya masih berupa belantara dengan keragaman hayati yang kaya. Areal ini merupakan hasil tukar guling dari Kebun Bibit Bratang sehingga luasnya tiga kali lipat dari Bratang. Pembibitan di Wonorejo merupakan kelanjutan upaya serupa oleh Pemerintah Kota Surabaya dari Kebun Bibit Bratang yang kini bernama Taman Flora. Taman Flora, tinggal 2 hektar tak kalah rindang dari kebun bibit Wonorejo, termasuk ada rusa bawaean, ada rumah kompos serta pembibitan skala kecil. Keberadaan Kebun Bibit Wonorejo kini menjadi salah satu oase bagi Surabaya, yang terkenal dengan suhu udara maksimal 36 derajat celsius. Jalan terjal dan berliku pernah dilalui oleh Pemkot Surabaya untuk mendapatkan ruang terbuka hijau lebih luas. Misinya semakin hijau kota ini, warganya pun kian sejahtera dan nyaman untuk berkarya serta menjalani hidup. Lihat Video Terkait ”Kebun Bibit Wonorejo” di Kompas.id {Sumber : Kompas Minggu 5 November  2017 | OLEH: AMBROSIUS HARTO & AGNES SWETTAPANDIA]
⍐⍐⍐

De Staate van Parijs Kini Tak Lagi Elok

BERTAMBAHNYA jumlah penduduk di tengah rencana penataan kota yang belum matang membuat kawasan permukiman Kota Paris Bogor kehilangan keasriannya. Kawasan yang dulu bernama De Staate van Parijs ini menjadi kumuh. Kolam renang Pemandangan yang pernah melahirkan atlet renang kini tak terurus dan tengah menunggu tuan baru.
Kota Paris mulai dibangun tahun 1918 pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Konon, permukiman ini dirancang arsitek kenamaan Hindia Belanda, Thomas Karsten (1884-1945). Belum rampungnya revisi peraturan daerah tentang Rencana Umum Tata Ruang Kota Bogor berkontribusi pada tak terjaganya Kota Paris ini. Di sisi lain, Kota Bogor tengah menuju ”Kota Pusaka” karena mewarisi sejumlah peninggalan masa lalu. Rumah-rumah di Kota Paris semula dibangun dengan konsep arsitektur indies pada masa itu, dipadukan dengan bangunan gaya Eropa serta menyesuaikan dengan kondisi tropis setempat. Dulu, hanya ada 46 rumah, baik tunggal maupun couple. Kini, satu per satu bangunan menghilang dan berubah wujud. Bangunan lawas diganti atau direnovasi sesuai selera dan kondisi penghuni baru atau anakcucu pemilik lama. Ruang terbuka hijau dan pohon-pohon besar yang terlihat di foto-foto tempo dulu kawasan perumahan itu hilang, berganti permukiman padat penduduk. Bahu jalannya pun kini banyak dipenuhi warung atau gerobak penjaja makanan atau lahan parkir. Sejatinya, Kota Paris tidak terlalu luas, hanya meliputi tiga jalan raya yang kini bernama Jalan Semboja, Jalan Kenanga, dan Jalan Cempaka. Secara administrasi, kini masuk ke lingkup satu RW di Kelurahan Kebon Kelapa, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor.
Nasib sungai
Ketika Kompas Jumat pekan lalu berkunjung ke permukiman Kota Paris, terlihat dua laki-laki tengah menumpahkan puingpuing di bantar Sungai Cidepit, yang sejajar dengan Jalan Semboja. Puing-puing tampaknya untuk memperlebar pengerasan bantar sungai itu. Di lahan ”reklamasi” ilegal itu, sekilas ada bangunan mirip kandang ternak atau unggas. ”Dulu Sungai Cidepit lumayan lebar dan dalam sehingga orang bisa berkano melayarinya. Sungai ini diumpamakan Sungai Rhine di Paris, Perancis. Angsa-angsa berbulu putih dan hitam juga ada, selain tanaman bunga-bungaan. Itu sebabnya kawasan perumahan ini diberi nama De Staate van Parijs,” kata Rio Saputra Hindarsin (77). Rio adalah satu dari sedikit warga di Kota Paris, yang sejak lama tinggal di perumahan ini. Ia bermukim di sana pada tahun 1964 karena orangtuanya mendapat hak tinggal di salah satu rumah peninggalan Belanda di situ. Begitu juga orangtua istrinya, Dientje. Sekitar tiga tahun lalu, Rio kedatangan tamu dari Belanda. Tamu itu mengatakan, semasa kecilnya bersama orangtua dan opa-oma bermukim di Kota Paris. Mereka tinggal di rumah yang sekarang ditempati keluarga Rio. Dari tamu itu, Rio tahu bagaimana kondisi Kota Paris dulu dan nama perancangnya, Thomas Karten. ”Dari informasinya, perumahan ini mulai dibangun tahun 1916, bukan 1918 sebagaimana selama ini ditulis. Jadi, tahun lalu 100 tahun perumahan ini, bukan tahun depan. Rencananya, kami dari Paguyuban Warga Kota Paris waktu itu mau merayakannya, tetapi tidak jadi karena kurang biaya,” ujar Rio. Tamu itu bilang, Kota Paris sangat berubah. Dulunya, lingkungan Kota Paris sangat indah dengan panorama Gunung Salak, Sungai Cidepit yang dalam dan berair jernih, serta terdengar gemuruh aliran Sungai Cisadane di lembah yang lebih rendah dari aliran Sungai Cidempit. Ada kolam renang Pemandangan, yang dibuat zaman Belanda. ”Waktu dulu, pagi-pagi di sini sangat dingin. Kami harus pakai baju hangat atau sweater setiap pagi,” kata Rio yang pernah 30 tahun menjadi ketua RW di situ. Menurut Neni Heriani (62), warga yang juga sejak lahir tinggal bersama orangtuanya di Kota Paris, air Sungai Cidepit masih jernih. Sungai itu kerap menjadi tempat mandi kakak dan teman-temannya. Pohon damar pernah berderet-deret rapi. Kini, Sungai Cidepit sudah dangkal dan dipenuhi sampah. Rumah-rumah lawas juga tidak berpagar, hanya tembok setinggi 30-50 cm, dan depan rumah berteras. Dari teras rumah, kita bisa menikmati panorama Gunung Salak. ”Dulu enak sekali tinggal di sini. Ke mana-mana juga dekat, tinggal jalan kaki kalau mau ke pertokoan di Jalan Merdeka atau ke bioskop. Sekarang bioskop sudah tak ada,” ujar Neni. Lia (42), tetangga sebelah rumah Nani di Jalan Kenanga, mengatakan, lembah-lembah yang kini menjadi Kelurahan Kebon Kopi dulu memang kebun kopi. yang dibangun pada masa kolonial Belanda masih tersisa di perumahan lama Kota Paris di Bogor Tengah, Kota Bogor. Foto bawah menunjukkan sisa tangga batu menuju kolam renang. Kolam renang itu dulu adalah ikon wisata Kota Paris. Foto-foto diambil pekan lalu. ”Saya tinggal di sini baru enam tahun. Oma dan opa kami yang dari dulu tinggal di sini. Kata oma-opa, Kota Paris dulu bagus sekali. Awalnya dihuni orang Belanda, lalu ketika zaman perang dengan Jepang, tentara Gurkha pernah tinggal di sini juga,” ucapnya.
Kolam renang

Dewi Djukardi dari Roemah Kahoeripan, lembaga nirlaba yang bergerak untuk pelestarian dan penelitian cagar budaya, mengatakan, permukiman Kota Paris dibangun Pemerintah Belanda khusus untuk kalangan gemeente, kalau sekarang pejabat sipil atau pegawai negeri sipil pamong praja. Permukiman dibangun juga untuk mengeksploitasi keindahan alam di lokasi tersebut, rumah atau vila dibangun bergaya indies dengan teras-teras untuk menikmati alam dari rumah. Dibangun juga kolam renang yang tujuan utamanya untuk rekreasi penghuninya. Rio, Neni, dan Lia masih ingat nikmatnya berenang di kolam renang Pemandangan, yang berlokasi lebih rendah daripada permukiman mereka. Kolam renang itu sudah lima tahun terakhir tidak beroperasi lagi. ”Long-long ago banget, saya sering berenang di situ. Pemandangannya indah perpaduan bentangan panorama Gunung Salak dengan Sungai Cisadane dan tebing atau lembah sungai itu,” kata Neni. Kolam renang itu, kata Dewi Padji (pemerhati Kota Pusaka), pertama dibuat untuk rekreasi masyarakat, bukan untuk tentara, seperti yang pernah ada di kawasan Sempur. Kolam renang Pemandangan juga pernah menjadi tujuan rekreasi sejumlah pesohor, bahkan juga melahirkan atlet renang nasional dari Bogor. Dua kolam renang Pemandangan masing-masing berukuan 50 meter x 10 meter, dengan kedalaman 1 meter-1,5 meter. ”Dulu ada sampai 2 meter, tetapi kemudian ditinggikan, jadi paling dalam 1,5 meter. Lalu kami tambah satu kolam kecil lagi untuk anak-anak,” kata Soraya Syarifah (53), keluarga pemilik kolam renang itu. Menurut dia, ayah mereka Syaif Syech Shabab membeli kolam renang peninggalan Belanda itu tahun 1964. Waktu itu, selain dua kolam renang dengan fasilitas lima atau enam kamar bilas, juga sebuah rumah/vila kecil yang kini menjadi rumah tinggal keluarga Soraya. ”Luas lahannya saat itu 5 hektar. Air kolam renang berasal dari mata air yang berada di lahan rumpun bambu dekat kamar bilas. Sekarang luas lahan tinggal 1 hektar karena sudah dijual sedikit-sedikit dan jadi rumah-rumah warga itu,” ujar Soraya. Dirinya ingin sekali mempertahankan dan menghidupkan kembali kolam renang Pemandangan, tetapi keuangan keluarga besarnya tidak memungkinkan. ”Ini sedang kami tawar jual seharga Rp 20 miliar,” katanya. Kolam renang yang terlihat kokoh itu kini memang tidak terurus dan telantar. Sebagaimana kondisi permukiman Kota Paris, yang mulai kumuh karena memang tidak mudah mengurus permukiman yang berisi bangunan-bangunan lama. [Sumber : Kompas Senin 13 November  2017 | Oleh Rati P Sudarsono]

Comments

Popular Posts