Keberagaman dan Masa Depan Desain
Bagaimana desain interior Indonesia di masa depan? Sejumlah desainer menjawabnya dengan aneka produk yang berakar pada kekayaan ragam budaya dan tradisi Nusantara.
Ragam desain produk interior, furnitur, dan seni tersebut dipanggungkan dalam pameran Casa Indonesia 2017 pada 1-4 Juni lalu di RitzCarlton, Jakarta. Sulit untuk menentukan mana produk terunggul dalam ekshibisi yang diselenggarakan kedelapan kali oleh majalah Casa Indonesia tersebut. Seperti hari itu, Kamis (1/6), saat pembukaan, ribuan orang hilir mudik tanpa melewatkan satu tenant pun. Paling tidak mata mereka menjelajah di 60 gerai yang berisi dari desain batik, aneka mebel, hingga model dapur. Letih di betis tak lagi terasa. Mungkin karena produk desainnya yang bermacam-macam. Tengoklah kursi dan meja kreasi desainer Hendro Hadinata yang mengusung budaya di tanah Sulawesi Selatan. Kursi bertajuk ”Fallo Chair” ini menyerupai rumah di Tana Toraja. Sandarannya melengkung seperti tanduk kerbau, khas Toraja. Anyaman rotan membalut sandaran dan alas duduknya. Kursi coklat setinggi 75,5 cm dan lebar 43 cm tersebut tampak elegan dengan bahan pohon oak serta mahoni. Apalagi, tanduk tedong (kerbau) dalam adat Toraja merupakan simbol kehormatan. Rumah panggung khas Bugis Makassar juga tampak pada meja tulis bertajuk ”Evo Writing Desk” karya Hendro. Meja coklat setinggi 115 cm dan lebar 120 cm ini memiliki empat pasang kaki yang berada di setiap ujungnya. Dua pasang kayu menyilang, seperti bentuk X, menghubungkan semajalah tiap dua pasang kaki meja. Meja dengan kaki yang tinggi ini menyerupai kaki rumah panggung Bugis Makassar yang juga berjarak jauh dengan lantai rumah. Jika pada rumah Bugis Makassar bagian kolong rumah menjelma sumber rezeki—seperti tempat beternak atau menenun-kolong meja karya Hendro menjadi tempat penyimpanan tas, tepatnya di batang kayu berbentuk X. ”Inspirasi ini datang setelah saya berkunjung ke Toraja beberapa waktu lalu,” ujar pemenang Bravacasa Design Challenge 2014, kompetisi produk desain Casa Indonesia ini. Baginya, produk desain lahir karena penjelajahan sudutsudut Tanah Air. ”Siapa lagi yang lestarikan budaya lokal jika bukan kita, desainer?” ujar Hendro. Tidak hanya itu, masih terdapat meja mini di atas meja, tepatnya di ujung. Meja kecil ini juga memiliki empat kaki. Fungsinya sebagai meja tulis bagi pengguna yang ingin mencatat sambil berdiri. Jadi, di tengah masyarakat modern yang diburu waktu, bekerja dengan berdiri bisa saja.
Keindahan Islam
Lain lagi dengan desainer Sylvie Arizkiany dan Romy Rahmana. Pasangan desainer pemenang Reka Baru Desain Indonesia 2014 ini menyajikan pola geometri seni Islam dalam aneka produk, sarung bantal, hingga anyaman kursi. ”Ini salah satu kecantikan dan kelembutan Islam. Kita jangan hanya mendengar yang negatif tentang Islam,” ujar Sylvie menanggapi sejumlah peristiwa yang kerap dikaitkan dengan Islam, seperti terorisme. Corak geometri yang konon sudah ada 500 tahun lalu ini juga membenam dalam batik tulis salem khas Kecamatan Salem, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Setidaknya lima perajin setempat mengerjakan batik Salem tersebut. Pada produk sarung bantal, misalnya, garis, lingkaran, dan bintang enam sudut tanpa putus saling berpadu. Warna lembut seperti putih, biru muda, dan garis hitam terlihat tidak memusingkan seperti anggapan geometri dalam ilmu matematika. Keragaman desain juga tampak pada aneka ukiran kayu, seperti sendok, baki, hingga kursi dari stan Deya. Ukiran dari kayu campaka, longan, dan teak ini dihasilkan dari tangan-tangan perajin Solo, Jateng. Apakah ragam desain ini masa depan desain Indonesia? ”Dari tiga tahun lalu saya sudah bilang, masa depan desain kita itu yang mengandung budaya lokal,” ujar Direktur Pameran Casa Indonesia 2017 Cosmas Gozali. Penerima penghargaan Asosiasi Arsitek Indonesia (IAI) 2002 untuk karya Rumah Ganesha, Bali, ini mengklaim produk yang dipamerkan semuanya menarik karena mengandung konten lokal, dari ide juga bahan. Memang, di tengah kaburnya batas negara, lokalitas menjadi pembeda dengan karya desainer luar negeri. ”Dengan begitu, karyanya tidak bisa ditiru. Malah mampu bersaing dengan dunia internasional,” ujar lelaki yang 20 tahun sudah berkecimpung di dunia arsitektur. Bahkan, dalam buku tren desain interior 2017-2018 bertajuk ”Greyzone” yang diterbitkan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), salah satu tren desain, yakni vigilant, merupakan desain yang memuat ragam kearifan lokal dan tradisi. Ketiga tren lainnya ialah archean, cryptic, dan digitarian. ”Desain Indonesia sering dipertanyakan. Dalam pencarian jati dirinya, desain kita berujung pada keberagaman. Kami akan kembangkan ini,” ujar Deputi Pemasaran Bekraf Joshua Puji Mulia. Apalagi, subsektor desain interior menyumbang untuk produk domestik bruto sebesar Rp 1.354,2 miliar dengan serapan tenaga kerja 2.262 pada 2015. Ragam desain di Tanah Air seharusnya mengingatkan kita akan ”keroposnya” keberagaman negeri ini. Seperti instalasi seni karya Cosmas berjudul ”Capti Mente” yang berarti terperangkap dalam pikiran. Instalasinya terbentuk dari 900 wujud kepala manusia berwarna merah dan lebih dari 500 berwarna putih yang berjejer rata membentuk lorong. Kepala berwarna merah berada di atas, sedangkan yang putih di bawah dengan jarak di antaranya. Ekspresi mukanya semua sama menyerupai robot-robot bermata kosong. Membosankan. Rupa warna merah itu mencerminkan amarah yang lebih banyak dibandingkan kesucian yang disimbolkan dengan muka warna putih. Seperti maraknya kebencian di internet saat ini yang sebenarnya hanya ada di pikiran kita. Sementara pandangan kosong dari wajah-wajah serupa tersebut ibarat bangsa yang kehilangan identitasnya: keberagaman. Lalu mengapa terbuat dari kertas? ”Karena kertas mudah rusak. Begitulah bangsa ini yang diambang tercabik-cabik karena memandang perbedaan sebagai perpecahan,” ujar Cosmas.[Sumber:Kompas, Minggu,11 Juni 2017|OLEH:ABDULLAH FIKRI ASHRI]
Comments