Merawat Lingkungan demi Pariwisata

SEJAK MUDA, Muhammad Hely Rofikun (39) menunjukkan kepedulian yang tinggi terhadap kelestarian alam. Ketika dipercaya memimpin desa di dekat Candi Borobudur, dia semakin berdaya memulihkan kondisi lingkungan desanya. Dengan dukungan warga, dia berhasil menghentikan sejumlah aktivitas yang merusak lingkungan desanya.
Hely merupakan Kepala Desa Karangrejo, Kecamatan Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, yang menjabat sejak 2013. Desa Karangrejo berjarak sekitar 4 kilometer dari Candi Borobudur sehingga desa itu kerap disinggahi wisatawan. Apalagi, Karangrejo memiliki sejumlah bukit dengan pemandangan menawan yang sudah dikenal luas oleh para turis, misalnya Punthuk Setumbu dan Bukit Barede. Namun, di balik keindahan panoramanya, Karangrejo pernah menghadapi persoalan lingkungan yang cukup serius. Sejak kanak-kanak, Hely kerap menyaksikan sejumlah aktivitas yang mengganggu kelestarian lingkungan di desanya. Salah satu yang sangat memprihatinkan adalah praktik penangkapan ikan dengan menggunakan racun potas, bom ikan, ataupun setrum. ”Kalau dulu memang banyak sekali orang yang menangkap ikan di sungai dengan obat (potas), terutama setiap musim kemarau mau habis. Sejak saya kecil, tindakan macam itu sudah ada. Pelakunya warga desa dan warga luar desa,” kata Hely saat ditemui di rumahnya, Kamis (2/11) malam. Penangkapan ikan dengan potas, bom ikan, atau setrum tentu saja berdampak buruk pada lingkungan. Semua obat itu bisa mematikan ikan-ikan yang masih kecil serta berbagai organisme lain yang hidup di air. Selain itu, sungai juga bisa tercemar. ”Penggunaan bom ikan juga bisa membuat tanah di sekitar sungai jadi gampang longsor. Berbagai cara penangkapan yang tidak benar itu membuat populasi ikan di desa sempat menurun drastis,” kata Hely. Sesudah menjadi kepala desa, Hely menerbitkan peraturan desa yang melarang penangkapan ikan dengan cara-cara yang tidak ramah lingkungan. Ia memasang sejumlah papan larangan penangkapan ikan dengan cara tak ramah lingkungan di wilayah-wilayah di dekat sungai. Hasilnya, secara bertahap warga Karangrejo mulai meninggalkan praktik penangkapan ikan dengan cara yang merusak lingkungan. ”Saat ini warga sudah peduli dengan lingkungan sehingga mereka tidak lagi menangkap ikan pakai potas, bom, atau setrum. Pemakaian potas sudah cukup lama berhenti, sekitar dua tahun terakhir. Sementara yang pakai setrum baru benar-benar berhenti tahun ini,” ujar Hely. Dia menambahkan, warga Karangrejo sekarang lebih suka menangkap ikan dengan alat-alat yang ramah lingkungan, misalnya pancing atau jala. Di sisi lain, karena penangkapan ikan dengan cara tak ramah lingkungan sudah berhenti, jumlah ikan yang ada di sungai di Desa Karangrejo juga mulai bertambah. ”Sekarang, ikan di sungai di sini, misalnya ikan uceng, kutuk, atau udang, sudah mulai banyak lagi. Jadi, orang memancing itu jadi senang karena bisa dapat lebih banyak ikan dibandingkan dengan dulu,” ujarnya.
Mendapat penghargaan
Selain memberantas penangkapan ikan dengan cara tak ramah lingkungan, Hely juga berhasil menghentikan praktik berburu burung di desanya. Menurut Hely, beragam jenis burung di desanya dulu kerap dijadikan sasaran berburu, terutama oleh masyarakat dari wilayah lain. ”Dulu, hampir setiap hari ada orang luar yang datang ke sini untuk berburu burung di wilayah Karangrejo,” kata ayah dua anak itu. Menurut Hely, di wilayah Karangrejo terdapat sejumlah jenis burung liar yang biasa dijadikan sasaran berburu, misalnya kuntul, derkuku, burung puyuh, dan ayam hutan. Namun, beberapa tahun belakangan, populasi burung kuntul di desa itu berkurang drastis karena maraknya perburuan. ”Waktu saya kecil, aktivitas berburu burung itu dibiarkan saja. Makanya, burung kuntul sekarang sudah hampir enggak ada,” ujarnya. Melihat kondisi tersebut, Hely merasa sangat prihatin sebab, selain membuat populasi burung di Karangrejo berkurang drastis, aktivitas berburu itu juga tak mendatangkan manfaat apa-apa. ”Mereka yang berburu itu kan cuma untuk gaya-gayaan atau iseng. Burung hasil buruan pun tidak untuk dijual atau dimakan,” katanya. Karena itu, Hely memerintahkan pemasangan papan larangan berburu burung di sejumlah wilayah Desa Karangrejo. Meski larangan itu belum diatur secara tertulis dengan peraturan desa, aktivitas berburu burung di Karangrejo mulai berkurang drastis. Atas kiprahnya itu, Hely mendapat penghargaan Kalpataru Tingkat Jawa Tengah Tahun 2017. Kalpataru merupakan penghargaan yang diberikan pemerintah untuk orang-orang yang dianggap berjasa dalam pelestarian lingkungan hidup. Penghargaan Kalpataru untuk Hely diserahkan langsung oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo pada Juli lalu di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.
Penghijauan

Jauh sebelum menjabat sebagai kepala desa, Hely sudah menunjukkan kepedulian tinggi terhadap kelestarian lingkungan desanya. Saat menjabat sebagai Ketua Karang Taruna Desa Karangrejo tahun 1999, Hely menggerakkan masyarakat untuk menghijaukan perbukitan di Punthuk Setumbu. ”Saat itu bukit di Punthuk Setumbu itu memang gundul, makanya sering dijadikan tempat untuk mendarat helikopter. Namun, sekarang, kan, sudah banyak pohon di sekitarnya,” ujarnya. Menurut Hely, penghijauan di Punthuk Setumbu harus dilakukan untuk menjaga sejumlah mata air di sekitar perbukitan itu sebab beberapa mata air tersebut menjadi sumber air bersih bagi sebagian masyarakat desa. ”Saat perbukitan gundul, debit air berkurang sehingga warga tidak bisa mengandalkan aliran air dari sana. Kalau sekarang, debit air mulai bertambah sehingga mulai banyak warga yang memakai air dari atas,” katanya. Hely juga membenahi pengelolaan wisata di Punthuk Setumbu dengan membentuk tim pengelola terpadu. Sebelum pembenahan itu, ada tiga kelompok yang terlibat dalam pengelolaan Punthuk Setumbu sehingga manajemen destinasi wisata itu kurang efektif. ”Sekitar tahun 2013, terbentuk satu tim pengelola yang berada di bawah BUMDes (badan usaha milik desa),” katanya. Dengan terbentuknya tim pengelola tersebut, kata Hely, manajemen pengelolaan Punthuk Setumbu menjadi lebih baik. Sebagian penghasilan dari aktivitas pariwisata di Punthuk Setumbu mulai disetorkan ke kas desa. ”Sekarang, 10 persen penghasilan dari Punthuk Setumbu masuk ke desa. Padahal, dulu sama sekali tidak ada yang masuk ke desa,” ujarnya.[Sumber:Kompas Senin 20 November 2017 | OLEH HARIS FIRDAUS]

Comments

Popular Posts