Turmi, Keras nan Indah
Berkunjung ke Etiopia ibarat penjelajahan tiada henti. Negara di tanduk Benua Afrika ini memang tak lagi menjadi daerah gelap yang tak terpetakan. Namun, selalu ada kejutan kala menapaki tiap jengkal tanahnya, selalu ada hal-hal tak terduga, yang membuat perjalanan lebih mengesankan dan pantas dicatat.
Kejutan itu antara lain internet yang dimatikan di seluruh negeri, sulitnya mencari toilet umum, dan perjumpaan dengan suku asli Etiopia dengan perempuan-perempuan yang masih bertelanjang dada. Bersama rombongan wartawan serta perwakilan biro wisata dari Asia, Amerika, Eropa, dan Afrika, kami diundang oleh Ethiopian Tourism Organization untuk berkeliling menyaksikan keunikan Etiopia selama lebih kurang 12 hari, 25 Mei-5 Juni. Memasuki Etiopia, seolah kita tersedot ke lorong waktu karena bangsa Etiopia memakai kalender Julian yang tujuh tahun lebih lambat sehingga seolah usia kita menjadi lebih muda tujuh tahun. Menginjakkan kaki pertama kali di Bandara Addis Ababa,
Kamis (25/5), tak ada jaringan internet gratis yang bisa diakses selama di bandar udara. Jaringan internet kemudian malah dimatikan secara massal di seantero negeri selama satu pekan demi menghindari bocornya ujian nasional. Ketika menukarkan mata uang dollar ke pecahan mata uang lokal birr, kami terenyak menyaksikan lembar demi lembar uang yang superdekil. Warna putih pada lembaran uang umumnya sudah berganti menjadi coklat atau kekuningan dengan beberapa luka sobekan di beberapa bagian. Perjumpaan dengan Etiopia semakin mencengangkan ketika mengunjungi wilayah bagian selatan. Daerah-daerah di selatan Etiopia menjadi rumah bagi banyak suku lokal. Dari ibu kota Addis Ababa, serunya perjalanan ke selatan diawali dengan penerbangan menuju kota Arba Minch.
Sepanjang perjalanan lebih kurang satu jam menggunakan pesawat berbaling-baling milik Ethiopian Airlines, penumpang disuguhi pandangan atas dari alam yang terlihat sangat hijau dengan pemandangan bukit dan danau. Singgah semalam di Arba Minch dan berkeliling menikmati keindahan Danau Chamo yang menjadi rumah bagi buaya dan kuda nil, perjalanan yang sesungguhnya baru dimulai melalui jalur darat selama tujuh jam dari Arba Minch menuju Turmi. Jika menempuh perjalanan darat dengan berkendara mobil, sebaiknya Anda juga mengatur ritme buang air karena hampir tidak ada toilet umum yang bisa dijumpai. Tempat pengisian bahan bakar pun tak menyediakan toilet umum. Jika sudah kebelet, wisatawan terpaksa harus menggunakan layanan luar ruang alias berkemih di tepi jalan.
Kepercayaan leluhur
Perjalanan panjang itu tak lagi terasa melelahkan ketika tiba di Turmi. Atmosfer kehidupan seolah berpindah ke masa silam pada masa manusia belum bersentuhan dengan teknologi modern. Kota Turmi menjadi rumah yang mewadahi banyak suku, seperti Amhara, Hamer, Goffa, Gamo, dan Oromo, yang masih mempertahankan cara hidup tradisional. Memasuki kawasan Turmi, iring-iringan warga suku asli Etiopia dengan mudah dijumpai di sepanjang jalan. Umumnya, mereka berjalan dari atau menuju pasar dengan membawa sangat banyak barang bawaan.
Keranjang belanja yang mereka pakai unik karena terbuat dari labu yang diiris. Mereka berjalan tanpa alas kaki dan membawa bekal air minum dengan memakai bekas botol air minum kemasan. Identitas gadis-gadis dari suku lokal bisa dikenali dengan mudah karena mereka umumnya tidak memakai penutup dada dan menghias diri dengan memakai banyak sekali kalung manik-manik serta gelang dari logam berwarna emas. Sebagian perempuan berhias dengan memakai rompi yang dibuat dari kulit domba. Rambut para perempuan ini dikepang kecil-kecil, tampak sangat cocok dengan garis tulang wajah mereka yang tegas. Di wilayah pedesaan Turmi jangan sembarangan memotret. Memotret berarti harus membayar uang. Biasanya mereka menetapkan 5 birr (1 birr setara dengan Rp 600) untuk satu kali jepret. Menyiapkan banyak pecahan 5 birr bisa menjadi solusi bijaksana karena akan sulit menahan diri untuk tidak menjepretkan kamera begitu menyaksikan cara hidup penduduk yang masih sangat tradisional yang dilingkupi alam yang terlihat keras sekaligus indah. Salah satu perkampungan yang kami kunjungi dengan membayar 200 birr per orang adalah rumah suku lokal Hamer atau Hamar yang masih menerapkan cara hidup warisan leluhur di lembah subur Sungai Omo. Memasuki Desa Hamer, pemimpin suku atau sada segera menyambut dan mempersilakan tamu menjelajahi desa. Ia menunjukkan rumah dari istri pertama dan istri keduanya yang terpisah bangunan. Rumah mereka terbuat dari potongan ranting dan lumpur berbentuk lingkaran.
Tanda kedewasaan
Sebuah rumah tampak mencolok karena terdapat kayu pancang yang diwarnai merah. Rupanya, gadis penghuni rumah itu sedang berada dalam masa pingitan selama enam bulan dengan sekujur tubuh dilumuri warna merah sebelum melangkah ke pelaminan. Istri pertama ditandai dengan memakai perhiasan dua kalung, istri kedua memakai hanya satu kalung, sedangkan istri ketiga dan seterusnya sama sekali tidak memakai kalung yang terbuat dari kayu. Perkampungan ini dikenal, antara lain, karena tradisi melom- pati kerbau yang harus dijalani seorang anak laki-laki ketika akan menikah. Mempelai pria harus membayar mahar 30 kambing. Karena sedang tidak ada pernikahan, warga suku Hamer mempertontonkan tarian muda-mudi ketika sedang mencari pasangan, yang disebut tari evangadi, dengan membayar 300 birr per orang. Dalam tarian ini, para gadis menari, sedangkan pria meloncat-loncat setinggi-tingginya demi menarik perhatian para gadis. Dalam perjalanan pulang kembali ke Arba Minch, kami menjumpai dua suku lokal lainnya, yaitu suku Konso dan suku Dorze. Konso bermakna orang-orang yang tinggal di perbukitan, sedangkan Dorze berarti suku penganyam. Warga suku Konso juga memberlakukan aturan khusus sebagai tanda kedewasaan. Seorang pemuda harus mampu mengangkat batu besar agar bisa melangkah ke jenjang pernikahan.
Banyak aturan yang berlaku di suku Konso—yang permukimannya telah ditetapkan sebagai warisan dunia oleh UNESCO—seperti aturan dilarang merokok di kawasan desa. Setiap rumah yang berbentuk lingkaran dipagari dengan teras berdinding batu, disusun menyerupai labirin. Setiap keluarga menanam 7-8 batang pohon moringa atau kelor yang dipercaya memiliki banyak sekali khasiat penyembuhan penyakit. Desa suku Konso sangat tertata dan memiliki belasan bangunan yang disebut rumah komunitas. Di rumah komunitas ini, anak laki-laki harus tidur terpisah dari keluarganya setelah usia 12 tahun. Rumah ini juga menjadi rumah tamu untuk tamu laki-laki. Tamu perempuan biasanya diterima di dalam rumah keluarga. Bagian kolong rumah komunitas ini menjadi area bermain anak-anak.
Biasanya mereka memainkan permainan serupa permainan congklak meng- gunakan dakon. Warga Konso juga punya kebiasaan duduk berunding melingkar, lalu bernegosiasi sebelum memecahkan masalah bersama. Mereka bahkan memiliki ruang sumpah. Pelaku kejahatan diminta bersumpah di ruang tersebut. Jika tidak mengatakan yang benar, keluarganya akan mendapat celaka. ”Dulu, hukumannya adalah dikubur hidup-hidup jika membunuh. Sekarang diserahkan ke penjara, lalu keluarganya diminta meninggalkan desa dan seluruh harta dibakar,” tutur Kashale Yohannes Sugo, warga Konso. Di tengah Desa Konso terdapat kayu-kayu panjang yang diikat sebagai penanda umur desa. Satu batang kayu melambangkan 18 tahun. Dari jumlah kayu generasi tersebut, dapat diketahui bahwa desa yang kami kunjungi sudah berusia 800 tahun. Dari desa-desa tua di pedalaman Etiopia, kita bisa belajar tentang kearifan lokal dan harmoni hidup dengan alam yang keras.[Sumber : Kompas 23 Juli 2017 |OLEH MAWAR KUSUMA]
Comments