Menggapai Asa di Tengah Keterbatasan
Mengenakan
jaket pilot kadet milik anaknya, Syahdan Sudjono (46) melepas anaknya, Rizal
Awalludin Adiansyah (20), mengejar masa depan menjadi pilot. Sebuah cita-cita
yang awalnya tak berani dimunculkan di benak anak kuli batu tersebut.
Pengumuman
dari pengeras suara di Stasiun Pasar Turi, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (14/10)
pukul 19.50, menandakan sudah waktunya bagi Rizal masuk ke Kereta Api Argo
Bromo Anggrek tujuan Stasiun Gambir, Jakarta. Seusai mencium tangan ayahnya,
Rizal mendapat pesan untuk berusaha maksimal dalam ujian masuk maskapai
Citilink yang berlangsung pada Senin-Selasa (16-17/10). ”Ingat, Nak, ini
kesempatan yang tidak akan datang dua kali. Manfaatkan kesempatan kamu menjadi
pilot agar bisa mengubah ekonomi keluarga,” ujar Syahdan. Rizal adalah satu
dari lima warga Surabaya dari keluarga kurang mampu yang mendapat beasiswa dari
Pemerintah Kota Surabaya. Selain Rizal, ada Muhammad Iqbal Muttaqin (25),
Muhammad Salman Al Farisy (21), Adyatma Kusuma Wijaya (20), dan Mochammad
Syaifudin (20). Mereka berkesempatan mengikuti pendidikan sekolah pilot di
Balai Pendidikan dan Pelatihan Penerbang (BP3) Banyuwangi, Jatim. Sejak Oktober
2015, mereka dibekali berbagai pelajaran, antara lain teori, simulator, terbang
tanpa penumpang, dan terbang dengan penumpang. Setelah menjalani pendidikan
sekitar dua tahun, mereka mendapat izin untuk menerbangkan pesawat Cessna 172
dan Tobago 10 karena mengantongi jam terbang 180 jam hingga 220 jam. Pada Sabtu
(7/10), mereka dinyatakan lulus. Kelima anak itu mendaftar sebagai pilot di
maskapai Citilink atas saran Pemkot Surabaya. Mereka meminta petunjuk dari
seorang pilot senior, Kapten Budi Hartono, agar bisa diterima bekerja di
Citilink. Pada Jumat (20/10), saat Kompas menghubungi kembali, Iqbal menyatakan
sedang menunggu pengumuman dari Citilink terkait hasil ujian mereka.
Jadi pelayan
Rizal
berasal dari keluarga kurang mampu. Saat Rizal duduk di bangku SMA, ayahnya
bekerja sebagai buruh pabrik kayu dengan penghasilan UMR. Namun, ayahnya kena
PHK pada 2015 dan jadi tukang batu. Untuk mengurangi beban ayahnya, Rizal
diam-diam bekerja paruh waktu di tempat katering dan menjadi pelayan di
restoran. Ia bisa membawa pulang Rp 180.000 per bulan. ”Uang tersebut saya
sisihkan untuk adik-adik,” kata Rizal. Menjelang lulus dari SMA Negeri 19
Surabaya, ia mendapat informasi dari guru
bimbingan
konseling tentang kesempatan mengikuti pendidikan pilot. Ia pun mengirimkan
berkas sembari mendaftar di Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Surabaya
(Unesa). Kabar gembira bahwa dia lolos seleksi masuk BP3 Banyuwangi diterima
saat menjalani hari kedua orientasi studi dan pengenalan kampus di Unesa. Rizal
memutuskan bergabung dengan BP3 dengan harapan bisa mendapatkan penghasilan
lebih baik. ”Awalnya, saya tidak berani bercita-cita menjadi pilot karena
terbentur biaya pendidikan yang mahal,” ujar Rizal. Sementara itu, bagi Iqbal,
beasiswa belajar menjadi pilot bak angin segar untuk mewujudkan cita-cita sejak
kecil. Seperti Rizal, Iqbal juga berasal dari keluarga kurang mampu. Sejak
masuk SMA, dia dan dua adiknya tinggal bersama ibunya karena orangtuanya
bercerai. ”Untuk sekolah, kami dibantu saudara,” katanya. Karena kondisi
ekonomi, cita-cita Iqbal menjadi pilot dikubur dalam-dalam. Setelah lulus SMA
pada 2011, dia mendaftar di sejumlah universitas yang menyediakan beasiswa.
Selama dua tahun, Iqbal mendaftar 12 kali di universitas negeri dan 4 kali
mendaftar menjadi polisi. Namun, usahanya tidak membuahkan hasil. ”Untuk
mendaftar mandiri, saya tidak punya uang,” katanya. Dia lalu bekerja sebagai
penjual panci dan guru les untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Tak lupa setiap
bulan dia menyisihkan untuk tabungan sekitar Rp 1 juta. Ia berencana kuliah
dengan biaya pribadi. Setelah merasa tabungannya cukup, Iqbal mendaftar di
Jurusan Teknik Kimia Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur.
Baru setahun kuliah, Iqbal mendapat informasi dan melamar beasiswa pilot dari
Pemkot Surabaya. ”Saat mendaftar, usia saya 22 tahun 10 bulan, nyaris mendekati
maksimal umur pendaftar 23 tahun,” ujar Iqbal. Tak ingin menyia-nyiakan
kesempatan, Iqbal belajar materi-materi SMA selama dua bulan. Beruntung dia
pernah dua tahun menjadi guru les siswa SMA sehingga beberapa materi masih dia
ingat. Iqbal juga belajar cara menerbangkan pesawat dari Youtube karena dirinya
belum pernah melihat kokpit pesawat. ”Jangan melihat berapa banyak kegagalan,
tetapi berapa kali kita bangkit,” katanya. Menurut Iqbal, hal tersulit untuk
menyelesaikan pendidikan pilot adalah konsisten menjalani pendidikan. Sebab,
mereka dituntut disiplin dan bertanggung jawab karena pekerjaan mereka nantinya
menyangkut keselamatan banyak penumpang.
Angkat derajat keluarga
Kepala Dinas
Sosial Kota Surabaya Supomo mengatakan, Pemkot Surabaya pada awalnya menyediakan
beasiswa pilot untuk 10 warga Surabaya dari keluarga tidak mampu. Namun, dari
sekitar 50 pendaftar, hanya lima orang yang dinilai memenuhi persyaratan.
”Biaya pendidikan selama 20 bulan sebesar Rp 800 juta per orang ditanggung
Pemkot Surabaya,” ujar Supomo. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menyatakan,
setiap tahun Pemkot menganggarkan sekitar Rp 9 miliar untuk beasiswa bagi warga
Surabaya tidak mampu yang hendak melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Mereka
diarahkan mendaftar ke jurusan vokasi. Setelah lulus, penerima beasiswa
dibebaskan untuk memilih pekerjaan sesuai yang diinginkan. ”Keterampilan yang
mereka peroleh bisa menjadi modal untuk bekerja di bidangnya. Mereka harus bisa
mengangkat derajat keluarga,” kata Risma. Risma berharap, beasiswa yang
diberikan kepada siswa kurang mampu bisa memutus rantai kemiskinan keluarga.
Menurut dia, peningkatan pendidikan menjadi salah satu cara agar warganya bisa
memperoleh pekerjaan lebih baik. Pada 2016, tingkat kemiskinan di Surabaya 4,6
persen, turun dari 7 persen pada 2010. Ditargetkan kemiskinan bisa turun
menjadi 2 persen tahun ini. Dalam beberapa kesempatan, Risma selalu
mengingatkan pelajar Surabaya agar tidak takut mengejar cita-citanya. Sebab,
semua orang dari berbagai latar belakang, baik kaya maupun miskin, berhak
mewujudkan cita-cita yang diinginkan sejak kecil. ”Kalau kalian berusaha, pasti
ada jalan. Tidak ada yang tidak mungkin,” kata ibu dari dua anak ini.[Sumber :
Kompas, Sabtu 21 Oct 2017 | Oleh RYAN RINALDY dan IQBAL BASYARI]



Comments