Berbagi Peran di Mulut Jailolo
DIDUGA kuat
rataan karang di Rumah Merah yang memiliki tutupan hingga 80 persen atau sangat
bagus, menurut kriteria Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), ini menjadi
sumber penghasil larva karang. Oleh aliran arus yang berputar di dalam teluk,
bibit-bibit itu disebarkan di seantero teluk, bahkan di luar teluk hingga ke
Ternate ataupun lebih jauh lagi melintasi samudra.
Teluk Jailolo, seperti
namanya, berada di hadapan keagungan Gunung Jailolo yang memberi penanda pulau
besar Halmahera saat dipandang dari Ternate. Gunung Jailolo yang menyimpan
energi panas amat tinggi membawa aliran air panas hingga ke pantai-pantai
setempat.
Di sepanjang pantai, seperti di sekitar Vila Sabua Gaba hingga Desa
Bobo, mengucurkan air hangat, bahkan cenderung panas. Air panas ini membuat
pinggir-pinggir pantai setempat sangat minim atau dapat dikatakan tak ditumbuhi
karang. Di sisi lain, energi panas ini diduga membuat populasi plankton
meningkat dan disukai pemangsa-pemangsanya.
Perkiraan sederhana ini didapatkan
tim Kompas ketika memulai perdana kegiatan Jelajah Terumbu Karang di Teluk
Jailolo, sekitar 1 jam menumpang kapal cepat dari Ternate, kota besar di Maluku
Utara. Selama sepekan, tim Kompas menjelajah bawah laut teluk dan ”memotret”
kehidupan bawah laut serta masyarakat setempat.
Di bawah laut, tim Kompas
didampingi Muhammad Abrar, peneliti Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, menyelam
bersama seniman Eko Supriyanto dan instruktur selam berlisensi Tommy Chandra
dan Wili dari Nasijaha Ternate. Jauh-jauh hari Eko, yang melambungkan nama
Jailolo dalam pentas tari dunia, mengatur jadwalnya untuk ikut serta dalam
penyelaman bersama Kompas.
Eko, atau akrab disapa Mas Eko Pece ini, mengajak
tim untuk memulai penyelaman di Pastofiri. Sebuah pulau kecil berbentuk bulan
sabit yang tersusun alami dari patahan-patahan koral ini merupakan lokasi
penyelaman terjauh di dalam Teluk Jailolo.
Sensasi aneh menghinggapi tim saat
kayuhan kaki terasa berat seperti memasuki air lebih padat. ”Rasa berat itu
karena daerah ini perlintasan massa air permanen,” kata Abrar. Di sekitar pulau
yang berada tepat di antara bibir Teluk Jailolo menghadap Ternate itu, massa
air dari Samudra Pasifik mengalir ke Samudra Hindia. Pintu masuk di Halmahera
membawa massa air besar yang berpindah karena dorongan angin pasat tenggara.
Perbedaan tinggi ini memicu perpindahan massa dari Samudra Pasifik menuju
Samudra Hindia yang dikenal dengan Arus Lintas Indonesia atau Arlindo
(Indonesian Throughflow). Di Halmahera, inilah gerbang masuk massa besar air
Pasifik menyesaki perairan antarpulau di Indonesia hingga keluar di Samudra
Hindia.
Aliran massa air ini terasa berbeda dibandingkan massa air yang
berpindah karena perbedaan pasang surut. ”Kalau arus pasang surut itu tiba-tiba
muncul dan kuat. Kalau rasa berat dari arus yang kita rasakan tadi itu konstan
dan tak terasa air mengalir tetapi ada beban kuat sehingga massa air amat
terasa,” ujar Abrar.
Selain Arlindo, perairan setempat dipengaruhi oleh gerakan
massa air dari Mindanao, Filipina, dan utara Papua yang bertemu di perairan
sekitar utara Halmahera membentuk pusaran raksasa Halmahera (Halmahera Eddies).
Semuanya melintasi Gerbang Halmahera yang berpusat di sekitar Morotai. Aliran
massa air ini berefek pada kondisi ekosistem lokal. Misalnya, sejumlah besar
air itu membawa partikel-partikel nutrien ataupun larva ikan dan karang dari
sejumlah daerah yang jauh.
Larva ikan dan karang dari pulau-pulau di Pasifik,
seperti terumbu karang di Hawaii ataupun negara-negara pulau kecil, seperti
Solomon, Vanuatu, dan Fiji, terbawa dalam massa air. Jika kondisi ekosistem
setempat mendukung, larva akan bertumbuh dan bahkan berkembang biak.
Pusat
keanekaragaman
Kumpulan berbagai jenis ikan dan karang ini membuat daerah
Halmahera dan ”Kepala Burung” Papua kaya biodiversitas. ”Center of biodiversity
dan bukan center of origin,” kata Abrar.
Istilah itu diibaratkan pada konteks
pluralisme suku bangsa. Dicontohkan, Jakarta tempat berkumpulnya banyak orang
dari sejumlah suku dan daerah pedalaman di Papua yang pada wilayah tertentu
hanya dihuni suku setempat. Jakarta menjadi pusat keberagaman, sedangkan daerah
di Papua itu menjadi pusat keaslian. Namun, karakter lokal, seperti proses
geologi pembentukan wilayah serta berbagai faktor, seperti efek gunung berapi,
bisa memunculkan fauna-fauna endemis. Di Halmahera yang ditemukan hiu berjalan
(Hemiscyllium halmahera) menunjukkan perairan itu memiliki karakter unik.
Sayangnya, dalam penyelaman beberapa waktu lalu, tim tak menjumpai H halmahera
yang kerabat subspesiesnya juga ditemukan di Raja Ampat dan Kaimana Papua
Barat, bahkan perairan Komodo.
Pada penyelaman di sekitar Pastofiri, lebih dari
separuh perjalanan kondisi dasar perairan dipenuhi patahan karang. Kondisi
berbeda di lokasi penyelaman NHR6 yang ditemukan karang juvenil berukuran 10
sentimeter. Diduga kuat, daerah ini sedang mengalami rehabilitasi karena pernah
jadi sasaran aktivitas bom ikan yang merusak terumbu karang.
Pengukuran yang
dilakukan M Abrar menunjukkan perekrutan yang sangat tinggi. Hasil pemantauan
pada area 70 sentimeter x 50 sentimeter terdapat 33 koloni karang.
Di titik
selam Rumah Merah, sangat dekat dengan permukiman di Jailolo, ditemukan 50-60
jenis karang. Tutupannya lebih dari 80 persen atau sangat baik. Melihat tutupan
amat rapat ini, Abrar menduga daerah ini menjadi sumber penghasil larva bagi
perairan setempat.
Sirkulasi arus bawah laut global ataupun lokal sangat
kompleks dan masih penuh misteri. Di Jailolo, satu ekosistem lengkap di
cekungan Pulau Halmahera tersebut setidaknya menjadi bukti bahwa jejaring
ekosistem air laut memiliki peran masing-masing.[Sumber:Kompas,Rabu,8 Novrmber
2017|Oleh:ICHWAN SUSANTO/INGKI RINALDI
Comments