Persembahan Empat Suku

Keempat resep warisan leluhur itu ditampilkan dalam Festival Hasil Bumi 2017 yang digelar Institut Mosintuwu pada 18-19 September di Yosi, Tentena, Poso, Sulawesi Tengah. Terdapat resep warisan leluhur dari suku Mori, Pamona, Bada, dan Napu yang diracik juru masak andalan tiap suku. Dari suku Bada, resep yang disajikan adalah koli, masakan berbahan kulit sapi, dimasak dengan campuran kecombrang dan kelapa parut sangrai. Di Kabupaten Poso yang bergunung-gunung, kecombrang amat mudah ditemukan karena umumnya kecombrang tumbuh di daerah pegunungan. Begitu pula di Lembah Bada yang merupakan wilayah tempat suku Bada berdiam. Kecombrang biasa dimasak sebagai campuran bahan baku utama, seperti ikan, ayam atau bahan lainnya. Kecombrang dikenal dengan nama lokal katimba. Menurut juru masak suku Bada, Hasna Endang dari Desa Pada, koli adalah makanan khas suku Bada yang sudah ada sejak zaman dulu. Koli biasa disajikan di acara pesta atau perayaan suku, dinikmati dengan cara modulu-dulu atau molimbu, makan bersama dalam bentuk lingkaran sehingga tercipta rasa kebersamaan/kekeluargaan, serta saling berbagi rezeki. ”Dulu orang-orang tua di daerah kami di Lembah Bada terisolir dari kota sehingga mereka mengonsumsi kulit sapi. Kulit sapi tahan lama jika disimpan menjadi lauk. Sampai satu minggu,” ujar Endang. Sebelum diolah menjadi koli, kulit sapi dibakar terlebih dahulu hingga hangus, lantas dikeruk hingga kulitnya kemerahan agar lebih cepat lunak saat direbus. Setelah itu kulit dicincang lalu dimasak dengan rempah khusus berupa bawang khas bada bernama bawang tiu yang memiliki perpaduan rasa dan aroma antara bawang putih dan bawang merah, rica (cabai), merica, garam, dan daun bawang. Kecombrang yang menjadi bahan campuran kulit sapi dikupas, diambil bagian dalamnya yang masih muda lalu diiris tipis dan diperas airnya. Setelah itu ditumis bersama kulit sapi, bumbu, dan kelapa sangrai. Koli yang bercita rasa gurih, asam dan pedas ini, kemudian dibungkus menggunakan daun khusus mirip daun pisang yang di Bada disebut daun tawe’. Koli biasa dimakan sebagai teman nasi. Masakan menggunakan kecombrang juga dimiliki suku Napu, yaitu sirobo. Masakan ini, zaman dahulu hanya disajikan bila ada pertemuan antarsuku. ”Dulu sirobo adalah makanan yang sangat mewah,” kata juru masak suku Napu, Rustomini dari Desa Pinedapa. Sirobo ini mirip dengan tinutuan atau bubur manado. Cara memasak dan bahan-bahannya pun mirip. Menggunakan ubi kayu, labu kuning muda lengkap dengan kulitnya, daun dan batang bawang, jagung muda, ujung sambiki atau ujung labu kuning, serta kangkung. ”Ada juga tangkidi, jamur yang hidup di kayu,” kata Rustomini. Sebagai pendamping sirobo, disajikan sayur dari umbut rotan. Yaitu ujung rotan yang dimasak menjadi sayur bening karena di Napu tidak ada kelapa. ”Di Napu, sayuran biasa dimasak kuah bening dengan campuran katimba sehingga ada rasa dan aroma asamnya,” kata Rustomini. Kecombrang ini menjadi bumbu utama dalam masakan di Poso, ibarat bumbu penyedap. ”Dulu juga, kan, hanya garam saja yang disimpan. Gula pun gula merah, termasuk untuk minum kopi karena belum ada gula pasir,” katanya.
Dimasak dengan bambu
Selain penggunaan kecombrang di berbagai jenis masakan khas Poso, teknik memasak menggunakan bambu juga masih banyak ditemui. Antara lain resep dari suku Mori yang menampilkan tiga jenis masakan menggunakan bambu. Menu-menu ini umum disajikan dalam perayaan tanam padi atau upacara panen (padungku). Ada nasi winalu, yaitu nasi yang dimasak di dalam bambu lalu dibungkus menggunakan daun umerah yang berbulu menyerupai daun jati, serta sayur winuho, yaitu sayur masak bambu terdiri dari campuran batang pisang, buah kacang duduk dengan kelapa setengah tua, labu tua, dan ikan gabus. Bumbunya berupa serai, daun kemangi, daun jeruk, bawang merah, dan bawang putih. Sebagai pelengkap, ada lauk berupa ikan solike (ikan berukuran kecil) yang dimasak dengan kecombrang. Masakan-masakan yang dimasak menggunakan bambu itu rata-rata bertekstur lunak, tetapi tidak terlalu lembek. Cita rasanya sederhana, orisinal. ”Untuk nasi winalu, berasnya direndam dulu agar lebih lunak saat dibakar. Kalau tidak direndam bisa tidak matang,” ujar juru masak suku Mori Padoe, Silvia dari Desa Morowali Utara. Begitu pula dengan sayur winuho. Sebelum dimasukkan ke dalam bambu, seluruh bahan dicampur di dalam wadah terpisah, baru dimasukkan ke dalam bambu dan dibakar. Bumbunya bawang putih, garam, batang serai, dan rica untuk yang suka pedas, ”Semuanya dimasak di bambu, tidak ada bahan kimia, tidak pakai minyak. Kalau masak ikan, ikannya juga lebih lunak. Beda kalau dimasak menggunakan belanga. Lain juga rasa dan aromanya,” kata Silvia. Dari suku Pamona, ada ituwu ayam atau ayam dimasak dalam bambu bersama kecombrang, biji rica, bawang merah, dan garam. Tekstur ayamnya lunak, dengan cita rasa bersemu segar. Penggunaan bambu untuk memasak ini, dijelaskan oleh Katrin, juru masak suku Pamona dari Desa Dulumai, dikarenakan orang zaman dulu tidak memiliki belanga. Bambu kemudian menjadi pilihan karena mudah ditemukan di sekitar mereka.
Teknik tinggi
Aktivis kuliner Nusantara, Lisa Virgiano, yang turut hadir di Festival Hasil Bumi 2017 menuturkan, dengan melihat berbagai resep yang disajikan para juru masak dari empat suku di Kabupaten Poso, dapat dikatakan teknik memasak yang dimiliki suku-suku tersebut cukup tinggi. Menurut Lisa, memasak di dalam bambu sangat rumit. ”Kalau di dalam belanga, panci atau wajan, rasanya kurang sedikit masih bisa ditambah. Namun, kalau masak di bambu, rasanya kurang, tidak bisa diperbaiki. Jadi, kita perlu kemampuan luar biasa dalam meramu bumbu sebelum dimasukkan ke dalam bambu. Takaran bumbunya harus pas,” ujarnya. Karena tingkat kesulitan yang tinggi, teknik memasak menggunakan bambu sangat dihargai, termasuk di kalangan internasional. Lisa yang mengelola Restoran Kaum di Jakarta, Bali, dan Hongkong mengatakan, salah satu menu bambu asal Toraja, papiyong, sangat laris di Hongkong meski harga jualnya tinggi, Rp 500.000 per porsi. ”Masakan-masakan seperti ini, apalagi dimasak dengan bahan alami, seperti kecombrang yang merupakan pengganti bubuk penyedap kimia, bisa menjadi daya tarik bagi wisatawan yang datang ke Tentena. Jadi, jangan minder, warisan leluhur perlu kita jaga,” kata Lisa.
Dari atas:
Para juru masak dari suku Mori memasak nasi winalu, sayur winuho dan ikan solike di Festival Hasil Bumi 2017, yang digelar Senin (18/9) di Yosi, Tentena, Poso, Sulawesi Tengah. Persiapan memasak ituwu ayam, yaitu ayam yang dimasak di dalam bambu khas suku Pamona. Ituwu ayam atau ayam yang dimasak di dalam bambu bersama kecombrang dan bumbu lainnya. Ikan gabus sebagai campuran sayur winuho khas suku Mori yang ada di Poso, Sulawesi Tengah. Sayur umbut rotan (kiri) dan sirobo khas suku Napu yang ada di Poso, Sulawesi Tengah. [Sumber : Kompas 15 October 2017 | OLEH DWI AS SETIANINGSIH]



Comments

Popular Posts