Bambu Ngada Belum Tersentuh Teknologi
Bambu betung berwarna coklat tumbuh di tengah semak belukar
tanpa perawatan. Sebagian besar bambu di Ngada tumbuh begitu saja di hutan.
Tinggi bambu jenis ini sampai 50 meter, tetapi yang layak digunakan sebagai
bahan bangunan sekitar 30 meter. Bambu tersebut sejauh ini belum diolah menjadi
bahan baku produk ikutan lainnya. Padahal, tekstil pun ada yang berbahan baku
bambu.
Hamparan bambu membentang di seantero Kabupaten Ngada, Pulau
Flores, Nusa Tenggara Timur, membuat pengunjung dari luar terkagum-kagum. Bambu-bambu
itu dibiarkan tumbuh, mati, dan hidup lagi di hutan-hutan tanpa sentuhan
teknologi. Padahal, bambu bisa diolah secara modern guna meningkatkan taraf
hidup warga. Sampai tahun 1980-an, ribuan pohon bambu ini begitu populer
sebagai bahan bangunan rumah. Sejarah berkembang biaknya bambu di Ngada
berkaitan dengan tradisi membangun rumah tradisional dari bambu. Ngada dengan
cuaca yang dingin sampai menyentuh 15 derajad celsius, mendorong warga
membangun rumah dengan dinding bambu (gedhek) berlapis dua. Tinggi bangunan pun
hanya sampai 3 meter dari permukaan tanah, dengan atap dari bambu. Sesuai
tradisi, rumah-rumah adat dibangun semata-mata menggunakan bambu, tanpa
material pabrik, seperti seng, paku, atau semen. Kepercayaan di kalangan suku
Ngada, leluhur hanya mau berdiam di rumah yang terbuat dari bambu atau kayu.
Karena itu, bambu menjadi salah satu kebutuhan penting dalam masyarakat Ngada.
12 jenis
Luas lahan bambu di Ngada sesuai data 2007 mencapai 9.239,91
hektar atau 1.579.441 rumpun bambu tersebar di 136 desa. Sebagian besar
merupakan warisan leluhur dan sebagian lagi hasil budidaya masyarakat. Data ini
hasil kerja sama Dinas Kehutanan Ngada dengan Lembaga Penelitian Kemasyarakatan
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2007. Kepala Subbagian Tata Usaha UPT
Kesatuan Pengelolaan Hutan Wilayah Ngada Yoseph Kabe di Bajawa, Rabu (5/7),
mengatakan, sedikitnya ada 12 jenis bambu tumbuh dan berkembang di Ngada antara
lain bheto (betung apus) dan bheto laka (betung coklat) atau Dendrocalamus
asper; peri ngura peri sese (ater hijau ater kuning); Gigantochloa atter; peri
laka (pering apus, pering coklat); Gigantochloa atroviolacea; guru sese guru
ngura (bambu kuning, aur, pering ampe); Bambusa vulgaris, dan yea wulu (bambu
tipis, bambu tamiang, pring wuluh, awi bunar); Schizostachyum blumei. Setiap
jenis bambu memiliki fungsi dan peran berbeda. Jenis bambu betung apus atau
bambu coklat, zaman dulu biasanya dimanfaatkan masyarakat Ngada untuk
pembangunan rumah. Pering apus atau pering coklat digunakan untuk mengisi air
dari sungai, atau mengalirkan air (sebagai pipa). Bambu kuning atau aur pering
ampe, untuk rangka atap rumah, dan bambu wuluh untuk alat musik. Kini, fungsi
bambu-bambu seperti itu tergantikan oleh batu, pasir, semen, seng, pipa, dan
paku. Kecuali alat musik tidak bisa tergantikan. ”Indonesia memiliki 1.250
jenis bambu, khusus di Ngada ada 12 jenis yang sudah ditemukan. Namun, 12 jenis
bambu ini belum satu pun dikelola secara modern dengan teknologi seperti mebel
untuk meningkatkan taraf hidup warga. Selama ini bambu tumbuh, hidup, mati, dan
tumbuh lagi,” kata Kabe. Padahal, kegunaan bambu cukup beragam. Ada yang
berfungsi sebagai tiang, balok, lantai, dinding (sekat), rangka menyangga atap,
atap, pintu, jendela, langit-langit, tangga, dinding penahan tanah, perancah
saat pelaksanaan bangunan bertingkat, dan tirai gulung. Bangunan dari bambu
juga mudah dibuat, mampu tahan gempa, bencana angin ribut, dan mudah diperbaiki
jika rusak. Untuk perabot rumah tangga, bambu bermanfaat sebagai meja, kursi, dipan,
kap lampu, dekorasi, dan peralatan dapur. Masyarakat Ngada juga memanfaatkan
bambu untuk pagar, anyaman (sangkar ayam), pengganti ember (ambil air dari
sungai), memanjat pohon, kandang, panjat tuak, dan cengkeh. Penyalur air minum
(air pengairan), jembatan ringan, bahan kertas, simpan beras dan jagung, bahan
kerajinan tangan, dan alat musik. Konon, serat bambu juga sering dimanfaatkan
sebagai bahan baku tekstil. Bahan baku tekstil dengan menggunakan serat bambu
mungkin tidak sepopuler bahan baku dari serat kapas. Meski demikian, serat
bambu dikabarkan memiliki banyak keunggulan, dan mirip seperti bahan kain yang
terbuat dari serat kapas alias katun. Serat bambu sering dijadikan bahan kaus,
kain, taplak meja, handuk, dan banyak lagi. Namun, hal ini belum tergarap di
Ngada.
Belum berhasil
Tahun 2010 pernah dilakukan kerja sama Pemerintah Daerah
Ngada dengan Pemda Bali, yakni PT Indo Bambu untuk budidaya (pengembangan)
bambu. Sebelumnya, yakni tahun 1992 pernah digalakkan program tanam bambu 1
juta pohon di seluruh Ngada. Selain budidaya, bambu juga tumbuh secara alamiah
di lahan warga. ”Namun, sampai hari ini pemanfaatan bambu di kalangan
masyarakat sangat terbatas. Belum ada industri pengolahan bambu seperti mebel.
Tahun 2012 pernah hadir sebuah perusahaan di Maumbawa, tetapi perusahaan ini
hanya membeli bambu dari masyarakat kemudian dibawa ke luar NTT untuk diolah.
Namun, saat ini tak ada lagi,” kata Kabe. Sebelumnya, pada 2007 dilakukan kerja
sama Pemda Ngada dengan Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat UGM,
Yogyakarta. Namun, studi kelayakan usaha bambu di Ngada ini tak
ditindaklanjuti. Tim ini hanya menghasilkan sebuah dokumen tentang bambu Ngada.
Hampir semua warga memiliki bambu. Satu kepala keluarga memiliki 10-80 rumpun
bambu, dengan masing-masing rumpun terdapat 80-145 batang. Lambertus Rimo (45),
warga Desa Sobo, Kecamatan Golewa, mengaku memiliki 15 rumpun bambu jenis
betung coklat dan betung hijau, dengan total 170 batang. Namun, bambu-bambu itu
hanya dimanfaatkan untuk kandang ternak, atap kandang ternak, dinding (gedhek)
rumah di ladang, dan rumah adat. Sampai tahun 1980-an, bambu-bambu itu masih
laris digunakan untuk pembangunan rumah tinggal. Rumpun bambu tidak pernah
punah karena selalu tumbuh anakan baru dari rumpun induk, kecuali pohon bambu
itu dibakar. Itu pun bakal tumbuh anakan bambu baru setelah musim hujan tiba.
Akar bambu diyakini memiliki kelebihan sebagai pengikat tanah sehingga tidak
mudah longsor. Karena kawasan di mana ada tumbuh bambu, tidak pernah terjadi
longsor. Masa pemerintahan Orde Baru, warga yang memiliki rumah dari bambu
dihitung sebagai warga miskin. Penduduk sejahtera diukur dari rumah atap seng,
rumah berdinding tembok, lantai keramik atau semen. Kebijakan ini seakan
membasmi bambu di Ngada dan Flores pada umumnya, tetapi hal itu tidak terjadi.
Bambu malah semakin luas berkembang di seluruh daratan Ngada. Rimo mengaku,
menjual satu batang bambu betung seharga Rp 20.000-Rp 30.000 sesuai panjang dan
diameter. Panjang bambu betung sekitar 30 meter dengan diameter 15-20
sentimeter. Penjualan bambu bulat di kalangan masyarakat Ngada jarang laku
karena hampir semua warga memiliki rumpun bambu. ”November 2016 ada sosialisasi
dari Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif NTT tentang kerajinan dari bambu. Itu
pun sebatas penggunaan bambu untuk tusuk gigi dan lidi sate, yang lain-lain
belum ada. Namun, sosialisasi ini pun tidak banyak manfaat karena siapa yang
beli, jika diproduksi dalam jumlah besar. Soal tusuk gigi dan lidi sate tidak
perlu sosialisasi juga kami bisa buat, tetapi persoalan di pemasaran,” kata
Rimo.[Sumber: Kompas 23 Jul 2017 Oleh :KORNELIS KEWA ]AMA]
Comments