Merawat Warga dengan Air Bersih

Bagaimana kalau tidak ada air selain air gambut yang bisa dikonsumsi? Desi Yarsina memberikan jawaban untuk warga Desa Tanjung Kuras, Kecamatan Sungai Apit, Kabupaten Siak, Riau (sekitar 160 kilometer dari Pekanbaru). Sejak lama, warga di desa itu mengonsumsi ”air teh palsu” itu, terutama di musim kemarau. Harap diketahui, sumber air baku utama di desa terpencil itu berasal dari curah hujan. Akibat mengonsumsi air tidak layak standar kesehatan, banyak warga mengalami diare parah. Pada 2015, tatkala musim kemarau panjang melanda Riau, 71 warga desa terpaksa berobat ke Puskesmas Sungai Apit akibat diare berat. Desi Yarsina (36), perawat Puskesmas Sungai Apit, yang melihat kondisi itu menjadi tersadar. Dia merasa ada yang salah dengan air yang dikonsumsi warga desa tersebut. Desi, yang pernah mendapat pelatihan penyediaan air bersih, segera membuka buku kembali untuk mempelajari cara membuat air bersih. Dari situ, ia memodifikasi alat penyaring air yang kompleks menjadi lebih sederhana. Peralatan yang dipakai tersedia di mana saja dan gampang diperoleh, seperti ember plastik yang biasa dipakai di kamar mandi, pipa paralon ukuran 4 inci sepanjang 100 sentimeter, pipa ¾ inci, keran, dan bahan penyaring seperti tawas, kapur tohor, pasir, dan karbon aktif. Percobaan pun dilakukan. Air gambut sebanyak 200 liter dimasukkan ke dalam ember lalu ditambahkan tawas dan kapur tohor masing-masing sebanyak 80 gram. Campuran itu kemudian diaduk sampai seluruh senyawa menyatu. Air kemudian diendapkan minimal selama satu jam. Menurut Desi, tawas berfungsi untuk penjernih. Adapun kapur tohor untuk menurunkan pH (derajat keasaman) air. Air endapan gambut, tawas, dan kapur tohor (kalsium karbonat) kemudian dialirkan ke dalam paralon besar yang telah diisi pasir dan karbon aktif dengan perbandingan 1:1. Pasir diletakkan di bagian bawah, sementara karbon aktif, dari arang kayu atau arang kelapa, di lapisan atas. Ember harus diletakkan di atas penyangga atau meja di ketinggian lebih dari 1 meter. Di bagian bawah ember dibuat saluran dari pipa kecil yang disambungkan ke paralon besar di bagian bawah. Berkat gravitasi, air endapan gambut yang bercampur kapur tohor dan tawas dari ember akan didorong melewati saringan pasir ke atas dan kemudian naik lagi ke lorong yang berisi karbon aktif. ”Setelah melewati pasir dan karbon aktif, air pasti sudah jernih dengan pH netral dan layak konsumsi. Peralatan itu sangat sederhana dan siapa saja dapat membuatnya. Biaya pembuatan tidak sampai Rp 250.000. Secara teori, penjernihan ini adalah gabungan proses kimiawi dan metode alir lambat,” kata Desi ketika kami temui di Desa Tanjung Kuras pada Rabu (15/11). Alat penyaring sederhana itu lantas dikenalkan Desi kepada warga desa. Saat ini, sebagian besar warga telah menggunakan alat penyaring tersebut untuk mendapatkan air bersih. Kepala Dinas Kesehatan Siak Tony Chandra mengungkapkan, teknologi tepat guna inovasi Desi sangat membantu warga untuk mendapatkan air bersih yang sehat. Air itu sudah lolos standar fisika, yaitu tidak berwarna, tidak berasa, dan tidak berbau. ”Saat ini, kami masih melakukan analisis lanjutan di laboratorium untuk melihat komponen air secara kimia dan biologi. Apakah air itu tidak mengandung logam berat dan bakteri membahayakan. Bupati Siak Syamsuar sudah memerintahkan agar alat ini disebarkan ke seluruh wilayah Siak yang berada di areal gambut,” kata Tony.
Kurangi diare

Jamilah (65), warga Desa Tanjung Kuras, mengatakan, dulunya warga desa biasa mengonsumsi air gambut pada setiap musim panas. Dia mengaku tidak ada warga yang sakit meminum air teh tiruan itu. Namun, saat ini, air gambut sudah tercemar akibat pemakaian kapur dolomit, pupuk, dan pestisida saat petani desa merawat tanaman kelapa sawit di lahan gambut. ”Sekarang, kalau kami merebus air gambut, rasanya asam. Sakit perut dibuatnya. Berkat saringan ini, saya tidak pernah sakit lagi,” kata Jamilah. Setelah banyak warga memakai penyaring ala Desi, catatan pasien diare berat asal Tanjung Kuras di Puskesmas Sungai Apit menjadi berkurang drastis. Pada 2016, warga yang mengalami diare hanya 32 orang. ”Warga yang masih diare adalah yang masih meminum air gambut atau diare karena penyebab lainnya,” kata Desi. Kerja keras Desi membikin saringan air gambut siap minum membuatnya dihadiahi predikat sebagai petugas kesehatan teladan Kabupaten Siak dan tingkat Provinsi Riau pada 2016. Desi sempat bertarung di Jakarta untuk nominasi petugas kesehatan terbaik tingkat nasional, tetapi langkahnya terhenti di urutan 10 besar. Tiga terbaik berasal dari Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Jawa Tengah. Pekerjaan Desi bukan hanya soal penyaringan air. Selama menjadi pegawai Puskesmas Sungai Apit sejak 2009, ibu tiga anak ini memiliki kegiatan luar ruang yang melibatkan warga dan anak sekolah. Sampai sekarang, dia masih aktif membina kelompok peduli kesehatan remaja. Ia tidak hanya bekerja merawat yang sakit, tetapi juga mencegah warga agar tidak sakit. ”Awalnya kami melakukan kampanye ABAT atau ’Aku Bangga Aku Tahu’ di sekolah. Kami memberikan penyuluhan dengan materi kesehatan reproduksi remaja, narkoba, dan HIV/AIDS. Sekarang sudah ada kader di setiap sekolah. Para remaja pelajar menjadi konselor buat teman sebayanya,” kata Desi. Apakah ada pelajar yang menggunakan narkoba di Sungai Apit? ”Ada, tetapi sifatnya masih coba-coba. Para kader sering menasihati agar temannya meninggalkan narkoba karena tidak hanya merusak kesehatan, tetapi juga melanggar hukum dan merusak masa depan,” ujar Desi.[Sumber:Kompas,Kamis,30 November 2017|OLEH: SYAHNAN RANGKUTI]

Comments

Popular Posts