Indonesia dalam Sepetak Kebun
Secangkir kopi dan minuman cokelat hangat mungkin telah
akrab menemani keseharian kita beraktivitas. Namun, belum banyak orang
mengetahui wujud tanaman penghasil dua jenis minuman terfavorit di dunia ini.
Coco Park, di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, Jember, memberi jawabannya.
Nama sebenarnya Taman Sains dan Teknologi Kopi dan Kakao
atau Coffee and Cocoa Science Techno Park (CCSTP). Namun, tempat ini lebih
populer dengan sebutan Coco Park. Taman edukasi yang dikelola Pusat Penelitian
Kopi dan Kakao (Puslitkoka) seluas 140 hektar ini terletak di Kecamatan
Rambipuji, Jember, Jawa Timur. Di kompleks inilah segala wujud kopi dan cokelat
menjadi sumber edukasi sekaligus hiburan. Kita tak hanya melihat kopi sekadar
bubuk kopi atau minuman panas di atas meja. Begitu pula cokelat tak sekadar
cokelat batangan. Coco Park menyuguhkan beragam wujud kopi dan cokelat. Mulai
kebun, koleksi biji kopi dan cokelat se-Nusantara, hingga secangkir kopi
spesialti dan cokelat praline yang lembut dan legit. Berkeliling di Coco Park
hanya butuh Rp 10.000 untuk membeli tiket. Dari gerbang masuk, pengunjung dapat
berkeliling dengan kendaraan ”Flinstone” untuk melihat langsung hamparan
tanaman kopi dan cokelat. Beberapa di antaranya merupakan kebun-kebun uji coba
perbaikan klon. Di taman ini bibit-bibit unggul dihasilkan. Kepala Puslitkoka
Misnawi, saat memandu Kompas berkeliling Coco Park, Selasa (24/10),
menceritakan taman yang menjadi sentra penelitian dan pengembangan itu telah
menghasilkan bibit-bibit kopi super. Tanaman kopi yang biasanya baru berbuah di
atas 3 tahun, dengan bibit klon unggul, dapat berbuah lebih cepat. ”Dalam 18
bulan saja, tanaman sudah berbuah,” katanya. Keunggulan lain, tanaman memiliki
perakaran yang lebih kompleks sehingga dapat mengatasi ancaman longsor. Produktivitasnya
lebih besar. Begitu pula dengan bibit cokelat unggul, produktivitas dan mutu
hasilnya lebih baik. Setelah melintasi kebun-kebun penelitian dan pembibitan,
tampak tempat-tempat pengolahan berbagai jenis produk berbahan dasar kopi dan
cokelat. Pemandu mempersilakan pengunjung mencicipi buah cokelat yang baru
dipetik. ”Mau yang manis atau asam? Dua-duanya ada,” kata Iwan, pemandu di Coco
Park sambil memilih dan mengupas buah cokelat untuk kami. Saat disesap, daging
buah cokelat yang berwarna putih menebar sensasi manis asam. Puslitkoka
memanfaatkan daging buah itu untuk membuat nata de choco, semacam nata de coco
tetapi terbuat dari daging buah cokelat. Bijinya untuk membuat berbagai produk
cokelat, mulai dari kue cokelat, cokelat batangan, dan bubuk cokelat.
Ekspor ke Jepang
Pabrik itu juga mengirim cokelat batangan ke Jepang, dengan
merek Paradise Papua. Nama Papua disematkan karena biji kakao berasal dari
pulau itu. ”Biji kakao dari Papua adalah biji organik, dan masyarakat Jepang
menyukai itu,” kata Iwan. Selain digunakan untuk industri makanan, cokelat juga
diambil minyaknya untuk bahan kosmetik. Produk sampingan cokelat itu
menghasilkan sabun dan sejumlah jenis kosmetik dengan kandungan antioksidan
tinggi, sangat baik untuk mengatasi penuaan pada wajah. Produk kosmetik hasil
penelitian tim Puslitkoka bahkan telah dilirik kalangan artis yang berbisnis
kosmetik. Kopi dan Kakao (Puslitkoka) Jember, Jawa Timur, mengoleksi berbagai
jenis biji kopi dan kakao dari seluruh Nusantara. Berbagai contoh daun dan biji
yang diawetkan oleh Pemerintah Belanda juga masih tersimpan di pusat penelitian
itu. Koleksi ini bisa dilihat langsung oleh pengunjung. Puslitkoka yang
bertempat di Jember itu menjadi jangkar penelitian kopi dan kakao Indonesia.
Foto diambil Kamis (26/10). Selain pengolahan cokelat, ada pengolahan kopi.
Kopi yang dihasilkan Puslitkoka dikemas dalam berbagai bentuk: kopi bubuk
hingga kopi siap minum. Pengunjung juga dapat bersantai di sekitar kebun. Ada
banyak pondok terbuka untuk beristirahat sambil menyaksikan aktivitas rusa
tutul dan rusa jawa. Ada pula kolam renang untuk bermain anak-anak. Yang paling
menarik, sembari berwisata, pengunjung dapat belajar menghasilkan beragam jenis
produk dari kopi dan cokelat. Yang berniat membuka usaha produksi cokelat, bisa
mengikuti kursus singkat di sana. Pecinta kopi bisa mengikuti kelas
pendampingan calon barista atau kelas bagi calon penilai citarasa kopi arabika
(Q Grader) dan robusta (R Grader). Ada pula pelatihan untuk petani yang ingin
membudidaya dan mengolah kopi atau cokelat jadi produk bermutu baik. Di Coco
Park juga ada museum kecil berisi koleksi biji kopi dan kakao dari penjuru
Nusantara. Biji-biji itu dimasukkan dalam toples kaca dan diberi label sesuai
asal dan varietasnya. Di toples itu tersimpan varietas ternama, seperti Arabika
Blue Java, Blue Moon Flores, Arabika Tana Toraja dan sebagainya. Wahyu
Nurdiyanto (39), pengunjung asal Malang, tampak menikmati Coco Park. Di tempat
itu ia bisa mengenalkan keanekaragaman kopi dan kakao Nusantara kepada anaknya.
”Tak terbayangkan sebelumnya bagaimana dan seperti apa kekayaan kopi dan kakao
Indonesia. Di sini saya bisa tahu Indonesia jadi produsen cokelat ketiga di
dunia, dan produsen keempat kopi dunia. Segala macam biji kopi ada di sini,”
katanya. Saat ditemui, Wahyu sedang mengenalkan aroma bubuk cokelat ke anaknya
yang berusia empat tahun. Anaknya pun bersemangat menghirup aroma cokelat dalam
toples kaca.
Mendekatkan iptek
Kehadiran Coco Park merupakan upaya Puslitkoka mendekatkan
dunia ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) pada masyarakat umum. Sejak
berdiri tahun 1911, Puslitkoka dikenal sebagai salah satu pusat penelitian
terbesar di Indonesia. Hal itu membuat Puslitkoka mampu memperoleh dana sendiri
sepenuhnya untuk menjalankan berbagai penelitian. Menurut Misnawi, belakangan
ada kegelisahan para peneliti. Mereka ingin lebih banyak orang tertarik pada
dunia iptek. Untuk itulah Coco Park dibangun. Sejak dibuka September 2016 lalu,
Coco Park mendapat sambutan sangat antusias. Tingkat kunjungan mencapai
rata-rata 10.000 orang per pekan. Menurut Misnawi, kondisi itu sungguh di luar
dugaan. Bahkan, pada hari libur nasional, tingkat kunjungan wisatawan ke Coco
Park bisa mencapai 5.000 orang per hari. Tingginya kunjungan itu menunjukkan
bahwa orang tak ingin sekadar jalan-jalan. Mereka ingin beraktivitas, belajar,
dan mendapatkan ilmu. ”Karena itulah konsep Coco Park dibuat sebagai wisata
edukatif, di mana orang tidak sekadar jalan-jalan dan menikmati alam, tetapi
bisa belajar dan mendapatkan ilmu dengan cara menyenangkan,” katanya. Setelah
lebih dari dua jam berkeliling, perjalanan kami sore itu menjelajah Coco Park
berakhir di gerai suvenir. Di sini, beragam jenis makanan, minuman, kosmetik,
dan oleh-oleh dari bahan kopi dan cokelat tersaji. Coco park seperti halnya
miniatur kebun Nusantara. Kebun ini memasok minuman-minuman terbaik di dunia.
Jadi, tak perlu jauh-jauh ke Eropa untuk menikmati secangkir kopi spesialti
atau sebutir cokelat truffle yang lembut dan manis.[Sumber : Kompas, Selasa, 31
October 2017 | Oleh : IRMA TAMBUNAN DAN SIWI YUNITA C ]



Comments