Selalu Ada Kejutan di Amsfield
SENANG rasanya berkesempatan bisa menyambangi restoran yang juga menjadi salah satu tujuan wisatawan di Selandia Baru, akhir Mei lalu. Bangunan restorannya sendiri berbentuk bangunan batu dengan ruang dalam yang luas dan langit-langit tinggi, serta dilengkapi tungku perapian penghangat ruangan. Pada musim panas, pelanggan yang datang juga bisa memilih kursi dan meja makan di teras dalam restoran. Saat ditemui, awalnya Chef Eksekutif Vaughan Mabee hanya bersedia memberi sedikit petunjuk tentang hidangan-hidangan apa yang akan dia dan timnya olah untuk disajikan hari itu. ”Saya tak menulis atau mencantumkan menu-menu apa saja yang akan saya buat setiap harinya di daftar menu.
Hidangan yang akan disajikan setiap hari akan menjadi sangat spesial dan mengejutkan. Hal itu juga sangat bergantung pada ketersediaan bahan apa yang bisa kami dapatkan,” ujar Mabee. Menurut Mabee, hal itu memang sesuai dengan filosofi restorannya yang hanya menyajikan hidangan dari bahan-bahan dan bumbu-bumbu segar terbaik, berasal dari area sekitar, mulai dari kawasan hutan dan pegunungan, Danau Hayes dan kota Cromwell, bahkan sampai ke area pantai di ujung paling selatan pulau, pantai Bluff. Ketersediaan beberapa bahan baku tadi juga sangat bergantung pada keadaan musim. Beberapa jenis menu hidangan yang disajikan ada yang hanya bisa ditemukan pada musim tertentu lantaran bahan bakunya memang hanya tumbuh dan tersedia di musim tersebut.
Tak hanya meramu atau mencari dan mengumpulkan bahanbahan makanan dari sumber lokal (foraging) seperti itu, Mabee dan timnya juga menerapkan teknik memasak tradisional masyarakat asli Selandia Baru, suku Maori, dalam beberapa macam menu yang dia sajikan. Teknik foraging seperti itu telah diterapkan sejak restoran berdiri pada 2005 dan juga diajarkan dalam kelas memasak yang digelar Amisfield. Kesempatan mencicipi kuliner unik kali ini merupakan bagian dari program promosi yang digelar otoritas perlancongan ”Negeri Kiwi”, Tourism New Zealand (TNZ), yang mengundang Kompas berkeliling ke beberapa tempat tujuan wisata di kepulauan selatan negara itu. Sajian diawali dengan beberapa macam hidangan pembuka (starter) dalam porsi ”kecil”.
Walau sekali caplok, makanan pembuka ini lumayan memicu selera untuk segera beralih ke menu hidangan utama. Oleh Amisfield, menu-menu starter tadi juga disandingkan dengan segelas anggur putih (white wine) produk sendiri, Amisfield Brut 2014. Beberapa hidangan pembuka itu, antara lain, olahan buah elderberry, sejenis buah beri lokal berwarna ungu gelap. Buah itu terlebih dahulu dibuat menjadi bubur (puree) untuk kemudian dikeringkan menjadi lapisan berbentuk kulit (leather) yang lalu dibentuk selembar daun. Di bagian tengahnya diisi olahan daging hati kelinci dan buah kenari (walnut). Kelinci terkenal memiliki populasi besar dan gampang ditemui di negeri yang konon alamnya tak memiliki binatang buas atau pemangsa itu. Rasanya tentu saja didominasi asam buah elderberry. Selain itu, cara penyajiannya pun terbilang unik, ”daun” puree elderberry dan hati kelinci diletakkan di atas piring besi lebar dan datar bersama beberapa lembar daun dengan bentuk dan warna berbeda, warna-warna khas daun pepohonan pada musim dingin. Daun-daun tambahan itu tentu saja tidak untuk dimakan. Hidangan pembuka berlanjut dengan olahan tumbuhan sejenis tanaman perdu, fat hen (Chenopodium album), yang bisa dan memang biasa dikonsumsi di beberapa negara seperti India dengan nama bathua. Olahan fat hen tadi dibubuhi keju, bawang putih, dan rempah-rempah. Kudapan kecil ini disajikan secara eksotis, dengan menempatkannya di atas potongan kayu tebal berbentuk sendok besar. Setelah itu sajian hidangan pembuka ketiga juga disajikan dengan tak kalah unik, kerang goreng tepung, yang dimasak dengan teknik deep fry, lalu diberi saus mayones yang dibumbui dengan rumput laut. Kerang dan rumput laut yang digunakan berasal dari pantai Bluff, di ujung selatan kepulauan selatan Selandia Baru. Pengolahan daging kerang seperti itu diakui Chef Eksekutif Mabee terpengaruh gaya kuliner kolonial Inggris. Namun, biasanya versi berbahan daging ikan lebih dikenal dan biasa digunakan dengan tambahan kentang goreng (french fries) atau lebih dikenal dengan sebutan menu fish and chips. Uniknya daging kerang goreng tepung itu disajikan di atas batu-batu alami yang banyak terdapat di dasar danau-danau di Selandia Baru, tentu saja sudah terlebih dahulu dibersihkan, lalu dihias juga dengan potongan ranting berdaun dari tanaman hanuka sebagai pemanis.
Menu utama
Setelah puas dengan tiga menu pembuka, yang pastinya mampu ”merangsang” selera dan rasa keingintahuan akan menu-menu utama selanjutnya, Amisfield Bistro Cellar Door seolah tak mau membuang waktu dengan langsung memberi kejutan dengan beberapa menu utama andalan, yang tentunya juga disandingkan dengan anggur-anggur pilihan mereka. Menu kejutan pertama adalah hidangan laut berupa daging ikan biarawan (monk fish), ikan karnivora dari laut dalam, yang walau berpenampilan mengerikan karena memiliki bentuk kepala lebar dan besar serta gigi-gigi tajam, orang banyak mengenalnya lantaran dagingnya yang lezat. Keunikan hidangan utama ini terletak pada cara memasak yang diterapkan sang chef dengan mengadopsi tradisi suku Maori. Masyarakat suku asli ”negeri kiwi” itu biasa menerapkan teknik memasak dan mengukus dengan cara memasukkan bahan-bahan makanan seperti daging, terutama ikan, dan bumbu-bumbu ke dalam ganggang berukuran besar asal pantai Bluff (Bluff kelp). Terlebih dahulu ganggang berukuran besar, yang memang mudah didapat di pantai-pantai Selandia Baru, dibelah bagian tengahnya untuk kemudian dimasukkan irisan (filet) daging monk fish berikut bumbu-bumbu, ditutup, lalu dikukus hingga daging matang dan berwarna putih. Saat disajikan, ”selimut” ganggang kembali dibuka untuk kemudian disajikan di atas piring, setelah terlebih dahulu diberi mentega dan ditaburi remah-remah olahan rumput laut yang terasa gurih. Walau daging ikannya sendiri cenderung tawar saat dicicipi, rasa gurih dari remah olahan rumput laut dan tekstur filet daging ikan yang bersari (juicy) itu sedikit ”memperbaiki keadaan”, apalagi penyajiannya juga disandingkan dengan segelas Amisfield Sauvignon Blanc 2016. Kejutan mengenyangkan lainnya datang dari sajian menu andalan berbahan utama daging rusa( venison) jenis wild fallow yang hidup liar di area pegunungan dan biasa diburu untuk diambil daging, kulit, dan tanduknya. Selain domba, para peternak di Selandia Baru sebetulnya juga memelihara rusa merah di penangkaran mereka yang rata-rata berlahan luas. Semua rusa tersebut, menurut sejarahnya, didatangkan dari luar Selandia Baru, terutama dari Skotlandia, Jerman, atau Perancis. Pada awalnya diyakini untuk memenuhi kebutuhan dari kebiasaan berburu para kaum bangsawan Inggris yang pada pertengahan abad ke-19 mengolonialisasi negeri itu. Menurut Chef Eksekutif Mabee, daging rusa liar ini jauh lebih manis dan beraroma ketimbang jenis rusa merah yang hidup di peternakan. Perbedaan cita rasa daging kedua jenis rusa itu dipercaya lantaran dipengaruhi sumber makanan masing-masing. Jika rusa merah yang dipelihara di peternakan hanya memakan rumput sehingga tekstur dan rasa dagingnya diyakini lebih mirip daging sapi, rusa wild fallow yang hidup liar di pegunungan memakan beragam jenis tanaman yang bisa mereka temukan. Tekstur dagingnya pun cenderung sedikit lebih liat lantaran sang rusa bergerak lebih banyak di area pegunungan yang terjal. Olahan daging rusa liar yang gurih dan manis itu kemudian diperkaya rasanya dengan disiram saus asam terbuat dari campuran jus buah anggur pinot noir dan elderberry, serta ditambah dengan beberapa jenis tumbuhan pangan lokal semacam akar seledri dan daun herba sorrel. Saat dicicipi, rasa gurih dan crispy lapisan luar daging berpadu dengan keempukan serat daging bagian dalamnya, ditambah lagi dengan aroma khas yang sangat berbeda jika dibandingkan dengan daging sapi ataupun domba. Tak cuma itu, sang chef juga memadukan hidangan eksotis daging rusa liar itu dengan segelas anggur Amisfield RKV 2013. Sebagai penutup perjamuan, pengunjung bisa memesan sari buah feijoa, buah serupa jambu batu, tetapi tak berbiji dan daging buahnya kenyal seperti jeli, terasa asam dan manis. Sebagian orang menyebutnya mirip rasa nanas. Buah eksotis ini berasal dari ”Negeri Samba”, Brasil. Sari buah feijoa itu diolah menjadi semacam busa putih seperti kocokan putih telur serta olahan daging buah berasa manis dan asam segar. Feijoa menjadi penutup manis rangkaian kejutan di Amisfield.[Sumber:Kompas, Minggu 9 Juli| 2017 |OLEH : WISNU DEWABRATA]
Comments