Dari Lumbung TKI Jadi Sentra Sapi
Peternak memberikan pakan kepada sapi di kandang Kelompok
Tani Tunggal Rasa di Desa Majasari, Kecamatan Sliyeg, Kabupaten Indramayu, Jawa
Barat, Minggu (12/11). Peternak setempat mengeluhkan sulitnya memasarkan pupuk
organik yang dibuat dari kotoran ternak sapi. Padahal, sebagai lumbung padi
nasional, Indramayu berpotensi menjadi sumber pakan ternak sekaligus pasar
untuk pupuk organik.
Desa Majasari, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, pernah
mengalami masa yang memprihatinkan. Desa ini beberapa tahun silam sempat
ditinggalkan banyak warganya. Itu karena kemiskinan terus menggerogoti mereka.
Namun, dalam empat tahun terakhir, inovasi pemerintah desa membawa mereka
pulang.
Minggu (12/11) siang, Karen (51), warga Majasari, sibuk
memberi jerami kepada tiga ekor sapi miliknya. Sesekali, ia mengelilingi
kandang memastikan kondisi kesehatan 24 ekor sapi lainnya tetap terjaga. Dari
24 ekor sapi dalam kandang itu, 21 sapi lainnya itu milik anggota Kelompok Tani
Tunggal Rasa di Majasari, Kecamatan Sliyeg, yang ikut dipelihara bersama. Sapi
menjadi ”bahan bakar” bagi Karen dan keluarganya untuk bertahan hidup. Saat
butuh uang, Karen bisa menjualnya. Sapi dari umur lima bulan hingga lebih
setahun laku dijual dengan harga minimal Rp 5 juta per ekor. Pemasaran tidak
lagi jadi soal. Majasari belakangan dikenal sebagai sentra peternak sapi.
Selama tiga tahun terakhir, Karen telah mengembalikan satu induk sapi ke
kelompok, menjual enam ekor sapi, dan masih memelihara tiga ekor. Akan tetapi,
sapi tidak hanya memberi Karen rupiah. Sapi jadi jembatan dia bisa berkumpul
lagi dengan istrinya. Usaha ternak sapi mampu meyakinkan istrinya untuk tak
pergi lagi ke Timur Tengah menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI). Sriah (44),
istri Karen, juga sebenarnya tak ingin meninggalkan Indramayu. Namun, ia
terpaksa menjalaninya. Impitan ekonomi jadi penyebab utama. Minim kesempatan
bekerja di rumah membuat pilihan jadi TKI lazim terjadi di Majasari. Keputusan
itu diambil Sriah setelah Karen gagal usaha. Dia tak berhasil jadi tukang becak
di Jakarta. Pulang kampung pun, tak membuatnya lantas bahagia. Menggarap sawah
milik orang lain, hasilnya pun tidak memadai. Serangan hama dan kondisi cuaca
membuat hasil panen kadang tidak seimbang dengan biaya produksi. Bahkan,
pilihannya jadi kuli bangunan juga tak berhasil. Tenaganya tak dibutuhkan
setiap hari. ”Hidup saya susah. Salah satu anak saya tidak melanjutkan ke SMA
karena tidak ada biaya,” ujarnya. Bayangan anaknya bakal hidup susah seperti
dirinya kerap terlintas.
Memulai inovasi
Harapan datang saat Kepala Desa Majasari Wartono berinovasi.
Salah satunya membangun peternakan sapi pada 2013. Saat itu, Majasari mendapat
bantuan 32 ekor sapi bunting dari Kementerian Pertanian. Wartono
memprioritaskan keluarga buruh migran untuk memelihara sapi itu. Syaratnya,
warga serius beternak sapi dan iuran Rp 2 juta-Rp 3 juta per ekor per orang
untuk membangun kandang komunal. Warga juga diminta ikut dalam Kelompok Tani
Tunggal Rasa untuk memudahkan pelatihan beternak. Jika sapi beranak, induknya
harus dikembalikan ke kelompok untuk ditawarkan kepada warga lainnya yang ingin
mengembangbiakkan sapi. Program itu melengkapi inovasi Wartono memberdayakan
keluarga mantan TKI. Sebelumnya, Desa Majasari menerbitkan Peraturan Desa Nomor
3 Tahun 2012 tentang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Asal Desa Majasari.
Isinya, antara lain, mewajibkan pihak sponsor atau perekrut calon TKI, pemberi
izin calon TKI, dan calon TKI melapor ke desa. Bagi purna-TKI, disediakan
beragam kelompok usaha. Ketua Kelompok Tani Tunggal Rasa Slamet Setiyadi
mengisahkan, pada awal program, hanya ada 32 sapi yang dipelihara 17 keluarga
migran. Lima tahun kemudian, 29 keluarga memelihara 113 ekor, termasuk 29 sapi
betina yang bunting. Bahkan, jumlah ternak sempat lebih dari 200 ekor sebelum
dijual untuk memenuhi permintaan kurban tahun ini. Sapi beragam jenis, seperti
peranakan ongole dan limosin. Peternak juga mengembangkan pupuk organik dari
kotoran sapi. Pakan juga didapat dari jerami yang difermentasi. ”Ada 8 ton
sampai 10 ton jerami yang bisa dipakai untuk enam bulan ke depan,” ujar Slamet.
Hasilnya nyata dan memicu sejahtera. Tahun lalu, Desa Majasari bisa menjual
daging sapi Rp 80.000 per kilogram, jauh di bawah harga pasaran, sekitar Rp
120.000 per kilogram. Daging itu hanya dijual di lingkungan desa. Sebuah
kemandirian warga desa yang tidak punya sejarah ternak sapi dan luas sawah
hanya 201 hektar. Pengakuan pun berdatangan. Selain pejabat daerah setempat,
akademisi dari Universitas Wiralodra Indramayu, bahkan Institut Teknologi Bandung,
pernah belajar ke desa yang berjarak 16,5 kilometer dari Kantor Bupati
Indramayu itu. Mereka ingin tahu resep pesat perkembangan usaha ternak sapi di
desa tersebut.
Menjadi guru
Ternak sapi Majasari juga telah diganjar berbagai
penghargaan. Beberapa di antaranya juara 1 Kontes Sapi Indukan Indramayu 2017,
Pembibitan Terbaik Tingkat Jabar 2017, dan terbaru ialah Adhikarya Pangan
Nusantara kategori Pembinaan Ketahanan Pangan. Penghargaan itu melengkapi
anugerah sebagai Desa Terbaik Tingkat Nasional 2016 untuk regional Jawa-Bali.
Terlepas dari berbagai penghargaan yang diraih para peternak, menurut Slamet,
kebahagiaan memelihara sapi ialah memulangkan istrinya. Rasitem (40), istri
Slamet, tidak lagi ke Qatar sebagai TKI. ”Saya dan keluarga tadinya dihidupi istri.
Sekarang, saya yang menghidupi keluarga. Anak saya juga sudah kuliah,” ujar
Slamet yang kini memelihara 16 ekor sapi. Ke depan, Wartono berharap Majasari
terus jadi daerah pemasok daging sapi di Indramayu. Salah satunya, mendorong
lebih banyak warga memelihara sapi, memanfaatkan kemudahan penjualan dan nama
besar desa. Potensinya sangat besar. Setiap tahun, Indramayu membutuhkan lebih
dari 11.000 ekor sapi. Namun, peternak hanya mampu menyediakan 20 persen dari
kebutuhan itu. ”Pelaksanaan inovasi membuktikan kerja sama kuat antara warga
dan pemerintah. Kerja sama itu bisa berhasil apabila dikelola dengan baik,”
kata Wartono, yang pernah ditinggalkan istrinya merantau jadi TKI. Majasari
perlahan jadi guru. Dia memberi pelajaran bagaimana desa dikelola untuk
sejahtera dan bahagia warga. Pemeliharaan sapi jadi secuil contohnya. Tidak
hanya jadi sumber penghasilan, tetapi merekatkan kembali ikatan keluarga buruh
migran yang sempat hilang.[Sumber : Kompas, Senin 20 November 2017 | Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI]
Comments