Biyan "Humba Hammu" Jembatan Cinta Sumbawa
ALUNAN musik dari jungga yang dipetik jari-jari Pura Tanya memenuhi ruang udara petang, pertengahan November lalu. Di tengah pelataran Hotel The Dharmawangsa Jakarta telah berdiri semacam pendopo yang merepresentasikan rumah tradisional Sumba sebagai ruang para model memeragakan koleksi Humba Hammu. Nyanyian, teriakan, dan tarian para penenun membawa hadirin semakin larut dalam suasana padang savana Sumba.
”Buat saya, kain Sumba itu sangat precious, berharga. (Kain) itu saya rasa hanya bisa dibuat di Sumba. Tidak ada satu pun bahan yang dibuat sama dengan yang lain. Setiap lembarnya begitu individual dan spesial,” katanya.
Berawal dari kerja sama Biyan dengan arsitek Yori Antar yang melestarikan rumah tradisional di Sumba, lahir rumah tenun Atma Hondu di Waikabubak. Dari dinamika di rumah tenun itu, Biyan mendapati banyak cerita yang ujungnya serupa: kekhawatiran akan kian surutnya minat generasi muda untuk terlibat dalam penciptaan kain berharga ini.
Biyan teringat pengalamannya beberapa kali berkunjung ke sejumlah daerah di Sumba, seperti Kambera dan Kanatang. ”Ketika kami sedang jalan di suatu daerah, tiba-tiba di suatu bukit yang tak terduga, terlihat sebuah gubuk. Di bawahnya yang tampak hanya warna terakota. Ternyata ada seorang ibu yang sedang menenun. Itu personal sekali,” ujarnya.
Dia juga bertemu dengan para artisan, ibu-ibu penenun itu, yang pengalamannya minimal 20 tahun dalam mengerjakan karyanya. Setiap hari mereka melakukan keahliannya. Lembarlembar tenun ikat itu dikerjakan bersama oleh beberapa orang dengan spesialisasi masing-masing. Ada yang khusus mengerjakan pemintalan benang, pencelupan, pembuatan motif, dan penenun.
Semua serba teliti dan cermat. Hasilnya tak menipu prosesnya. Para hadirin peragaan busana Biyan tak hanya berdecak kagum, tetapi antusias demi melihat, memegang, dan mencoba mengepas Humba Hammu karya Biyan Wanaatmadja dalam peragaan busana di Hotel The Dharmawangsa, Jakarta Selatan, Rabu (15/11). lembar-lembar kain itu pada tubuh mereka. Biyan sengaja menghadirkan kain-kain tenun karya para ibu-ibu di samping acara peragaan busana agar para perajin bertemu dengan dunia lebih luas di luar mereka dan agar warga Ibu Kota yang belum pernah mengenal bisa melihat langsung karya luar biasa itu. Sayang sekali jika semua itu nanti hilang.
Tanpa batas
Koleksi Humba Hammu menghadirkan sekitar 80 tampilan (look) sebagai bentuk eksplorasi seluas mungkin terhadap penggunaan tenun ikat Sumba. Biyan menjadikan kain itu sebagai bahan dasar gaun panjang atau kemeja yang diolah bersama material lain melalui teknik patchwork, ciri khasnya. ”Kain itu bisa dipakai seutuhnya, dipadu-padan dengan modern pieces, atau dijadikan bagian dari bentuk busana modern. Ketika kita tahu bagaimana mengaplikasikan kain itu, mengeksplorasinya dengan berani dan bebas, hasilnya adalah kreasi tanpa batas,” ujar Biyan.
Dia menambahkan, kain tenun ikat Sumba memiliki karakteristik rustic. Kainnya pun terlihat kaku dan berat. Untuk itu, Biyan memadukan dengan material lain yang teksturnya kontras. Tenun ikat itu bisa harmonis berpadu dengan bahan ringan, seperti silk lame, jacquard, dan katun. Kesan anggun dan mewah terlihat dari padu padan material tersebut.
Potongan yang longgar dibuat untuk busana wanita, dari atasan berupa blus atau tunik, gaun panjang bersiluet A, juga luaran (outwear) dan jaket panjang (coat). Motif kain yang kontras terlihat serasi karena nada warna yang serupa, seperti merah, coklat, tembaga, terakota, indigo, juga keemasan. Warna natural karena dibuat dari pewarna alam, seperti mengkudu, lumpur, kayu, dan nila.
Biyan memberi sentuhan detail berupa bordir, beading atau manik-manik, fringe atau rumbai-rumbai, serta sulaman kerang dan tulang. Kain utuh bisa dimanfaatkan untuk bawahan, menjadi semacam sarung atau rok. Kain juga dimanfaatkan sebagai selendang yang tersampir di salah satu pundak atau diberi lubang di bagian lengan sehingga menjadi semacam luaran.
Motif khas Sumba sangat menonjol dalam setiap busana. Ada motif bunga, binatang, dan manusia, baik berdiri sendiri maupun saling melengkapi, dalam nuansa tradisional-modern yang glamor. Tak ketinggalan tentu kain pahikung yang rumit pengerjaannya. Biyan juga menggarap motif yang terinspirasi dari motif kain Sumba lalu dituangkan dalam teknik sulam (embroidery).
”Teknik memotongnya harus tahu agar hasilnya tepat. Orang sering bertanya-tanya, ini kain mau diapain, ya, kaku dan berat. Setelah tahu, ternyata tidak sekaku dan seberat itu kok,” kata Biyan.
Tak ternilai
Lewat Humba Hammu, Biyan juga meneruskan kekhawatiran yang dirasakannya terhadap kemungkinan hilangnya keindahan dari surga kecil di timur itu. Di tengah ritme dunia yang kian hari kian cepat dan mengandalkan teknologi canggih, termasuk dalam dunia pertekstilan dan mode, hasil kerja dengan tangan sungguh sesuatu yang tak ternilai harganya.
Memberi tempat bagi karya tangan itu untuk lahir tak terelakkan. Di tempat itulah akan muncul pengakuan bahwa karya itu berharga dan layak dipertahankan, terutama oleh generasi muda, penerus ibu-ibu penenun. Di tempat itu pula mereka bisa bertemu, berinteraksi, berkomunikasi, dan tentu saja menenun.
”Ada tempat untuk datang dan pulang. Dari kerja sendiri menjadi kerja bersama. Orang dari luar Sumba bisa datang. Dari situ, saya berharap kita semua bisa jatuh cinta,” ujar Biyan.[Sumber:Kompas,Minggu,3 December 2017|OLEH: FRANSISCA ROMANA NINIK]
Comments