Senyuman Perlawanan...


Gerimis membuka hari pada Kamis (16/11). Hujan yang sejak malam mengguyur tidak kunjung berhenti hingga subuh berlalu. Jalanan basah, aroma tanah sawah menguar dari tepi jalan. Di tempat parkir Wisata Bukit Barede, Dusun Sendaren II, Desa Karangrejo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, beberapa mobil berjajar. Seorang pria paruh baya berbelangkon dan berbaju surjan menebar senyum kepada pengunjung. Dia mempersilakan tamu untuk meniti anak tangga menuju puncak Bukit Barede. Di sepanjang jalan menanjak itu, beberapa pria berpakaian sama berjaga, memastikan tamunya sampai tujuan tanpa celaka. Di tanah datar, di puncak Bukit Barede, beberapa bule asyik menatap ke barat sembari merekamnya dengan kamera ponsel ataupun DSLR. Siluet Candi Borubudur membayang agung dan tenang bersanding dengan Gunung Merapi dan Merbabu. Kabut tebal menyelimuti lerengnya berarak berlahan. Mendung menggantung, sementara sinar matahari mengintip di antara mendung, memberi kesan jingga. Puitis sekali. ”Sebentar lagi matahari terlihat lebih terang karena mendungnya tidak begitu tebal,” kata Winarso (38), penjaga yang juga memakai belangkon dan surjan. Dia paling fasih berhahasa Inggris dibandingkan dengan penjaga lain. Winarso seperti rekan-rekannya, kerap tersenyum. Bagi mereka, senyum itu bagian dari keramahtamahan yang membuat tamu betah. Itu mereka pelajari dari para pelatih pengurus Wisata Alam Bukit Barede. Senyum itu bentuk perlawanan terhadap kapitalisme yang meminggirkan warga dari tanahnya sendiri. Nama Barede, kata sebagian warga, berarti bar perang gede: sehabis perang besar. Sebab, tempat ini pernah digunakan Pangeran Diponegoro bersama pasukannya melawan Belanda pada masa Perang Jawa. Semangat Diponegoro itu masih berkobar. Kali ini melawan pemilik modal.
Diincar pemodal
Kawasan Bukit Barede di Pegunungan Menoreh ini posisinya strategis karena keindahan lanskap di sisi barat. Jaraknya hanya selemparan batu dari Candi Bodobudur dan tempat wisata lain seperti Gereja Ayam atau Punthuk Setumbu. Inilah yang menarik para pemodal untuk menguasai lahan Bukit Barede. Beberapa tanah telanjur dibeli pemodal dengan harga murah. Bayangkan untuk tanah sekitar 450 meter persegi hanya Rp 800.000. Uangnya pun tak bertahan lama. ”Dulu, kami juga menjual tanah dan sekarang jadi hotel mewah, tetapi kami tetap miskin,” kata Suratin (34), rekan Winarso. Berangkat dari pengalaman itu, warga lalu sepakat untuk tidak menjual tanah kepada pemodal. Mereka bertekad mengolah tanah itu secara mandiri. Mereka tidak ingin tanah mereka dikuasai pemodal seperti yang terjadi di Bali, misalnya. Tekad ini setidaknya terlihat pada sikap Catur Widodo (41), warga Dusun Sendaren II, Desa Karangrejo. Medio 2014, dia bergeming saat tanah seluas 1.000 meter persegi miliknya ditawar Rp 250.000 per meter persegi oleh calo tanah. Diiming-imingi Rp 250 juta di depan mata, dia memilih merelakan tanahnya dikelola bersama warga untuk wisata. ”Ada tetangga yang hampir menjual lahannya. Tapi, setelah berembuk bersama, kami sepakat untuk tidak menjual sejengkal tanah pun di kawasan Bukit Barede,” tutur Catur, Selasa (14/11). Melihat pengalaman desa lain, Catur dan warga Dusun Sendaren II khawatir, kedatangan investor mendirikan hotel dan restoran mewah, hanya menyerap segelintir warga ikut bekerja. Apalagi, berdasarkan data yang dihimpun Dinas Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Magelang, terdapat 57 hotel dan penginapan di wilayah Kecamatan Borobudur. Ironisnya, lebih dari 50 persen di antaranya dimiliki warga pendatang dari Yogyakarta, Banjarnegara, Kota Magelang, dan Jakarta. Itu yang menguatkan warga mengembangkan Bukit Barede sebagai destinasi wisata yang dikelola swadaya. Perjuangan mereka dimulai April 2015. Sebanyak belasan warga pemilik lahan, termasuk Catur, mengikhlaskan lahan seluas total 5.000 meter persegi. ”Warga tidak dimintai uang. Mereka sukarela menyumbang kayu, bambu, batu, dan tanaman. Warga juga rutin bergotong royong dua kali seminggu membersihkan lahan dan membuka jalan menuju puncak bukit,” ujar Juliet Tambeng, kepala Dusun Sendaren II. Sumbangan tenaga dan material datang dari 84 keluarga di Sendaren II. Butuh sekitar empat bulan bagi warga untuk menata jalan, tempat parkir, loket, dan rumah pohon di atas pohon asam di puncak bukit.
Gotong royong
Warga dusun tidak terlalu sulit merapatkan barisan melawan pemodal. Gotong royong menjadi roh interaksi sosial mereka. Ketika ada warga yang hendak membangun rumah, misalnya, dia tinggal ngomong kepada warga lain dan mereka akan datang membantu dengan sukarela. ”Kemarin, saya bikin fondasi rumah selesai dalam waktu empat jam. Banyak yang bantuin,” kata Suratin. Gotong royong semacam itu mereka sebut sambatan, tinggal menyampaikan kepada satu warga, nanti warga itu akan menyampaikan secara getok tular kepada warga lain. Begitu seterusnya. Mereka menilai, beban satu warga adalah beban seluruh warga. Semangat kemudian diterjemahkan dalam sikap menolak pemodal memborong tanah Bukit Barede. Sikap seperti ini sudah sulit ditemukan di desa-desa lain. Rata-rata, warga menyerah begitu melihat rupiah. Yang membahagiakan, strategi penolakan terhadap pemodal itu juga dilakukan oleh kelompok Karang Taruna Desa Giritengah. Mereka gigih menjaga tanah dan mengembangkannya menjadi obyek wisata Punthuk Mongkrong. Proses pembangunan sarananya juga dilakukan secara bergotong royong. ”Ada yang menyumbang kayu, bambu, hingga tanaman penghias lokasi. Jika tidak bisa menyumbang barang, sebagian warga menyumbang makanan untuk yang kerja bakti,” ujar Supriyatno (29), bendahara karang taruna sekaligus tenaga pemasaran Punthuk Mongkrong. Warga menyisihkan waktu di sela-sela aktivitas bekerja mereka di pabrik karoseri, toko, pabrik, dan berdagang asongan serta cendera mata di kompleks candi. Selama sebulan penuh, mereka gotong royong membangun Punthuk Mongkrong. Meskipun demikian, masih saja ada calo tanah suruhan pemodal yang mencari-cari sela untuk membeli tanah. Pemodal itu bahkan ada yang dari Jepang dan Amerika Serikat. ”Banyak orang datang, bertanya-tanya, mengincar tanah di sini, termasuk di lokasi yang terpencil di perbukitan Menoreh, yang bahkan akses jalannya masih sulit dilalui,” ujar Supriyatno. Kengototan pemodal itu tentu didorong oleh imajinasi bahwa wilayah tersebut menjanjikan secara ekonomi. Apalagi, Candi Borobudur sudah ditetapkan sebagai salah satu destinasi prioritas, dan muncul rencana pembukaan akses jalan langsung dari bandara di Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, ke Candi Borobudur. ”Harga tanah di kawasan Borobudur pun melejit mencapai Rp 4 juta hingga Rp 5 juta per meter persegi,” kata Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Wilayah Eks Karesidenan Kedu, Edi Hamdani. Warga yang imajinasinya lemah dan tak mendapat pendampingan akhirnya menyerah setelah melihat tumpukan rupiah. Untungnya, warga Desa Giritengah dan Dusun Sendaren II berhasil membangun imajinasinya sendiri tentang tanah mereka. Pengelola tempat wisata yang sebagian merupakan generasi milenial ini sadar betul bahwa kecederungan orang sekarang bukan mengumpulkan barang (things), melainkan menghimpun kenangan. Bukit Barede dan Punthuk Mongkrong dengan pemandangan yang puitis tadi menjadi aset yang akan bertahan lama. Makin hari makin banyak orang datang untuk menebar senyum sembari menjepret kamera sendiri. Wajah bahagia dengan latar belakang Candi Borobudur, Gunung Merapi, dan Merbabu, dibalut langit biru beraksen jingga, tentu mahal harganya. Wajah-wajah bahagia itu tersebar di beragam akun media sosial lalu terciptalah amplifikasi. Yang tak tahu menjadi penasaran dan ingin mencoba. Ini nyata dialami Nurul, yang bersama tiga rekannya terbang dari Kuala Lumpur, Malaysia, dan mendaki Bukit Barede untuk bisa memiliki foto diri berlatar candi dan gunung tadi. ”Memang luar biasa pemandangannya,” kata Nurul dalam bahasa Inggris. Secara ekonomi memang belum bisa diandalkan karena masih dalam proses rintisan. Jumlah pengunjung 30-70 orang per hari. Karena itu, para pengelola juga mempunyai pekerjaan pokok di luar ngramut bukit-bukit tersebut. Namun, mereka yakin tempat wisata itu akan mendatangkan kesejahteraan. Pagi itu matahari semakin tinggi, satu-satu pengunjung kembali ke parkiran untuk balik ke penginapan. Winarso mengingatkan pengunjung untuk hati-hati melangkah karena jalan licin sehabis hujan. Dia tak bosan tersenyum, senyuman perlawanan kepada para pemodal seperti saat Pangeran Diponegoro melawan penjajah.[Sumber:Kompas,Minggu, 19 November 2017|OLEH: M HILMI FAIQ, GREGORIUS M FINESSO, & REGINA RUKMORINI ]

Comments

Popular Posts