Air Spiritual Litchfield

Sesampainya di kawasan air terjun Florence, Taman Nasional Litchfield, langkah kaki tak terasa semakin cepat karena ingin segera sampai di dua air terjun yang sudah terlihat di kejauhan. Setelah menuruni 135 anak tangga, rasa pegal di kaki dan penat di badan perlahan hilang setelah berendam di air jernih yang dingin di "kolam renang alami" di bawah dua air terjun. Mak nyesss...
Berendam di air jernih seperti ini seakan menjadi magnet bagi pengunjung. Apalagi di kota Darwin, Australia, yang panas terik mataharinya mirip-mirip Indonesia. Sambil berendam, mata puas memandang pepohonan hijau dan air terjun yang berkilau terkena sinar matahari. Karena air jernih dan bening, semua batu di dasar ”kolam” terlihat jelas. Meski pengunjung di hari itu, 26 Agustus lalu, cukup banyak, tidak ada satu pun yang ribut seperti di tempat wisata pada umumnya. Yang terdengar hanya suara air terjun. Cocoklah dengan tulisan di papan besar saat hendak masuk Florence, ”Florence, A Spiritual Place”. Lokasi dua air terjun ini ada di Taman Nasional Litchfield, ”adik” dari Taman Nasional Kakadu karena luas area Litchfield yang lebih kecil, hanya 1.500 kilometer persegi. Bandingkan dengan wilayah Kakadu yang mencapai 20.000 kilometer persegi. Meski lebih kecil, Litchfield memiliki paling tidak lima air terjun menawan yang direkomendasikan, yakni Florence, Wangi, Buley Rockhole, Tolmer, dan Tjae- taba. Tetapi, karena waktu terbatas, kami hanya sempat menikmati Florence, Wangi, dan Buley Rockhole. Padahal, kami sudah dijemput pagi-pagi pukul 07.00 oleh Steph, pemandu wisata kami hari itu. Setelah anggota komplet, kami berdelapan—wartawan dari Indonesia, Myanmar, Vietnam, Kamboja, Malaysia, India, Sri Lanka, dan Banglades—ditambah dua pemandu dari Kementerian Luar Negeri Australia berangkat dengan minibus yang juga disopiri Steph sendiri. Barulah kami sadar, mbak-mbak ini ya sopir, ya pemandu wisata, ya pemasak makan siang kami nanti. Semua ditangani sendiri. Kami lalu menamainya ”Jackie of All Trade” karena serba bisa. Litchfield berjarak 120 kilometer dari kota Darwin dan butuh waktu sekitar 2,5 jam berkendara ke arah barat daya. Sebelum masuk ke kawasan Litchfield, Steph mengajak mampir sarapan di area peristirahatan dan berfoto-foto di depan tulisan Litchfield. Puas berfoto-foto, perjalanan berlanjut 15 menit sebelum sampai di tujuan pertama, kawasan rumah semut atau yang kita kenal dengan nama musamus di Merauke, Papua. Musamus di Indonesia hanya bisa ditemui di Merauke. Sama dengan musamus Indonesia, rumah semut di Darwin ini tinggi sarangnya juga bisa mencapai 5-6 meter dengan diameter lebih dari 2 meter. Penghuni rumah semut ini sebenarnya bukan semut, melainkan sejenis rayap yang berbeda dari rayap yang doyan makan kayu seperti di rumah kita. Musamus terbentuk dari bahan dasar rumput kering, tanah, dan air liur rayap. Bentuk musamus seperti stalagmit di goa-goa dengan tekstur permukaan berlekuk-lekuk seperti dirancang untuk menangkap angin masuk ke lorong-lorong di dalamnya. Lorong-lorong ini berfungsi sebagai tempat tinggal sekaligus ventilasi. Musamus melindungi koloni rayap dari perubahan suhu ekstrem, bahkan kebakaran hutan. Seperti di Merauke juga, musamus Litchfield ini banyak ditemukan di padang savana.
Susur hutan

Perjalanan kami berlanjut ke koleksi air terjun Litchfield. Sambil berjalan, Steph bercerita tentang Litchfield yang mengelilingi wilayah Tabletop Range itu. Litchfield dinyatakan sebagai taman nasional pada 1986. Namanya diambil dari nama Frederick Henry Litchfield, anggota tim Ekspedisi Finniss dari Australia Selatan yang memulai perjalanan pada 1864. Misi mereka mengeksplorasi wilayah Northern Territory dari Escape Cliffs di Laut Timor hingga Sungai Daly untuk mencari permukiman baru. Sebelum pendatang masuk, Litchfield sudah menjadi tempat tinggal penduduk pribumi Australia suku Wagait, Koongurukkun, Mak Mak Marranunggu, Werat, dan Warray selama ribuan tahun. Sampai sekarang, banyak penduduk asli suku Wagait yang masih tinggal di kawasan ini. Selama ribuan tahun pula keindahan Litchfield dibentuk oleh air yang mengalir ke bawah dari dataran tinggi batu pasir Tabletop Range menjadi air terjun-air terjun yang tak pernah kering sepanjang masa. Semua air terjun dikelilingi dan dihubungkan hutan hujan yang rindang sehingga nyaman bagi yang suka berjalan kaki menyusuri hutan dan pinggir sungai. Dari air terjun Florence, kami juga berjalan kaki di tengah hutan yang teduh dan menyusuri sungai menuju Buley Rockhole yang berjarak setengah kilometer. Suara burung terdengar di mana-mana karena Litchfield juga surga bagi ratusan spesies burung. Sesampai di Buley Rockhole, air jernih mengalir menyambut lagi dan berendamlah lagi kami. Sesuai namanya, Rockhole, lokasi berendam dan berenang kali ini seperti kolam dari bebatuan yang berlubang besar. Arus air yang mengalir di kolam alam ini tidak terlalu kuat. Ini karena, kata Steph, sedang musim kemarau. Kalau di musim hujan, arus air akan lebih deras dan tidak disarankan berenang karena bisa terbawa arus. Setelah kira-kira setengah jam di kolam batu itu, Steph mengajak kami pindah ke air terjun Wangi sambil makan siang. Sesampainya di Wangi yang terkenal tidak pernah kering sepanjang tahun, saya agak cemas membaca papan bertuliskan ”When the creek floods, Saltwater Crocodiles move in”. Informasi selanjutnya menjelaskan, kolam Wangi ini juga rumah bagi buaya air tawar pemakan ikan. Tetapi, saat musim hujan, buaya air asin berukuran besar sering kali ikut masuk kolam ini. Namun, pada musim hujan, kolam Wangi ditutup karena risiko buaya itu, selain arus air yang memang lebih kuat. ”Untuk musim ini tidak ada buaya. Kalaupun ketemu buaya di jalan, diamkan saja. Jangan diajak selfie, ya,” kata Steph tertawa. Steph pasti sedang bercanda. Kalau ketemu buaya, saya tak akan pikir panjang dan pasti langsung lari tunggang-langgang. Gara-gara informasi itu, saya jadi malas dekat-dekat air. Padahal, kolam alam Wangi lebih menarik karena lebih luas dan air terjunnya lebih tinggi ketimbang Florence. Akhirnya, saya jalan-jalan saja menyusuri pinggir kolam sambil foto-foto. Lelah berjalan, sambil menunggu teman-teman lain selesai berenang, saya mampir jajan minum kopi sambil mengudap cheesecake setempat yang notabene kesohor di dunia. Di kejauhan, Steph terlihat sibuk menyiapkan makan siang burger yang dagingnya bisa dipanggang di spot-spot tempat pemanggangan yang sudah disiapkan dan bisa dipakai umum tanpa bayar di lokasi piknik. Karena lapar, kami pun lahap memakan burger lengkap dengan sayuran segar dan aneka bumbu dan saus yang dibawa Steph dari Darwin dengan kotak pendingin. Selesai makan, kami harus mengakhiri kegembiraan hari itu dan kembali ke kehidupan nyata. Kami semua bersepakat lain waktu harus kembali ke Litchfield karena selain berendam, berenang, dan menyusuri hutan, kita juga bisa berkemah di lokasi-lokasi yang sudah ditentukan, seperti di Wangi dan Florence. Kalau tak mau berkemah, ada juga hotel-hotel kecil sederhana di luar taman. Jalan-jalan di hutan saja sudah menantang karena rute Tabletop memiliki lintasan untuk berjalan sepanjang 39 kilometer. Lintasan ini bisa dimulai dari Florence, Greenant Creek, Wangi, dan Walker Creek. Apa pun kegiatannya, Litchfield bisa menjadi pilihan tempat melepas penat sepanjang hari hingga lupa diri. Tak terasa waktu sudah sore dan mau tak mau harus kembali ke kota. Andai saja Jaka Tarub tinggal di Lichfield, pasti dia pun tak mau pergi meninggalkan air terjun-air terjun yang dalam legenda menjadi tempat mandi bidadari-bidadari yang turun dari kayangan.[Kompas,  Minggu, 8 October 2017 | OLEH LUKI AULIA]

Comments

Popular Posts