Kritis di Tengah Krisis

SARAS DEWI adalah sosok lain dari gadis Bali kebanyakan, yang rata-rata ”terjebak” adat dan tradisi. Saras keluar dari jebakan itu lalu menjelma sebagai sosok kritis yang siap bertarung melawan mereka yang tak mengindahkan etika kehidupan. Dia yang mendampingi mahasiswi korban pelecehan seksual oleh seorang penyair. Saras juga salah satu sosok di belakang perlawanan warga Bali terhadap rencana reklamasi Teluk Benoa.


Saya juga perlu mengkritik pemerintah daerah yang semestinya berpihak kepada suara masyarakat, ternyata tidak mendengarkan suara-suara rakyat Bali,” kata Saras. Kami berbincang di bawah rimbun pepohonan di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, tempat dia mengampu sejumlah mata kuliah, seperti Filsafat Lingkungan, Filsafat Timur, dan Eksistensialisme. Saras yang biasa dipanggil Yayas oleh mahasiswanya, siang itu berbaju batik merah muda dipadu dengan sepatu kets putih bersih. Dia sengaja memakai eye- liner dan menyapu bibirnya dengan lipstik senada dengan warna baju, dua hal yang jarang dia lakukan. ”Saya diledek mahasiswi saya katanya mirip badut, he-he-he,” ujarnya sembari mengatakan sengaja bergincu dan ber-eyeliner karena hendak difoto. He-he-he .... Di balik wajah dan gayanya yang imut itu, Yayas menyimpan gagasan besar tentang hidup, sosial, dan negara. Berikut petikan wawancara kami: Kenapa Anda mengajak ngobrol di sini? Kampus saya estetis banget. Ada karya pahat. Masuk ke sana disambut panel Borobudur. Di bekakang ada karya-karya pahat. Di sini bisa ngopi asyik. Saya suka baca di bawah pohon beringin itu. Kadang di laboratorium arkeologi ada replika Dewa Siwa, Dewa Brahma, suasananya seperti di candi. Sebenarnya selain minat di filsafat, saya ingin sekali jadi arkeolog. Sering diajak ekspedisi dosen arkeologi ke mana-mana untuk interpretasi simbol situs Hindu-Buddha. Saya senang belajar kebudayaan kuno. Saya suka arkeologi karena saya suka belajar tentang kerajaan-kerajaan kuno. Jawa dan Bali. Saya tertarik tentang Majapahit. Ketika dewasa kemudian saya paham bahwa di balik peradaban kuno seperti Majapahit itu ada filosofinya. Di situ saya mulai berpikir bahwa muatan kita berfilsafat itu sesuatu yang penting. Filsafat dan arkeologi itu beririsan. Kalau kita tidak belajar masa lalu, tidak bisa merefleksikan keterkaitan masa lalu dengan masa depan. Akhirnya, tradisi dan kebudayaan terhapus. Itu menjadi kecenderungan. Misalnya, sekarang banyak industri-industri yang membuat (rusak) pegunungan seperti di Kendeng dan Benoa. Kondisi alam yang tergerus oleh industri itu mengubur ekosistem, ekologi, dan filsafat di balik alam itu. Cara kita membangun kebanyakan menyingkirkan aspek filosofis. Apakah itu yang mendorong Anda aktif mendukung perlawanan warga Kendeng di Jawa Tengah dan menolak reklamasi Teluk Benoa di Bali? Iya. Saya merasa bahwa di balik pembangunan tidak berkelanjutan ini ada krisis pemahaman filosofis. Saat membangun tidak melihat dampaknya. Misalnya, kalau Teluk Benoa jadi direklamasi, mereka tidak mengindahkan aspek bahwa Benoa itu wilayah estuari kebudayaan di mana ada tradisi Segara Kerti, pemujaan Dewa Laut, Segara atau Baruna. Di Teluk Benoa ada jejak Dang Hyang Nirartha, pendeta suci yang menyebarkan agama Hindu Siwa. Pada setiap karyanya beliau menulis keindahan Bali selatan, terutama tentang Benoa. Kalau terjadi pembangunan, tentunya kita mengubur jejak-jejak sejarah itu. Secara ekologis, menimbun laut bisa mengakibatkan banjir atau rob. Namun, di luar dari itu, banyak orang lupa bahwa orang Hindu Bali menjalankan ritual terikat dengan alam. Kalau alamnya dirusak, itu akan merusak kosmologi dan relasi makrokosmos dan mikrokosmos. Bali, masyarakat, dan lingkungannya itu seperti pundi-pundi emas dan uang. Kita melihat pariwisata sebagai suatu kesatuan. Wisata penggerak ekonomi terpenting, tapi harus hati-hati karena orang ke Bali bukan untuk melihat sirkuit balap atau vila saja. Mereka ingin melihat masyarakatnya, alamnya, kesederhanaannya. Bali bisa menjadi tujuan wisata nomor satu karena lingkungan hidupnya, karena orang ingin melihat masyarakat hidup seperti apa, ritualnya apa saja, filosofi hidupnya apa. Kalau alamnya hilang, ritualnya hilang, terus apa yang mau ditawarkan. Ada cara pandang yang tidak holistik. Cara pandang yang tidak holistik itu juga terjadi di sektor lain? Iya. Kasus hukum misalnya. Ini ada impunitas. Bukan hanya kasus Setya Novanto. Ini kekerasan negara di masa Orde Baru. Pelakunya tidak bisa dimintai tanggung jawab. Misalnya aksi Kamisan yang dilakukan kerabat para korban Semanggi I, Semanggi II, Talang Sari. Ibu Sumarsih yang ikut Kamisan, yang memasuki pekan ke-500 sekian minta pertanggungjawaban presiden, tetapi belum dapat kejelasan. Ada kelemahan dan pelemahan pada lembaga-lembaga. Penumpulan lembaga seperti KPK yang sesungguhnya perlu diperkuat. Kalau legislasi yang menumpulkan, masyarakatlah yang harus berpartisipasi membela .... Saya rasa semakin saya memahami kejadian-kejadian maling kecil dihajar luar biasa dan maling besar dibiarkan itu menunjukkan tumpulnya lembaga dan institusi yang seharusnya melindungi masyarakat. Apakah ini sebentuk Leviathan sebagaimana disitir kitab suci dan para filsuf ? Jika diteruskan menjadi Leviathan. Di masa Orde Baru kita melihat bagaimana Orde Baru menjadi monster yang membatasi kebebasan berekspresi dan kebebasan pers. Sekarang bisa mengarah ke sana dengan munculnya konservatisme yang tajam. Juga munculnya propaganda-propaganda hantu PKI. Itu konyol dan dibuat-buat. Saya yakin sekali problem PKI sudah selesai. Masyarakat dihasut sedemikian rupa agar hantu itu seolah hidup. Saya rasa pemerintah harus bisa membuat kondisi demokrasi yang aman dan nyaman. Tapi saya justru melihat banyak ucapan tindakan, anjuran, yang memecah belah masyarakat. Kira-kira ini gejala apa? Saya melihat ini tanda munculnya Neo Orde Baru. Jadi yang bahaya itu Neo Orde Baru dan konservatisme. Dua-duanya ekstrem bahaya. Ini mengancam Pancasila. Saya juga bingung kenapa takut dengan PKI. PKI itu bagaimana bentuknya dan di mana juga tidak ada. Ada kekuatan yang memainkan (isu) setiap mendekati pilpres. Kekuasaan berkontestasi dalam demokrasi yang partisipatoris. Semestinya, kan, politisinya punya hati nurani. Berpolitik secara sehat dan mengedukasi masyarakat. Yang saya lihat di setiap kontestasi pilgub atau pilpres justru memecah belah masyarakat dengan mengambinghitamkan isu-isu yang justru membuat posisi-posisi kelompok rentan menjadi sasaran cara-cara kotor dalam berpolitik. Sayangnya, derajat politik Indonesia masih di sana. Akhirnya, masyarakat frustrasi, putus asa. Apa contoh ekspresi keputusasaan itu? Dalam kasus Setya Novanto, banyak sekali meme. Kalau saya lihat dari filsafat budaya, begitu banyaknya meme itu bentuk histeria warga. Warga frustrasi melihat pemerintah dipimpin orang-orang seperti ini yang permisif terhadap penjahat-penjahat korup, tetapi rakyat tidak bisa berbuat banyak. Mau demo seperti apa tidak bisa didengar. Mau bicara seperti apa tidak ada jalan. Jadi, mereka menertawakannya sebagai bentuk keputusasaan. Itu cara masyarakat menghadapi hidup yang sudah susah membeli sembako, menghadapi bencana, kekerasan di mana-mana. Sementara segelintir elite di negeri ini hidupnya aman dan tidak bisa dimintai pertanggungjawaban. Ngomong-ngomong kabarnya Anda baik banget kepada mahasiswa. Jarang marah. Kapan terakhir Anda marah? Marah banget terakhir melihat petani Kendeng panas-panasan di istana. Sempat emosi. Ibu Sukinah (salah satu petani Kendeng) seperti ibu saya sendiri, tetapi mempertahankan air bersih saja susahnya setengah mati. Dalam kasus RW (korban pelecehan seksual) saya juga marah betul dan paham konsekuensinya seperti apa. Namun, saya tidak takut karena saya membela mahasiswi saya. Sampai sekarang pun dengan pembelaan dari sivitas, UI, mahasiswa, dan BEM, keadilan untuk korban belum bisa dicapai. Saya sempat marah betul, tertekan, dan frustrasi. Kok sistem hukum kita seperti ini untuk kaum yang rentan. Maka, bersama Fakultas Hukum UI kami membantu membuat rancangan UU Penghapusan Kekerasan Seksual. Sekarang masih di Badan Legislasi DPR. Kalau jadi UU bisa memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual yang selama ini takut: takut dihakimi sosial, takut menghadapi hukum yang tidak cermat memandang korban dalam kondisi seperti ini. Saya marah betul dan sampai sekarang masih melihat banyak laporan kekerasan seksual. Ini darurat kekerasan seksual yang seharusnya negara hadir. Ini semacam kebudayaan yang diterima. Dianggap biasa. Harus ada keberpihakan pemerintah. Anda sangat kritis, dari mana belajar kritis seperti ini? Saya hidup di lingkungan yang sangat konservatif dan banyak pembatasan terhadap perempuan. Ketika saya kritis, satu-satunya orang yang membela saya adalah kakek saya. Dialah yang membela ketika saya hendak kuliah S-1 ketika orang lain menentang. Kultur atau adat bisa menjadi sesuatu yang saya cintai tetapi memandang perempuan secara diskriminatif. Kakek saya seorang guru dan punya perpustakaan besar. Kakek saya mendidik saya membaca Al Quran, Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, Weda, dan lainnya. Saya terbiasa baca semua teks atau kitab dari agama-agama. Saya akrab dengan filsuf, seperti Al-Ghazali, Al-Farabi, dan Al-Kindi. Juga dengan mistikus seperti Al-Hallaj. Saya sangat sayang dengan pemikiran mereka. Pelajaran hidup saya pelajari dari para sufi. Filsuf dan teolog Abad Pertengahan dari Agustinus dan Thomas Aquinas. Apa yang Anda dapat dari berbagai bacaan itu? Yang pasti perbedaan hanya ada pada ritual dan simbol. Saya percaya hakikat agama itu kebaikan. Hakikat Islam adalah perdamaian. Hakikat Buddhisme itu pengetahuan yang mencerahkan. Apa pun pendekatan agamanya saya rasa mereka sama, cinta kasih dan kemanusiaan. Pesannya sangat universal. Pesan agama itu kedamaian. Pada kenyataannya, banyak konflik berbasis agama. Distorsinya di mana? Saya rasa kalau kita beragama tapi meninggalkan akal budi, itu yang terjadi. Manusia punya akal budi yang harus digunakan. Kalau memahami agama secara buta, secara partikular, tertutup, yang ada pertentangan. Bagi saya, untuk apa Tuhan dibela. Untuk apa dipertentangkan. Hakikat agama memberikan kita kedamaian. Kalau kita perlakukan agama itu untuk hal-hal yang justru menciptakan konflik, dia gagal sebagai jalan untuk mencapai kedamaian dan keselamatan. Tentunya agama harus membuat manusia jauh lebih baik.[Sumber : Kompas 7 Oct 2017 | OLEH MOHAMMAD HILMI FAIQ ]

Comments

Popular Posts