Jejak Portugis di ”Bumi Kartini”

Wisatawan berfoto dengan latar Benteng Portugis, Desa Banyumanis, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Jepara, Selasa (8/8). Benteng yang konon dibangun oleh prajurit Mataram tahun 1613-1645 itu kini menjadi daya tarik wisata sejarah di Jepara.
Di antara secuil tilas bangsa Portugis di Pulau Jawa, satu di antaranya dapat ditelusuri di pesisir utara Jepara, Jawa Tengah. Posisinya yang menjorok ke laut menjadikan ”Bumi Kartini” begitu strategis dalam konteks perdagangan ataupun perang laut. Jejak historis mewujud melalui bangunan benteng bermeriam di atas bukit batu.
Benteng Portugis terletak di tepi pantai Desa Banyumanis, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Jepara, atau sekitar 45 kilometer dari pusat kota. Dikutip dari arsip Balai Pelestarian Cagar Budaya Jateng, benteng ini merupakan hasil perjanjian kerja sama di bidang militer, antara Kerajaan Mataram Islam di bawah pimpinan Sultan Agung dan tentara Portugis. Benteng itu dibangun untuk menghalau Belanda, yang ketika itu mulai menduduki Jayakarta. Pada tahun 1619, Belanda melalui Perusahaan Dagang Hindia Timur (VOC) menaklukan Jayakarta dan mengubah namanya menjadi Batavia. Kala itu, Raja Mataram Sultan Agung menilai kedatangan Belanda sangat berbahaya. Namun, upaya mengusir Belanda pada 1628-1629 selalu gagal karena Mataram tidak mempunyai armada laut yang kuat. Alhasil, Sultan Agung meminta bantuan Portugis yang berkedudukan di Malaka. Ia memperkirakan Belanda akan kalah jika penyerangan laut dan darat dilakukan bersamaan. Portugis dipilih karena terkenal mempunyai armada laut tangguh. Setelah benteng dibangun, berbagai jenis meriam dipasang di puncak bukit. Benteng pengintai pun dibangun di bagian bawahnya. Portugis kemudian membangun benteng di atas puncak bukit dan menempatkan tentaranya menempati benteng itu pada 1632. ”Kehadiran tentara Portugis hanya beberapa tahun. Semua prajurit kembali ke Selat Malaka karena markas mereka diserang Belanda,” tutur Puji Karyanto, pengelola Benteng Portugis dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jepara, Selasa (8/8). Bangunan benteng itu tidak terlalu besar. Ketinggiannya berkisar 1-2 meter dari atas tanah dan mengelilingi lahan di puncak bukit seluas 1.300 meter persegi. Di area benteng, terdapat menara pengintai setinggi empat meter, dan rumah kecil dari kayu hutan beratap rumbia yang dulu menjadi tempat berteduh para tentara benteng.
Cerita turun-temurun
Kisah kedatangan bangsa Portugis di Jepara diceritakan secara turun-temurun. Puji yang lahir dan besar di wilayah Donorojo pun memperoleh cerita dari orangtua dan tokoh masyarakat setempat. Mereka tak sekadar menceritakan latar belakang kedatangan Portugis, tetapi juga kronologi peristiwa dan tahunnya. Sejarah Benteng Portugis hanya ada satu versi dan mudah ditemukan. ”Para sesepuh mematenkan sejarah benteng agar pada masa depan tidak simpang siur,” ujar Puji. Setelah lama tak terawat, mulai 2011 benteng resmi dibuka untuk umum. Di area benteng, pengunjung bisa melihat diorama berbagai jenis meriam dan benteng pengintai. Mereka akan terbayang betapa lokasi penembakan meriam cukup strategis. Dengan jarak pandang 3-4 kilometer, posisi benteng sangat tepat menembak kapal musuh yang melintas di laut. Berkisar 3,2 kilometer hingga 4,8 kilometer arah utara benteng, terdapat pulau yang dikenal dengan nama Pulau Mandalika. Puji bercerita, di pulau itu terdapat lampu mercusuar tertua se-Jawa yang dibangun Belanda tahun 1610. Pulau kecil itu hanya dihuni beberapa petugas mercusuar. Pengunjung kini bisa menyeberang Mandalika pada Sabtu dan Minggu. M Khoirul Muhim (19), pengunjung asal Kecamatan Mayong, Jepara, sengaja datang untuk membuktikan cerita orangtuanya. Menurut dia, Benteng Portugis terkenal di seantero Jepara. Seusai ditinggalkan Portugis, benteng sempat ditempati tentara Jepang. Mereka menerapkan kerja paksa (romusa) terhadap penduduk di desa-desa sekitar untuk memfungsikan lagi benteng. Bahkan, warga sekitar meyakini ada gua atau lorong bawah tanah hasil kerja tenaga romusa yang tembus ke pantai di kaki bukit. Namun, kini gua itu ditutup karena berbahaya bagi pengunjung.
Kawasan bersejarah

Puji menuturkan, Donorojo dalam bahasa Indonesia berarti pemberian raja atau ratu. Sebelum ditetapkan sebagai nama kecamatan, Donorojo adalah nama daerah yang dikelola Belanda di sekitar Benteng Portugis. Dengan demikian, sampai saat ini tidak satu pun warga di sekitar benteng yang mempunyai tanah secara resmi. ”Semuanya peninggalan Belanda yang kemudian dikelola pemerintah provinsi,” katanya. Berjarak sekitar 500 meter dari Benteng Portugis, terdapat Rumah Sakit (RS) Kusta Donorojo. RS yang dibangun sekitar tahun 1916 itu salah satu RS khusus penyakit kusta terbesar di Indonesia. RS Kusta Dono- rojo dibangun Pemerintah Hindia Belanda dan dikelola salah satu yayasan misi zending agama Kristen. Konon Ratu Wilhemina sering datang ke Jepara bersama anaknya dan bercengkrama dengan warga setempat. Selain RS kusta, Belanda juga membangun gereja tempat perawatan dan peribadatan penderita kusta. Arsitektur Belanda dalam bangunan gereja sangat khas, seperti kaca berwarna-warni, atap yang tinggi, ornamen bebatuan pada dinding. Namun, kebersihan dan perawatan situs cagar budaya masih minim. Meskipun dalam papan informasi tertulis cagar budaya situs Benteng Portugis dilindungi UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang cagar budaya, masih ditemukan coretan tangan-tangan jahil. Sampah plastik dan guguran daun berserakan seperti tak dibersihkan. Bagi warga Donorojo, kehadiran bangsa Portugis dan selanjutnya Belanda adalah sejarah yang patut diketahui secara turun-temurun.[Sumber :Kompas , Sabtu, 7 October 2017 | Oleh : KARINA ISNA IRAWAN]

Comments

Popular Posts