Sensasi Mengejar Senja ke Ujung Selaru
Jarum jam sudah melewati pukul 16.00 WIT, pesisir pantai
barat Pulau Selaru, Maluku, masih jauh. Hasrat secepatnya menapaki pesisir
dihadang jalanan setapak bebatuan yang tak mudah dilalui. Desakan dalam diri
ini tak lain kalau bukan digoda kemolekan mentari senja saat hendak menjemput
malam.
Serasa kian tertekan saat mentari semakin turun dan sinarnya
terhalang kebun kelapa yang mengapiti jalanan. Memacu kecepatan bukan solusi.
Kubangan dan batu mengingatkan laju tak boleh lebih dari 20 kilometer per jam. Hal
paling konyol pun terjadi. Berteriak memohon semesta menahan laju mentari. Ini
gila! Satu jam kemudian, roda sepeda motor lolos dari perangkap jalur neraka
dan disambut setapak berpasir. Namun, itu tak lantas bisa menggenjot laju.
Onggokan pasir dan beberapa lubang yang tertutup alang-alang bisa jadi jebakan.
Namun, satu hal yang pasti, jalan berpasir pertanda pesisir semakin dekat.
Sepeda motor pun terhenti di sebuah kebun warga tempat jemuran rumput laut.
Namun, pesisir pantai belum juga tampak lantaran terhalang semak setinggi lebih
dari dua meter. Hanya terdengar suara gaduh petani rumput laut yang baru saja
memanen hasil. Bau air laut mulai menyengat. Rasa penasaran mendorong kaki
meloncat dari sepeda motor dan berlari menerobos semak. Petani rumput laut
kaget melihat wajah baru melompat kegirangan itu. Rasa kagum saat disambut
bentangan pasir putih memanjang seakan P Aru tidak berujung. Warga setempat
menyebutnya Pantai Tanimer. Frets Salakan, seorang pendeta di Selaru, dan Intan
Fitri gadis asal Palembang, Sumatera Selatan, yang ikut dalam perjalanan itu
mengambil gawai untuk mengabadikan momen. Nun jauh di sana mentari mulai turun.
Setelah bergulat dalam selimutan awan tebal sekitar 30 detik, mentari mulai
tampak utuh. Sentimeter demi sentimeter mentari bergerak turun disambut
betangan luas samudra yang siap menelannya. Momen yang diburu sejak pukul 15.00
WIT dari Pelabuhan Adaut—sekitar 40 kilometer—itu berlangsung kurang dari lima
menit. Momen singkat, tetapi berkesan itu serasa terus memanggil untuk kembali
lagi ke sana. ”Kalau matahari terbenam di tempat lain itu biasa saja, tetapi
sini berbeda karena kita seperti mengantar mentari ke ujung negeri. Di depan
sana itu Benua Australia,” kata Frets. Perburuan pesona lain di pulau itu pun
kembali berlanjut.
Haru merah putih
Keesokan hari menikmati mentari di Eliasa, desa terselatan
di pulau yang masuk Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Di Selaru ada tujuh desa.
Desa lain adalah Adaut, Kandar, Namtabung, Lingat, Werain, dan Fursuy. Pelabuan
Adaut merupakan akses utama warga Selaru ke Saumlaki, ibu kota kabupaten.
Eliasa dan Adaut mengapiti empat desa lain, itu terpaut sekitar 61 kilometer.
Berada paling ujung, di Eliasa ada sebuah menara perbatasan 0 kilometer
setinggi 34 meter. Ke puncak harus melewati 107 anak tangga. Elkana Amarduan
(60) penjaga menara mengajak ke puncak. Bingkai pasir putih berpadu laut biru
bening membentang di bawahnya. Juga deretan kebun kelapa yang baris rapi.
Kibaran bendera di puncak menara menegaskan rasa bangga akan kekayaan pesona
nusantara. ”Alam Indonesia luar biasa. Bangga punya Indonesia,” terbenamnya
matahari di Pantai Tanimer, Pulau Selaru, Kabupaten Maluku Tenggara Barat,
Maluku pada Rabu (23/4). Pulau yang berbatasan dengan Australia itu kaya akan
keindahan alam, beragam kearifan lokal dan budaya, serta peninggalan sejarah
Perang Dunia II. ujar Intan. Bola mata Elkana, penjaga menara tanpa gaji itu,
berkaca-kaca. Ia terharu melihat Intan dan seorang temannya bergantian berpose
sambil merangkul bendera. Selaru tidak sebatas pesona alam. Kearifan lokal
masih terjaga di pulau seluas lebih kurang 3.667,86 kilometer persegi itu. Di
Eliasa, ada kebiasaan menggoreng jagung dan kacang tanah menggunakan pasir
pantai yang halus. Setiap tahun juga ada prosesi adat menangkap ikan menggunakan
daun kelapa. Sementara di Kandar, sekitar 24 kilometer dari Adaut dikenal
sebagai kampung tenun ikat. Perempuan Kandar seperti dilahirkan menjadi
penenun. Menenun sebagai tanda perempuan sudah mandiri sehingga bisa membentuk
keluarga baru. Tenun ikat Tanimbar yang kini mendunia itu berasal dari Kandar.
Pulau berpenduduk sekitar 13.000 jiwa itu juga membangkitkan memori Perang
Dunai II. Di Desa Lingat yang berjarak sekitar 30 kilometer dari Adaut ada
lapangan terbang peninggalan Jepang sepanjang 3,5 kilometer. Ada gua
persembunyian tentara Jepang. Juga sisa puing kendaraan Jepang. Sayangnya
daerah potensial itu belum dirias. Jalan lintas Selaru belum tuntas dibangun.
Jalan sepanjang 60 kilometer ini ditempuh hingga 3 jam. Ongkos ojek
Adaut-ELiasa Rp 150.000 per penumpang. Akses laut apalagi. Dalam sehari, hanya
ada satu perahu cepat melayani Saumlaki-Selaru bertarif Rp 50.000 per penumpang
dengan waktu tempuh sekitar 1 jam. Sekretaris Dinas Pariwisata Kabupaten Maluku
Tenggara Barat Fredrik Futurnanembun, mengatakan, potensi wisata Selaru cukup
menjanjikan menyusul daerah itu dekat dengan ladang gas Blok Masela yang kini
menuju tahap eksploitasi. Pembangunan kilang dan industri ikutan bakal
menggeliatkan ekonomi setempat. Prospek pariwisata otomatis terbuka lebar.
”Sekarang kami sedang menyiapkan infrastruktur untuk pembukaan rute penerbangan
Saumlaki-Darwin, Australia, tahun depan,” ujarnya. Kini Saumlaki dijangkau dari
Ambon dengan pesawat jenis ATR 72 selama 1 jam 40 menit. Harga tiket paling
murah Rp 600.000 per penumpang. Fredrik mengklaim, sejumlah kementerian terkait
sudah mendukung rencana itu dan berkomitmen membangun sarana penunjang.
Landasan bandara akan diperpanjang hingga sekitar 2 kilometer agar bisa
didarati pesawat berbadan lebar. Selain itu juga pembangunan kantor imigrasi.
Semuanya sedang diproses. Namun, yang paling utama adalah akses menuju
destinasi wisata. Kondisi jalan yang buruk membuat wisatawan terdesak saat
ingin menyaksikan terbenamnya matahari di ujung Pulau Selaru.[Sumber : Kompas,
Jumat, 13 Oktober 2017 Hal.24 |Oleh : FRANS PATI HERIN]
Comments