Kawasan Pecinan yang Merana

Mendung menggantung ketika kaki menapaki Jalan Kelenteng, Kota Bogor, Kamis pekan lalu. Gelapnya langit seakan mewakili nasib bekas Hotel Pasar Baroe di jalan itu. Dibanding 10 tahun lalu, hotel itu kini semakin merana. Fisik bangunannya mungkin tinggal sepertiga, angat rapuh dan siap ambruk.
Tidak terlihat lagi ubin atau marmer segi delapan lantai hotel ini. Yang terlihat di halaman depan justru tumpukan aneka sampah nan bau. Juga tumpukan karung berisi barang bekas. ”Pemilik hotel adalah empat bersaudara Lim, sudah meninggal. Yang terakhir meninggal 2-3 tahun lalu. Kalau anak-cucunya, tidak tahu tinggal di mana. Bangunan bekas hotel itu jadi tak terurus. Enggak tahu siapa yang kasih izin jadi tempat pengepulan barang bekas,” kata Kusuma (54) dari Wihara Dhanagun. Dulu, Lim bersaudara pernah terlihat di wihara ini. Hotel Pasar Baroe adalah hotel yang dibangun sezaman dengan Hotel Binnenhof, yang kini bernama Hotel Salak. Kalau Binnenhof khusus untuk tamu-tamu warga Eropa atau pemerintah kolonial, Hotel Pasar Baroe untuk tamu-tamu golongan Vreemde Oosterlingen atau Bumiputra dan Timur Asing. Konon, tokoh utama Sarekat Priyayi, RM Tirto Adhi Soerjo, pernah menginap di sana. Kusuma, yang dari kecil tinggal di kawasan permukiman pecinan Kota Bogor ini, masih ingat keindahan Hotel Pasar Baroe, juga bangunan tua ruko-ruko warga Tionghoa di kawasan pecinan Kota Bogor ini. ”Dulu sempat jadi asrama tentara Auri,” katanya tentang hotel itu. Ia juga ingat bangunan bekas tangsi Belanda, berikut fasilitas istalnya, tempat ia dan temanteman bermain. Di tengahtengahnya ada lapangan yang jadi pasar lama. Sekarang, tidak ada sisanya karena menjadi Bogor Plaza.
Bentukan Belanda
Kawasan pecinan yang secara administratif masuk Kelurahan Babakan Pasar dan Kelurahan Gudang, Kecamatan Bogor Tengah, ini adalah bentukan Belanda dengan surat keputusannya pada 6 Juli 1845. Di surat itu, kata Dewi Djukardi, pengamat dan peneliti bangunan cagar budaya dari Roemah Kahoeripan Bogor, pemerintah kolonial memutuskan permukiman warga Tionghoa di sepanjang Jalan Handelstraat. Oleh Presiden RI Soekarno, jalan ini dinamai Jalan Perniagaan, pada pertengahan 1960-an. Adapun Pemerintah Kota Bogor menamai Jalan Suryakencana pada 1970-an. Sejak lima tahun terakhir, namanya menjadi Jalan Suryakancana. Panjang jalan ini 300-400 meter, dari Gerbang Lawang Suryakancana yang diresmikan Pemkot Bogor pada Februari 2016 sampai simpang Jalan Roda-Gang Aut-Jalan Siliwangi. Seperti bekas Hotel Pasar Baroe, kondisi bangunan tua di Suryakancana lebih banyak yang tidak terurus walaupun Pemkot Bogor berniat menjadikan kawasan ini sebagai tujuan wisata. ”Tidak ada bantuan dari pemerintah. Malah PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) naik dari Rp 900.000 sekarang Rp 2 juta, karena jalanan dibeton,” kata Ny Diana (72), yang menempati rumah bekas Kapiten Lie Beng Hok di Jalan Kelenteng. Satu-dua bangunan ikon kawasan pecinan itu malah sudah lenyap, seperti rumah Kapiten An Tjoen Tjiang, sekolah Tionghoa Hwa Gong dan Tjen Tjoen, bekas kantor Hoakiaw, serta Gedong Dalem.
Pemilihan lokasi

Belum bisa dipastikan mengapa lokasi itu dipilih pemerintah kolonial menjadi kawasan pecinan. ”Latar belakangnya belum ada data atau informasi tertulis. Semua baru asumsi-asumsi, berdasarkan data tidak langsung dan foto-foto lama,” kata Mardi Liem, pengamat Kota Pusaka Bogor, yang bermukim di situ sejak lahir. Yang pasti, di ujung utara Handelstraat saat itu sudah ada Kelenteng Ho Tek Bio, yang pada awal Orde Baru berganti nama menjadi Wihara Dhanagun. ”Pada masa itu, malah kelenteng ini mau dirobohkan karena mau dibangun Plaza Bogor yang sekarang ini. Kelenteng terselamatkan di bawah naungan umat Buddha, karena di sini juga ada tempat peribadatan bagi umat Buddha,” kata Kusuma. Kelenteng Ho Tek Bio diperkirakan mulai dibangun tahun 1740 setelah terjadi pembantaian etnis Tionghoa atau Geger Tionghoa di Batavia. Menurut Mardi Liem, bisa jadi warga Tionghoa akhirnya mau bermukim di kawasan ini karena lokasinya strategis, dekat dengan Jalan Pos (Weg Post) dan ada Kelenteng Ho Tek Bio, yang dibangun berdasarkan budaya Tiongkok selatan, asal mereka. Lokasi itu juga dekat Sungai Cipakancilan di sisi barat dan Sungai Ciliwung di timur. Untuk menghidupkan Handelstraat, awalnya pemerintah kolonial mengundang dan mendatangkan warga Tionghoa dari pesisir utara Jawa, seperti Banten, dan dari China selatan. Marga Thung, yang antara lain menghibahkan lahannya untuk Pasar Cunpok, diperkirakan berasal dari Banten. Sebab, silsilah keluarga besar itu terkait dengan nama besar keluarga Kerajaan Banten. Keluarga besar Mardi Liem, dari garis ibu, berasal dari Yong Chun, China selatan. Generasi pertama keluarga Mardi Liem ini datang tahun 1910, sampai kemudian kakeknya sukses dan menjadi pedagang besar di Lawang Seketeng, salah satu sentra perdagangan ikan dan sembako pada tahun 1960-an. Jejak lawas Suryakancana sebagai sentra ekonomi antara lain terlihat dari adanya 2-3 pedagang ikan asin grosiran dan toko lama yang bertahan menjual produk yang sama, seperti obat china, kerajinan anyaman, mesin jahit, atau sembako. Rumah atau ruko tua di kawasan pecinan ini bangunannya mencerminkan paduan gaya Eropa tropis atau indis, dan adanya firewall. ”Dinding pembatas api ini lebih tinggi dari gentengnya sehingga diharapkan ketika terjadi kebakaran tidak membakar semua bangunan. Permukiman pecinan itu, kan, padat berjajar,” kata Mardi Liem. Sejauh ini belum ada catatan kebakaran hebat melanda kawasan pecinan ini. Musnahnya bangunan tua justru karena roboh atau dirobohkan untuk berpenampilan baru sesuai keinginan pemilik baru. bangunan tua di Kawasan Suryakancana, Kota Bogor, Jawa Barat, Jumat (atas). Eks Hotel Pasar Baroe di belakang Pasar Bogor di kawasan Suryakancana, Jumat (17/11). Hotel itu diyakini merupakan salah satu hotel pertama di Kota Bogor [Sumber : Kompas, Senin 20 November 2017 | OLEH RATIH P SUDARSONO]

Comments

Popular Posts