Bendung Alami
Puluhan tahun dilanda abrasi, warga Desa Timbulsloko,
Kecamatan Sayung, di pesisir utara Kabupaten Demak, Jawa Tengah, dibuat getir
menyaksikan sawah dan tambak lenyap berganti lautan. Alih-alih menyerah,
gagasan inovatif tumbuh. Memanfaatkan kayu, bambu,dan ranting pohon, mereka
menangkis air laut dengan bendung alami.
Cuaca beranjak teduh saat Suratno (46) berjalan menuju ujung
pantai Dusun Bogorame di Desa Timbulsloko, yang berjarak hanya 100 meter dari
rumahnya, Selasa (11/7/2017) sore. Dari kejauhan, tampak terhampar tumpukan
ranting memanjang seperti benteng. Dengan cermat, dia meneliti satu per satu
ikatan tambang yang memagari ranting.
”Harus diikat kencang. Kalau tidak, ranting bisa keluar
terbawa air laut,” kata Suratno.
Setelah diamati dari dekat, konstruksi berwarna kecoklatan
itu semacam bendungan yang dibangun dari tumpukan kayu dan ranting pohon, lalu
dipagari tiang bambu dan waring ikan. Warga menyebut bendung alami itu hybrid,
dalam ilmu teknik sipil disebut hybrid engineering atau teknologi hibrida.
Konsep teknologi hibrida diadaptasi dari Belanda. Awalnya,
Oktober-November 2013, Wetlands International Indonesia bekerja sama dengan
Kementerian Kelautan dan Perikanan mulai mengenalkan teknologi ini kepada warga
Timbulsloko sebagai alternatif bangunan penahan abrasi, selain struktur keras
seperti tanggul beton.
Bangunan hibrida itu berupa struktur permeabel atau dapat
ditembus partikel, yang terbuat dari kayu dan ranting sebagai peredam ombak dan
perangkap sedimen. Bangunan ditempatkan di depan garis pantai desa. Struktur
permeabel dipilih agar dapat memecah, bukan memantulkan gelombang laut.
Akibatnya, ketinggian dan kekuatan gelombang akan berkurang sebelum mencapai
garis pantai. Struktur ini juga dapat dilalui lumpur yang terbawa gelombang. Lumpur
akan terperangkap dekat pantai dan perlahan menjadi sedimen.
Di dekat rumah Suratno, pembangunan bendung alami membentang
dari arah barat daya ke timur laut sepanjang sekitar 300 meter dengan tinggi
1,5 meter. Bangunan ini berfungsi memecah gelombang dari arah Semarang. Selain
merawat, ia rutin memantau sedimentasi di sekitar hybrid yang endapannya
mencapai 50 sentimeter per tahun.
Suratno mengibaratkan hybrid sebagai pagar rumah karena sisi
kanan rumahnya berbatasan langsung dengan laut lepas. Perahu kayu yang
digunakan untuk mencari ikan terparkir tepat depan pintu rumah. Padahal, 10
tahun lalu jarak dari rumah ke bibir pantai mencapai 1 kilometer.
Gotong royong
Pembangunan bendung ranting di Timbulsloko dilakukan warga
secara gotong royong, mulai dari menancapkan bambu ke bekas daratan, mengikat
waring ikan ke bambu, hingga mengisinya dengan ranting. Warga juga aktif dalam
perawatan dan pemantauan setelah bendung dibangun. Mereka membuat kelompok
bernama Barokah yang dipimpin Mat Sairi (44).
Sairi bercerita, perawatan bendung dilakukan dua kali dalam
sebulan. Di antaranya mengencangkan tali tambang dan memperbaiki waring serta
ranting. Kelompok Barokah beranggotakan 25 orang, mulai dari perangkat desa,
nelayan, hingga tetua desa.
”Membangun hybrid tidak mudah. Kami membangun atas dasar
kebersamaan,” kata Sairi, sembari mendayung perahu menuju lokasi bendung
terbaru.
Bendung terbaru dibangun 2015 sekitar 1 kilometer hingga 1,5
kilometer dari daratan. Konstruksinya sekitar 300 meter memanjang dari timur ke
barat untuk menghalau gelombang dari utara. Soal daya tahan bangunan, Sairi
mengatakan, bergantung pada tinggi dan kekuatan gelombang laut. ”Ada yang dua
tahun rusak karena diempas gelombang setinggi lebih dari 1 meter,” katanya.
Keteguhan warga Timbulsloko merawat bendung berteknik
hibrida tak lepas dari ikhtiar mereka selepas dari mimpi buruk 2007. Saat itu,
limpasan air laut hingga 2 meter meluluhlantakkan desa. Rumah dan jalan
tergenang. Sawah dan tambak yang menjadi tumpuan hidup lenyap. Hampir semua
warga jatuh miskin, bahkan hingga kini.
”Hampir 90 persen tambak udang dan bandeng milik warga
hilang. Tanggul-tanggul pun terendam. Hidup kami pas-pasan sampai sekarang,”
ujar Kepala Desa Timbulsloko Umar.
Kegetiran warga belum berakhir. Mereka harus menyiapkan dana
Rp 8 juta-Rp 10 juta untuk meninggikan rumah. Warga seperti berlomba dengan
abrasi air laut yang terus meninggi. Lantai rumah harus ditinggikan 50-100
sentimeter setiap tiga tahun agar genangan air laut tidak membanjiri bagian
dalam rumah. Biasanya pengerjaan dilakukan secara gotong royong secara
sukarela.
Ramah lingkungan
Setelah dua tahun menyosialisasikan konsep teknik hibrida,
Wetlands International Indonesia mulai 2015 mengembangkan bendung alami di tiga
desa di Kecamatan Sayung, Demak, yakni Bedono, Timbulsloko, dan Surodadi.
Menurut Community Development Wetlands International Indonesia Eko Budi
Priyanto, manfaat pembangunan hybrid engineering baru terasa lima tahun
mendatang. Warga harus bersabar karena proses mengembalikan garis pantai secara
alami, sulit.
Bukan hanya meredam abrasi, konsep teknologi hibrida juga
mencakup penanaman mangrove di lahan sedimentasi dan dibiarkan membentuk zonasi
secara alami. Hybrid, kata Eko, efektif mengatasi masalah kerusakan lingkungan
di pesisir. Selain terbuat dari bahan-bahan ramah lingkungan, biaya pembuatan
juga relatif murah.
Pembangunan bendung alami itu sekitar Rp 1 juta per meter,
jauh lebih murah ketimbang talut permanen berkisar Rp 5 juta-Rp 10 juta per
meter. Teknologi ini juga berfungsi memecah gelombang sehingga tidak memicu
abrasi di wilayah lain.
Wetland International Indonesia bersama Kementerian Kelautan
dan Perikanan menargetkan pembentukan jalur hijau mangrove di Timbulsloko
seluas 50 hektar tahun 2021. Lebar jalur hijau sekitar 200 meter, lebih tinggi
dari ketentuan nasional 100 meter. Warga juga didorong mengembangkan tambak
organik dengan menanam mangrove di sisi jalur hijau.
Data KKP menunjukkan, laju abrasi di Indonesia mencapai
1.950 hektar per tahun dengan total lahan di pesisir yang hilang selama 15
tahun terakhir mencapai 29.261 ha. Adapun di pantai utara Jateng, abrasi
sepanjang kurun waktu itu mencapai 6.000 hektar atau yang terparah. Untuk
wilayah Sayung, kemunduran garis pantai sejauh 76,49 meter per tahun, dengan
lahan yang hilang mencapai 139,76 ha.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Jateng Lalu M Syafriadi
menilai teknologi hybrid berpotensi diterapkan di sepanjang pantai utara
Jateng. Dataran baru yang terbentuk akan dimanfaatkan sebagai kawasan wisata
ekologi. Selain untuk konservasi mangrove, kawasan pesisir bisa dijadikan
konservasi rajungan atau kepiting. Lihat Video Terkait ”Bendung Alami Redam
Abrasi” di kompasprint.com/vod/ abrasibendung.(*)Oleh KARINA ISNA IRAWAN
Comments