Yang Terbaik dari Lala
SAYA sudah terjebak di dalamnya. Ha-ha-ha,” ujar Lala, sapaan akrab Sheila, sembari tertawa. Di sela-sela kesibukannya mempersiapkan produksi film Wiro Sableng, Kamis (10/8), Lala menyempatkan diri untuk mengobrol dengan kami. Riasan tipis bernuansa warna lembut menghias parasnya, seakan meneduhkan terik siang itu. Antusias Lala bercerita tentang film, sebuah dunia yang memikat baginya. Awal Agustus ini, film feature dokumenter yang diproduseri Lala sedang menyedot perhatian publik. Banda, The Dark Forgotten Trail banyak menuai respons positif karena menghadirkan film dokumenter dalam bentuk baru. ”Melihat penelusuran di media sosial dengan #FilmBanda, bisa dibilang 98 persen memberikan tanggapan positif. Banyak yang menyatakan kaget bahwa film dokumenter bisa dibuat dengan bentuk baru. Musik dibuat sangat teliti, tata suara dan sinematografi sangat segar. Ini menyenangkan,” ujarnya. Bagi Lala, film bukan sekadar gambar hidup, melainkan ada tanggung jawab yang menuntun pembuatnya menghadirkan yang terbaik bagi penonton dan masyarakat. Itulah sebabnya, dia tidak main-main dalam menggarap film Banda, The Dark Forgotten Trail. Ada fragmen sejarah bangsa Indonesia di baliknya. Ada representasi Indonesia secara keseluruhan, terlebih bagaimana bangsa kita melihat dirinya sendiri. Sebagai produser, pilihan film dokumenter bukan tanpa kesadaran akan segala risikonya. Sudah ada stigma di tengah masyarakat tentang bentuk film dokumenter: bikin ngantuk, bosan, tidak menarik. Film dokumenter juga termasuk film sulit untuk dipasarkan walaupun pangsa pasarnya tetap ada. ”Kami ingin film ini bisa tayang di bioskop. Kami bertanggung jawab kepada penonton yang sudah membeli tiket. Enggak mungkin kami beri mereka film dengan gambar yang buram atau tata suara jelek, misalnya. Harus ada standar tertentu ketika film sudah masuk bioskop dan berbicara dengan orang yang sudah membeli tiket. Jadi, segala bentuk support kami berikan,” papar Lala. Begitu pun ketika dia memutuskan bersedia menjadi produser film Wiro Sableng. Semula Lala merasa gentar karena film ini skalanya besar. Baru setelah tiga tahun, dia berani memutuskan untuk memproduksi film ini. Dia semakin percaya diri setelah Wiro Sableng berhasil mendapatkan produksi bersama dengan Fox International Production, anak perusahaan 20th Century Fox. Film ini menjadi film pertama yang diproduksi bersama Fox International Production di Asia Pasifik. Kamis lalu, Lala bersama tim sedang menggelar final script conference. Sejak pagi hingga malam, mereka mematangkan persiapan. Menurut rencana, Wiro Sableng akan mulai produksi pada 21 Agustus dan diharapkan bisa tayang tahun 2018. Mengapa Wiro Sableng? Selain karena adik iparnya, aktor Vino G Bastian, adalah putra penulis cerita tersebut, Bastian Tito, Lala jatuh cinta kepada sosok Wiro Sableng, Pendekar Kapak 212, yang dia nilai sebagai representasi orang Indonesia. ”Kami bahas 185 buku Wiro Sableng. Kami kaji semua karakter, senjata, jurus, fisik, dan sifatnya. Meskipun ditulis tahun 1967, artinya sekarang sudah 50 tahun, sosoknya masih dicintai. Dia bukan sosok pahlawan super yang tidak pernah terluka, tidak bisa jatuh, atau selalu sempurna. Justru karena tidak sempurna, dia terus berusaha dan akhirnya berhasil. Wiro juga bisa menertawakan dirinya sendiri. Saya rasa itu Indonesia banget,” katanya.
Dunia lain
Sebelum Banda, The Dark Forgotten Trail dan Wiro Sableng, perjalanan Lala dimulai dari film Pintu Terlarang (2008). Ketika itu Lala baru datang dari dunia yang sama sekali berbeda, yakni ibu rumah tangga. Mengurus empat anak menyita seluruh fokusnya, ibarat pekerjaan 25 jam sehari. Suatu ketika dia terkenang pada ucapan kepala sekolah sewaktu SMA bahwa perempuan harus punya sesuatu, harus mampu berdiri sendiri. Lala pun berusaha menemukan apa yang menjadi gairah dalam hidupnya sampai dia mendirikan Lifelike Pictures. ”Cita-cita saya sebenarnya tidak menjadi produser film, tetapi ada saja jalannya ke sana. Dasarnya saya memang orang yang enggak bisa diam. Adik saya, Marsha Timothy, jadi bintang film. Lalu, saya kenal dengan sutradara Joko Anwar yang memberi skrip Pintu Terlarang yang membuat saya jatuh cinta. Sebelum menjadi ibu rumah tangga, saya sempat bekerja di perusahaan periklanan yang mirip kerja membuat film,” paparnya. Saat awal menjadi produser, dipandang sebelah mata sudah menjadi hal biasa bagi dia. Namun, putus asa bukan pilihan. Maju terus adalah satu-satunya langkah yang bisa diambil. Inspirasi terbesar datang dari sang ayah, Eugene Timothy, produser musik dan pemilik perusahaan rekaman, Remaco, yang moncer pada 1960-an. Sejak kecil dia melihat sang ayah yang selalu memiliki gairah besar dan kesetiaan terhadap apa yang dikerjakannya. Sejak Pintu Terlarang yang bergenre horor, lalu Tabula Rasa yang mengangkat tema kuliner Nusantara, berlanjut ke Banda, The Dark Forgotten Trail yang formatnya dokumenter, kini Wiro Sableng yang genrenya komedi fantasi, Lala berupaya membuka diri selebar-lebarnya terhadap berbagai kemungkinan yang bisa dijelajahi dalam dunia film. Dia tidak ingin membatasi diri, tetapi terus berupaya melahap tantangan apa pun di depannya agar bisa memberikan yang terbaik bagi penikmat film. ”Setiap kali membuat film, saya belajar. Ada banyak yang saya pelajari, dari segi teknis pembuatan film, bisnis, pergaulan dengan kru dan pemain. Saya harus bisa sabar, punya jiwa kepemimpinan. Itu menjadi paket komplet yang membuat saya masih menjadi produser sampai sekarang,” ungkapnya. Dukungan keluarga dia dapatkan sepenuhnya. Suami dan anak-anak menjadi teman diskusi. Kepada merekalah, Lala berbagi cerita, sinopsis, trailer, dan musik dari film-film yang digarapnya. Mereka senang ikut ke lokasi shooting dan menjadi paham apa yang dikerjakan Lala. Tak hanya melihat prestasi, kadang kala mereka juga melihat Lala stres. ”Bagus untuk pembelajaran mereka. Mereka tidak hanya melihat hal-hal yang baik dari saya, tetapi juga yang kurang baik. Hidup ada ups and downs,” ujarnya. Segudang impian masih memenuhi benaknya. Ada tugas literasi media, pengembangan profesionalitas pekerja film, penambahan ruang-ruang untuk pemutaran film nonkomersial, dalam setiap produk film yang dibuat. Senang, kan, kalau belajar sejarah gurunya Reza Rahadian, narator film Banda, The Dark Forgotten Trail? ”Saya ingin terus bisa membuat film. Film yang bagus,” kata Lala mantap.[Sumber:Kompas,Minggu,13 August 2017|OLEH:FRANSISCA ROMANA NINIK]
Comments