Cerita Fam dari Para Mama

TAK lama, kami berpindah kapal. Kamis (9/11), kami berkesempatan bertemu dengna timp patrol Kepulauan Fam ini. Sehari hari pertama meninginjakkan kaki di kawsan Raja Ampat, kami selalu mencari tahu jadwal tim patrol berlangsung. Namun, tidak pernah mendapat jawaban pasti.l jadwal tim patrol memang hanya diketahui oleh anggotanya. Tak pernah ada jadwal rutin, agar tidak “terendus” pihak lain, terutama para nelayan yang sering memancing ikan di wilayah perairan konservasi.
“Yang jelas kami berpatroli sebanyak delapan hari dalam sebulan. Setiap kali patrol, tim terdiri atas 10 orang. Anggota tetapnya ada emapt orang, enam orang lain itu punya jadwal giliran yagn teridir atas para mama dari tiga kampung di (kepulauan) FA mini,” terang Ketua Tim patrol Daud Dimara dari Kampung Saukabu, Kepulauan Fam. Tiga kampung yang dimaksud adalah Pam, Saukabu, dan Saupapir.
Bukan hanya jadwal, rute patrol pun tak pernah sama sehingga tidak bisa ditebak. Kadang, mereka bisa berpatroli hingga mencapai Pulau Bambu yang waktu tempuhnya 6; jam dari Kepulauan Fam.
“Wilayah itu yang paling sering jadi incaran nelayan-nelayan, terutama dari negara tetangga. Mereka juga masih sering pakai bahan-bahan peledak untuk menangkap ikan. Kalau ketemu dengan kapal-kapal nelayan itu, kami akan beri teguran terlebih dahulu. Kadang, jika memang idrasa pelru, kami giring kapal itu hingga keluar dari wilayah Pulau Bambu,” cerita DAu lagi.
Diikutsertakannya para mama juga bukan tanpa alasan. Para mama dianggap lebih mapu menegur dengan halus, dengan senyuman, dan  tanpa membuat orang lain merasa terseinggung. Seperti pada siang itu, rute patrol langsung menuju Playnema. Inilah obyek wisata yang laris diserbu setiap wisatawan terkat keindahan gugusan pulau karst yang terlihat begitu cantik saat dari ketinggian. Bukit Piaynemo.
Sesuai prosedur standar, tim patrol memeriksa Kartu Jasa Lingkungan (KJL) yang wajib dimiliki setiap wisatawan untuk memasuki kawasan Raja Ampat. Jika kedapatan tiak memiliki, tim patrol akan mencatat nama operator dan wisatawan serta memberi teguran keras.

Basis komunitas

Tim patrol Kepulauan Fam ini mulai beroperasi sejak pertengahan tahun lalu. Hal ini didorong kesadaran masyarakat yang kian lama kian sulit mencari ikna sebagai konsumsi harian. “Setelah ada patrol, sekarang ikan mulai datang. Tidak susah lagi cari ikan,” ujar Mama Merlin dari Kampung Pam, yang mendapat giliran ikut tim patrol hari itu.
Timp patrol mendapat bantuan dan dukungan penuh dari Conservation International (CI) Indonesia. Pada  Februari 2017, masayarakat adat Kepulauan Fam pun mendeklarasikan wilayahnya sebagai kawsan konservasi laut. Deklarasi ini secara resmi melindungi kawasan dari berbagai tindakan dan penangkapan ikan secara liar atau illegal, serta memasukkannya menjadi bagian kawasan konservasi laut Raja Ampat seluasa 360 ribu hektar yang sudah dikukuhkan sebelumnya.
Kawasan konservasi dikelola masyarakat dengna membaginya ke dalam dua zona, yakni zona pemanfaatan tanpa penangkpan ikan di sekitar gugusan kepulauan Playnemo dan Pulau Bambu; danzona yang dimanfaatkan sebagai wilayah penangkapan ikan tanpa menggunakan peralatan yang merusak serta dikelola secara tradisional.
Memiliki Playnemo sebagai jantung pariwisata di Kepulauan Fam juga menjadikan warga kampung sekitar kian sadar kepariwisataan. Playnemo yang selalu sarat pengunjung menjadi etalase  kekayaan alam pulau-pulau di sekitarnya. Tepat di tepi dermaga Playnemo berbagai produk dijajakan para mama dari pulau-pulau sekitar.
Maknan kecil dan air kelapa murni selalu laris diserbu pengunjung yang baru saja melewati ratusan anak tangga menuju Bukit Playnemo. Namun, ada produk yang dianggap khas dari Kepulauan Fam, yang bisa menjadi souvenir wisatawan, yakni sabun alami dan minyak kealpa murni (VCO).
Memanfaatkan pohon kelapa yang banyak tumbuh di wilayah Pam dan Saukabu, apra mama di kampung setempat mengolahnya menjadi produk-produk baru di luar kopra. Di Kampung Fam, proses pembuatan sabun ini telah berlangsung sejak Agustu 2016. Kelompok pembuat sabun menggunakan minyak kelapa murni dan beberapa bahan tambahan seperti pewangi utnuk meracik sabun. Baru-baru ini, mereka juga mengembangkan sabun dengan sereh/serai dan jeruk nipis. Di Saukabu, produk VCO dihasilkan dengan menggunakan ari suling sehingga higienitasnya terjamin.
Usaha pembuatan sabun alami dan produk VCO ini pun telah menunjukkan peningkatan nilai ekonomi. Data CI menyebtukan ,sebagai perbandingan 100 buti kelapa menghasilkan 20 kg kopra dengan harga Ro.5000 per kg. dari jumlah keapa yang sama, dapat dihasilkan 2.200 ml VCO dengan total nilai Rp 2,2 juta.
Peningkatan nilai ekonomi yang sama juga tampak pada pengolahan kelapa menjadi sabun alami di Kampung Pam. Sebanyak 200 butir kelapa dapat diolah menjadi 65 batang sabun dengan total nilai Rp 1,95 juta. Produk sabun maupunVCO ini pun tidak hanya dipasarkan di Playnemo, taapi jgua di Waisai dan Sorong dengan bantuan CI.
Inisiatif-inisiatif berbasis komunitas ini lahir seiiring meledaknya industry pariwisata di Raja Ampat. Tak hanay menjadi cara untuk melindungi dan melestarikan wilayah adatnya, warga Kepulauan Fam juga memberdayakan diri secara ekonomi. Keterlibatan perempuan yang demikian tinggi dalam konservasi ini kiranya menjadi inspirasi di setiap destinasi [Sumber:Kompas,Rabu,29 November 2017|oleh:


Comments

Popular Posts