Lukisan Bernyawa Adachi
Dinding-dinding
di Museum Seni Adachi di Shimane, Jepang, rapat oleh lukisan taman dengan
bingkai logam persegi. Komposisi hijau tumbuhan, gelap bebatuan, dan putih
pasir kerikil menyatu rupawan. Pemandangan itu bukan berkat pulasan cat,
melainkan terbenttuk oleh taman luas di balik kaca bening.
Bangunan
museum yang modern dan sederhana terasa rendah hati demi menonjolkan taman
permai di luar. ”Jendela-jendela ibarat bingkai agar orang melihat taman serupa
menikmati lukisan,” ujar Takeda, pegawai museum, dengan nada dan kesopanan ala
Jepang. Isi bingkai itu bisa berubah-ubah. Ketika asyik menikmati pemandangan
dalam sebuah bingkai, eh, jendela, tiba-tiba dari salah satu sudutnya muncul
perawat taman hendak merapikan gundukan semak. Nuansa lanskap pun berganti
sesuai musim. Akhir Agustus lalu, ketika mengunjungi taman itu dengan
sekelompok jurnalis atas undangan kapal pesiar Costa Neoromantica, sedang musim
panas. Pohon pinus, semak, dan alas lumut hijau menyejukkan mata. Kontras
dengan batuan putih yang memantulkan sinar mentari. Namun, saat musim berganti
dingin, selimut salju putih berkuasa. Ketika membangun taman, kreator
memperhatikan pula musim. Semua unsur diatur dengan ambisi tinggi mencapai
kesempurnaan estetika. Hasilnya, lukisan paling tak membosankan di taman seluas
4 hektar itu. Tak heran, Taman Museum Seni Adachi dinobatkan sebagai taman
terbaik nomor satu di Jepang selama 13 tahun berturut-turut oleh The Journal of
Japanese Gardening. Taman Adachi didesain oleh Nakane Kinsake pada 1970 atas
permintaan pendiri museum, Adachi Zenko. Di museum itu tersimpan karya modern
awal di Jepang, seperti lukisan, keramik, pahatan kayu, dan gold lacquer.
Penulis buku The Art of Japanese Garden, David dan Michiko Young, menggolongkan
Taman Adachi sebagai taman periode Showa (1926-1989), identik dengan masa
Kaisar Hirohito. Cirinya, ada ketertarikan baru terhadap bentuk abstrak dan
komposisi seperti di Taman Adachi. Sebagian penataan seperti ingin lepas dari
gaya naturalis pengaruh Barat, semisal keberadaan area rumput luas dan aneka
tanaman. Namun, sebagian kembali pada eksplorasi ide-ide taman zen masa lalu.
Alhasil, Taman Adachi memiliki kualitas sureal dengan nuansa modern.
Harga diri tuan samurai
Taman tak
hanya soal estetika. Di taman lain, Kenrokuen di Kanazawa, Prefektur Ishikawa,
taman merupakan bagian dari harga diri para panglima, tuan samurai. Di
Kenrokuen, pengunjung bisa jalan-jalan menikmati taman. ”Ini salah satu dari
tiga taman terindah di Jepang,” ujar Maki Hashizume, pemandu dari Kanazawa
Convention Bureau. Dia tidak berlebihan. Keindahan Taman Kenrokuen tersibak
begitu memasuki taman itu. Ada pemandangan panoramik di sekitar danau dengan
dekorasi jembatan tempat turis bergantian berfoto penuh gaya, termasuk
pura-pura berjalan anggun me- lintas ibarat model di titian peraga. Pemandangan
lainnya adalah jalur-jalur jalan setapak tertutup kerikil, alur air, hingga
kolam air mancur. ”Saat musim semi, ini tempat yang indah juga untuk menikmati
sakura,” ujar Maki. Pada musim itu, sakura membuncah dengan kelopak merah
mudanya, seperti ingin bersaing dengan gumpalan awan putih. Setidaknya begitu
gambaran foto taman itu saat musim semi yang ditunjukkan Maki kemudian.
Kenrokuen merupakan taman lanskap dari periode Edo (1603-1868) yang aslinya
merupakan taman Kastil Kanazawa. Sejarah taman itu setidaknya dimulai tahun
1580 ketika kastil dibangun. Keluarga bangsawan Maeda menjadi penghuni Kastil
Kanazawa dan mengonstruksi taman itu selama dua abad. Pengembangan desain dasar
sebagai taman lanskap untuk jalan-jalan terjadi pada masa Narinaga ke-12 dan
Nariyasu ke-13. Tahun 1874, ketika sistem domain (semacam daerah kekuasaan)
masa feodal dihapuskan, taman itu dibuka untuk publik. Taman itu dinamai
Kenrokuen berdasarkan buku China klasik tentang taman terkenal Luoyang yang
memuat enam unsur keindahan yang kadang kontras, yakni lapang, terasing,
canggih, antik, jalur air, dan panoramik. Konon, Taman Kenrokuen dapat
dinikmati ibarat komposisi musik, yang sekuen demi sekuen memberi pengalaman
berbeda dengan perubahan komposisi air, jembatan, lentera, semak, batuan, dan
bunga-bunga. Taman pada masa periode Edo terkenal dengan taman jalan-jalan luas
yang diasosiasikan dengan vila milik keluarga aristokrat atau panglima perang.
Kegunaannya, untuk mendemonstrasikan kekuasaan dan kekayaan dari para pemilik,
juga mengtertutup hibur tamu penting.
Menyambut para dewa
Kehadiran
taman di Jepang, mengutip David dan Michael Young, terkait aspek spiritual,
sekuler sebagai bagian dari prestise kaum bangsawan, hingga menyebar menjadi
budaya masyarakat umum. Definisi barat, khususnya budaya Eropa, bahwa taman
berarti tempat menumbuhkan tanaman dan diatur demi kesenangan estetis terlalu
sempit untuk diterapkan pada taman Jepang, yang kadang hanya disusun dengan
batu dan kerikil. Istilah modern Jepang untuk taman ialah teien, kata majemuk
yang terdiri dari karakter niwa dan sono. Singkatnya, niwa berarti area yang
diberi kerikil atau tanah liat untuk kegiatan seremonial, sedangkan sono
merupakan area yang ditanami dan diairi. Itu tak lepas dari spiritualitas dan
perkembangan budaya tanam di sana. Area seperti kuil penting atau istana,
tempat aktivitas spiritual dan kediaman orang yang memiliki kualitas suci
seperti kaisar, biasanya dilapisi kerikil dalam tradisi kuno. Pada masa
prasejarah, terminologi niwa merujuk suatu tempat kegiatan spesifik, contohnya
upacara yang didedikasikan untuk kami, roh yang diyakini telah turun dari surga
atau datang ke laut.
Pada sisi sekuler, taman didedikasikan sebagai hiburan
seperti yang dibangun di vila luas, ditanami ragam tanaman, dan diperindah dengan
berbagai perangsang visual, misalnya lentera dan paviliun. Ada pula taman yang
berada di antara rentang spiritual dan sekuler, yang mengombinasikan
kesenangan, tetapi juga memunculkan kedalaman spiritual, salah satunya taman
zen. Setelah masa Edo terjadi peningkatan masyarakat urban yang utamanya
terbentuk dari kaum pedagang dan artisan. Taman pun diadaptasi ke dalam
ruang-ruang hidup masyarakat. Lahan kosong, meski kecil di dalam toko atau di
rumah, dimanfaatkan sebagai taman. Taman menjadi bagian dari gaya hidup
masyarakat. Membangun taman tradisional Jepang terbilang sulit dan mahal.
Namun, beberapa prinsip dasar dari taman tradisional dapat diadaptasi untuk
konstruksi taman di hunian modern. ”Hasil yang baik dapat dicapai dengan
menjaga segalanya tetap sederhana, memberikan asimetri dengan tetap
memperhatikan keseimbangan, dan sabar menunggu taman mengembangkan patina
usia,” begitu nasihat David dan Michiko Young dalam bukunya. Pada akhirnya,
taman yang bertumbuh, terbentuk, dan menua seiring waktu serupa teman hidup
yang menyenangkan.[Kompas, Minggu, 8 October 2017 | OLEH INDIRA PERMANASARI ]
Comments