Menjaga Hutan Papua

Searah jarum jam,
peserta Kemah Hutan Papua mencatat nama tumbuhan di hutan wilayah Kampung Miskum, Distrik Klaso, Kabupaten Sorong, Papua Barat, 8 November lalu. Pohon kayu besi atau merbau di hutan lembah Klaso. Peserta melintas di dekat tanaman pandan duri, dan minum air dari batang pohon tali hiu. Peserta berdiskusi di pondok di hutan lembah Klaso.

TANAMAN yang menempel di (batang) pohon seperti benalu ini namanya utum. Gunanya untuk obat sakit mata. Cara penggunaannya, iris-iris tanaman ini terus dibungkus daun dan dipanggang. Uapnya bisa untuk mengobati mata yang pedih,” kata Spanyer Olimpa (34), warga pemegang hak ulayat hutan wilayah Kampung Miskum. 
”Kalau ini pohon oliamuk, kulitnya bisa digunakan untuk alas tidur,” katanya sambil menunjuk sebuah pohon berdiameter sekitar 20 sentimeter yang tumbuh menjulang tinggi. 
Hari itu Spanyer mendampingi sekitar 20 pemuda dari berbagai daerah di Papua peserta Kemah Hutan Papua, yang tengah melakukan pemetaan potensi hutan. Mereka masuk menyusuri hutan selama sekitar 3 jam untuk mencatat tanaman dan pepohonan yang selama ini dimanfaatkan masyarakat. 
Ada pohon matoa, pohon saba yang batangnya digunakan untuk membuat perahu, kayu besi, atau merbau yang oleh warga setempat disebut kantams, pohon tali hiu yang jika ditebas mengucur air yang bisa diminum, pohon rebung yang pucuknya bisa dimakan sebagaimana pucuk pohon kelapa, serta pandan duri yang dapat dianyam menjadi tikar. 
”Jadi kalau berburu binatang di hutan, kami tidak perlu membawa bekal. Semua tersedia di hutan ini,” kata Spanyer. Tak jauh dari hutan di Kampung Miskum, sekitar 20 peserta lainnya memetakan potensi hutan di wilayah Kampung Klaso. Dua hari sebelumnya, para peserta Kemah Hutan Papua memetakan potensi hutan di Kampung Sbaga dan Klalik. 
Selain pemetaan hutan, kegiatan yang berlangsung 11 hari, pada 3-13 November lalu, di hutan lembah Klaso di Kampung Sbaga itu juga diisi dengan pemetaan wilayah adat dan budaya, survei keanekaragaman hayati. Penyelenggara acara, Perkumpulan Bentara (Bentang Nusantara) Papua, juga mengadakan diskusi tentang pentingnya hutan Papua dan bagaimana strategi mengampanyekan serta menyelamatkan hutan Papua yang terancam beralih fungsi menjadi perkebunan. 
Kegiatan itu, kata Manajer Program Bentara Papua Yanuarius Anouw, bertujuan menyiapkan pemuda Papua lebih mengenal hutan mereka, serta meningkatkan kesadaran mereka untuk menjaga hutan. ”Diharapkan akan lahir agen-agen perubahan yang kritis dalam kerja-kerja pelestarian lingkungan dan pendampingan masyarakat,” katanya. 
Sesuai dengan tema kegiatan ”Pemuda Menyatu dengan Alam”, para peserta benar-benar diajak menyatu dengan alam. Kegiatan ini diselenggarakan di hutan, bukan di hotel seperti yang umumnya selama ini. Mereka mendirikan dua pondok di hutan lembah Klaso. Apa yang mereka makan pun berasal dari hutan di lembah Klaso (kecuali nasi), yang dimasak para perempuan warga setempat. Ada sayur daun ubi, daun pepaya, kangkung, ubi dan pisang rebus, sagu yang diolah menjadi bubur papeda, dan ikan. Dalam satu kesempatan, daging rusa disajikan untuk peserta.

Sumber kehidupan

Salah satu peserta, Jefri Rasubun dari Yayasan Paradisea Manokwari—bergerak di bidang konservasi hutan—mengatakan, setelah mengikuti Kemah Hutan Papua, dirinya bertekad menjadi fasilitator untuk membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya hutan. ”Masyarakat, terutama generasi muda, harus tahu mengapa hutan harus dijaga,” katanya. 
Olivia dan Nadia, mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua (Unipa), menjadikan kegiatan ini sebagai ajang untuk mengenal lebih dekat hutan Papua dan potensinya. Rekan mereka sekampus, Michael Haryawan, bahkan bertekad menerapkan ilmu dan pengalaman selama kemah itu untuk melestarikan hutan Gunung Meja yang berada di dekat Kampus Unipa di Manokwari. Dia berencana melibatkan masyarakat untuk merawat dan menjaga hutan Gunung Meja. 
Lain lagi dengan Sulaiman Mobaleu, peserta dari Kampung Makbon, Distrik Makbon, Kabupaten Sorong. Dengan mengikuti kemah ini, dia semakin menyadari bahwa hutan di Papua harus diperjuangkan agar tetap lestari. ”Hutan adalah dapur, dompet apotek, dan juga ibu bagi kami,” kata anggota Lembaga Masyarakat Adat Malamoi (suku Moi) tersebut. 
Dia mengatakan, hutan di wilayahnya terancam beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit. Sejumlah investor mulai masuk, baik melalui izin investasi ke pemerintah daerah maupun dengan cara membeli lahan milik masyarakat. 
Onez Ondez, peserta dari Distrik Klaso yang juga Ketua Himpunan Mahasiswa Moi Se-Indonesia (Himamsi) Cabang Sorong, mengatakan, ”Sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit sempat masuk ke Klaso, tetapi dibendung pemegang hak ulayat. Dalam pertemuan-pertemuan dengan masyarakat, perusahaan itu mendesak masyarakat melepaskan lahan ini untuk kelapa sawit.” Yanuarius mengatakan, hutan lembah Klaso merupakan salah satu incaran perusahaan perkebunan kelapa sawit. ”Apalagi hutan di kawasan ini oleh pemerintah ditetapkan sebagai hutan produksi konversi,” katanya. 
Mengacu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P 51 Tahun 2016, hutan produksi konversi adalah kawasan hutan yang secara ruang dapat dicadangkan untuk pembangunan di luar kegiatan kehutanan atau dapat dijadikan lahan pengganti tukar menukar kawasan hutan. 
Alih fungsi lahan akan berdampak pada kehidupan masyarakat adat Papua yang secara turun-temurun sangat bergantung pada hutan. Sebab, secara umum, mereka mengandalkan hidup dengan berburu dan meramu. 
Jika tidak dijaga, hutan Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) yang saat ini seluas 29,4 juta hektar atau 35 persen total luas hutan di Indonesia akan terus tergerus. Laju deforestasi di Papua saat ini rata-rata 436.000 hektar per tahun. Di pundak generasi muda Papua-lah harapan menjaga hutan Papua ini bertumpu.[Sumber:Kompas, Minggu, 3 December 2017|Oleh:YOVITA ARIKA]

Comments

Popular Posts