Semilir dan Sejuknya Hutan Bakau Cilacap
DEBU kendaraan bermotor serta truk-truk tronton mengudara di jalan-jalan utama di Cilacap, berjuluk Kota Bercahaya, yang terletak di pesisir selatan Jawa Tengah. Terik matahari seolah membakar kulit pada Sabtu (9/9) siang itu.
Namun, memasuki pelataran parkir Wisata Hutan Payau di Desa Tritih Kulon, Kecamatan Cilacap Utara, angin segar terasa semilir dari rimbunnya pohon bakau. Gapura selamat datang gagah menjulang tinggi menyapa pengunjung di hutan bakau dengan luas areal yang mencapai 20 hektar. Dengan membayar karcis Rp 10.000 per orang, pengunjung dapat menyusuri kesejukan di bawah rimbunnya pohon bakau. Tidak hanya itu, pengunjung juga bisa menjajal beberapa wahana menantang di sana. Pengunjung bisa coba tantangan di jaring mesra yang berada di atas ketinggian 6 meter serta jembatan titian bambu sepanjang 300 meter yang yang disebut gantar sewu. Gantar sewu terbuat dari ribuan anyaman bilah bambu yang dipasang di sela-sela pohon dan akar bakau. Gesekan bilah bambu satu sama lain saat diinjak dan dilalui pengunjung menghasilkan bunyi ”gemeretek”. Sebagai pegangan dan pelindung, di kanan-kiri titian berdiri berjajar bambu kecil, yang disebut gantar, berwarna-warni dan diikat dengan tali. Jaring mesra merupakan jaring yang terbuat dari tali tambang dengan panjang mencapai 50 meter dan lebar sekitar 3 meter. Jaring ini dapat dilalui dengan berpegangan pada tali di bagian atas. Pengunjung meniti bambu-bambu yang dipasang di tengah jaring. Bagian bawah jaring berupa air payau dan akar-akar bakau sehingga tidak disarankan membawa telepon seluler ataupun kamera agar tak terlepas tangan. ”Seru dan menantang,” kata Siti (40), salah satu pengunjung yang datang bersama keluarga seusai meniti jaring mesra itu. Kicau burung dan desing layang-layang di sekitar permukiman melengkapi nuansa alam karena suara gesekan ranting dengan daun bakau, serta gemercik aliran sungai menuju perairan Segara Anakan. Talud selebar 1,5 meter menjadi jalan bagi pengunjung menyusuri hutan bakau hingga perairan Segara Anakan sejauh 400 meter. Meskipun sebagian di antaranya masih dalam tahap pembangunan. Sejumlah ornamen berbentuk waru dengan warna merah marun dipasang di beberapa titik, seperti di gazebo tempat istirahat, di dermaga selfie tempat berswafoto, serta di lokasi bersandarnya perahu wisata. Ibu-ibu warga sekitar yang menjual kudapan, seperti mendoan dan juga aneka minuman termasuk kelapa muda pun ramah menyapa pengunjung. Mereka menawarkan untuk singgah ke warung bambu berwarna-warni di bawah teduhnya naungan daun bakau.
Memberdayakan hutan
Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Purwa Lestari Sarwono menyampaikan, pohon bakau itu ditanam sekitar tahun 1978 dan masuk dalam wilayah Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Banyumas Barat. Wilayah itu sempat menjadi primadona wisata pada era 1992-2001. Kemudian wisata alam itu sempat vakum dan terjadi penjarahan kayu-kayu bakau di beberapa lokasi. Akibat penjarahan, ikan-ikan, kepiting, dan udang semakin sulit ditangkap. Pada 2015, masyarakat yang tergabung dalam LMDH dan Kelompok Sadar Wisata Mas Payau Akur berjumlah 65 orang memberdayakan kembali hutan bakau. Mereka saling menjaga dan menanam benih bakau serta menjaga hutan dari perburuan satwa, seperti burung dan ikan dengan cara ilegal. ”Hutan bakau ini sangat penting fungsinya untuk menahan abrasi. Kami ingin hutan terjaga dan masyarakat sejahtera. Visi misi kami adalah memberdayakan lingkungan,” tutur Sarwono. Saat ini, kata Sarwono, dengan sejumlah wahana baru dan lingkungan yang kian terjaga banyak pengunjung datang. Selain itu, ikan serta kepiting dan udang perlahan mulai berkembang biak lagi di sekitar akar-akar bakau. Saat ini, sedikitnya ada delapan warga yang membuka warung menjual makanan ringan di tempat wisata itu. Salah satu warga yang berjualan di tempat itu, Miswati (45), warga Desa Tritih Kulon. ”Lumayan sehari bisa ada pemasukan sekitar Rp 50.000 sampai Rp 100.000,” kata Miswati yang sehari-hari juga bekerja sebagai penjahit. Petugas Wisata Hutan Payau, Sanen (55), menyampaikan, jumlah pengunjung ke hutan payau sekitar 400 orang per minggu. Berdasarkan data jumlah pengunjung, sejak Januari-Agustus 2017, jumlahnya cenderung meningkat. Pada Januari tercatat ada 750 pengunjung. Mei 2017, ada 850 pengunjung. Juni jumlahnya meningkat sampai 2.639 orang, Juli ada 6.546 pengunjung dan Agustus tercatat 1.861 pengunjung. Pemasukan dari karcis yang dijual Rp 2,9 juta hingga Rp 56 juta per bulan. Yatna Suryana (28), salah satu pengunjung, menyampaikan, hampir setiap akhir pekan ia dan keluarganya datang ke hutan payau. Tempatnya sejuk dan tenang. ”Lumayan bisa menyenangkan anak dengan jalan-jalan,” kata Yatna, yang datang bersama istri dana anaknya. Untuk melepas lelah dan menikmati angin semilir nan sejuk, tempat itu juga dilengkapi dengan 3 gazebo besar berukuran 4 meter x 6 meter dan 8 gazebo ukuran kecil ukuran 2 meter x 4 meter, serta sebuah mushala. Fasilitas lain ada lima toilet bagi para pengunjung. Areal parkir luas dapat menampung 50 mobil dan 300 motor. Di hutan payau masyarakat diberdayakan dan pengelolaan wisata dengan memperhatikan kelestarian lingkungan dikedepankan.[Sumber: Kompas, Jumat, 10 November 2017|Oleh: MEGANDIKA WICAKSONO
Comments