Penyeimbang Kebahagiaan
Sejauh apa
pun karier musik menjelajah, kenyamanan rumah selalu memanggil Ariestanto
”Ebenz” (42) untuk lekas pulang. Bagi gitaris band metal Burgerkill itu, rumah
adalah pusat penyeimbang kebahagiaan antara kehidupan keluarga dan napas
bermusiknya.
Sebagai
musikus metal, Ebenz sangat akrab dengan dentuman musik keras. Namun, hal itu
tidak tergambar dari suasana rumahnya di Jalan Gumuruh, Turangga, Kota Bandung,
Jawa Barat. Berbagai tanaman, di antaranya anggrek dan kamboja, menghiasi taman
di depan dan belakang rumah. Suasana nyaman dan adem pun langsung terasa saat
memasuki gerbang rumah. ”Rumah adalah pusatnya kebahagiaan. Saya ingin membuat
rumah senyaman mungkin sehingga menghadirkan kebahagiaan. Aturan di rumah ini
sederhana, semuanya boleh, kecuali marah,” ujarnya, Rabu (27/9). Bagi Ebenz,
esensi rumah tidak terpenjara oleh bangunan fisik semata. Itu sebabnya, dari
luas tanah sekitar 700 meter persegi, hanya 100 meter persegi yang digunakan
untuk bangunan rumah dua lantai. Dia sengaja tidak rakus memanfaatkan tanah
untuk bangunan agar menciptakan banyak ruang terbuka. ”Selain lebih nyaman,
juga untuk menghemat biaya membangun rumah,” ujarnya sambil tertawa lepas.
Ebenz tinggal bersama istrinya, Anggi Pratiwi (34), serta kedua anaknya, Abiel
Dzaki Ibrahim (10) dan Alieq Sabih Ismail (5). Namun, suasana ramai selalu
menyinggahi rumahnya hampir setiap bulan. Keramaian itu hadir karena personel
Burgerkill sering singgah ke rumahnya. Di samping bangunan rumah Ebenz,
terdapat studio dan kantor band yang sering dijadikan tempat berkumpul.
”Sesekali kumpul sama anak-anak (personel Burgerkill) dengan keluarganya.
Karena baAlumnus nyak ruang terbuka, jadi bisa buat acara barbeku sekalian
memperkuat silaturahim,” ujarnya. Menjadikan rumah sebagai tempat berkumpul
sudah dirasakan Ebenz sejak kecil. Sebab, rumah orangtuanya di Jakarta juga
menerapkan konsep demikian. ”Sejak kecil, rumah saya sering dikunjungi.
Orangtua lebih suka kalau teman-teman saya kumpul dan main di rumah. Jadi,
lebih mudah mengawasinya,” ujarnya. Ebenz juga menginginkan hal serupa
dirasakan kedua anaknya. Untuk itu, dia menata rumah yang tak hanya nyaman bagi
keluarganya, melainkan juga tamu-tamunya. ”Kalau bangunan terlalu besar,
kesannya agak ruwet. Jadi, saya dan istri sepakat membuat banyak ruang untuk
tumbuhan sehingga mata tetap segar saat memandang,” ujarnya. Jurusan Desain
Produk Fakultas Desain Institut Teknologi Nasional itu mengaku menyukai
tumbuhan. Di waktu senggang, dia menyalurkan hobi berkebun di taman depan dan
belakang rumah. Kolam kecil di bagian depan semakin menambah kesan rumah itu
menyatu dengan alam. ”Saya suka suara percikan airnya. Apalagi sehabis hujan
masih sering terdengar suara kodok. Jadi, kesan alaminya dapat,” kata Ebenz.
Tanpa ruang tamu
Rumah Ebenz
tidak menyediakan ruang khusus untuk tamu. Namun, bukan berarti dia tidak
memberi perhatian pada orangorang yang berkunjung. Pria kelahiran Jakarta, 26
Maret 1975, itu menyadari membutuhkan banyak ruang untuk menjamu tamu-tamunya.
Untuk itu, rumahnya mempunyai tiga teras di depan, samping, dan belakang
sehingga dapat digunakan menerima tamu. Tiga teras memungkinkan Ebenz dan
keluarga menerima banyak tamu dalam waktu bersamaan. ”Keluarga dan teman pernah
datang bersamaan. Keluarga di teras depan, sementara teman di teras samping
atau belakang. Jadi, semuanya diterima dengan obrolan masing-masing,” ujarnya.
Akan tetapi, di sisi lain, banyaknya teras membuat kapasitas rumahnya tidak
terlalu luas. Ruang utama di lantai dasar dijadikan sebagai ruang keluarga. Di
dalamnya terdapat perapian yang sering digunakan saat musim hujan. Ebenz
mengatakan, di saat musim hujan, suhu di sekitar rumahnya bisa mencapai 18
derajat celsius. ”Jadi, perapian bukan untuk gaya-gayaan melainkan kebutuhan
supaya tetap hangat saat musim hujan,” ujar Ebenz. Di lantai yang sama,
terdapat dua kamar. Kamar belakang digunakan oleh Ebenz dan istrinya, sementara
kamar depan untuk kedua anaknya. Kamar di lantai dua disediakan untuk tamu. Di
lantai tersebut juga terdapat ruang kerja Ebenz yang sering digunakan untuk
mendengarkan musik dan mengarang lagu. Di belakang ruang kerja juga terdapat
teras yang memungkinkan untuk memandang taman di belakang rumahnya. ”Jadi,
kalau sudah mentok, keluar dulu duduk di teras. Setelah seger lihat yang hijau-hijau
dari atas, lanjut kerja lagi,” ujar Ebenz. Dengan bangunan rumah yang tidak
terlalu luas, Ebenz harus pintar-pintar memanfaatkan setiap sudut rumahnya.
Untuk itu, ruang di bawah tangga pun dimanfaatkan sebagai tempat belajar
anaknya. Keunikan lain dari rumah Ebenz adalah mayoritas dindingnya menggunakan
bahan kaca. Hal itu memaksimalkan penerangan dari cahaya matahari sehingga
meminimalkan penggunaan lampu. Dia menginginkan rumah yang sehat. Menurut
Ebenz, satu di antara kriterianya adalah menghemat penggunaan listrik dan
memanfaatkan energi alam. ”Di rumah ini, sampai jam enam sore tak perlu
menyalakan lampu. Pendingin ruangan juga jarang digunakan karena akses udara
dari alam sangat bebas,” ujarnya.
Jatuh cinta
Ebenz
berstatus pendatang di Kota Bandung. Dia lahir dan tinggal di Jakarta sampai
kelas II SMA. Saat naik ke kelas III pada 1993, dia pindah ke Bandung. Ebenz
seperti menemukan kehidupan baru di ”Kota Kembang”. Setelah belasan tahun hidup
dengan cuaca Jakarta yang panas, kondisi itu berbanding terbalik dengan udara
dingin Bandung. ”Saya langsung jatuh cinta dengan kota ini. Saya suka
oksigennya dan udaranya yang segar. Orang-orangnya juga lebih ramah,” katanya.
Selain itu, Ebenz juga menyukai iklim kreativitas anak muda Bandung. Menurut dia,
kebiasaan nongkrong orang Bandung membuat banyak ide kreatif lahir dari
obrolan-obrolan ringan. ”Jadi, bukan sebatas pepesan kosong. Tak hanya dalam
musik, tetapi dalam berbagai hal, termasuk musik. Energi kreativitas ini yang
saya suka,” ujarnya. Tur demi tur ke luar kota bahkan luar negeri selalu
mewarnai kehidupan bermusik Ebenz. Namun, kenyamaan rumah selalu menjadi magnet
untuk menariknya segera pulang. Pada 2010, Burgerkill menjalani tur selama satu
bulan di Australia. Walaupun menikmati manggung di negeri orang, Ebenz mengaku
selalu merindukan rumah. ”Karena di rumah ini saya menemukan kebahagian. Sampai
mati saya ingin di sini saja,” ujar Ebenz.[Sumber : Kompas, Minggu 8
October 2017 | OLEH : TATANG MULYANA
SINAGA]
Comments