Natuna, Titik Singgah yang Terlupakan

salah satu sudut pesisir Pulau Bungaran Besar
BERADA di gerbang Kepulauan Nusantara bagian utara, Natuna terletak di jalur pelayaran dan perdagangan utama yang menghubungkan laut China selatan dengan Selat Malaka dan Samudra Hindia. di perairan inilah perdagangan antara Asia Timur dengan India, timur Tengah ,dan bahkan Eropa terjalin sejak berabad-abad silam.
Sangat logis jika kemudian kawasan kepulauan seluas 2.009 kilometer persegi, yang kini masuk wilayah administrasi Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, itu sudah disinggahi dan dihuni manusia sejak dahulu kala. Walau demikian, sejarah harus menunggu sampai tahun 2010 sebelum bukti-bukti peranan Natuna di masa lalu ini terungkap lewat penelitian arkeologi. 
”Sejak 2010, kami sudah lima kali melakukan penelitian di Na- tuna, yakni pada 2010, 2011, 2013, 2014, dan 2015. Tahun ini penelitian keenam karena potensi arkeologi Natuna ternyata besar,” tutur koordinator penelitian Prof Naniek Harkantiningsih dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas), di Natuna, Kamis (12/10). 
Selama periode penelitian itu, tim Puslit Arkenas telah menemukan sedikitnya 39 situs arkeologi yang tersebar di Pulau Bunguran Besar atau sering disebut juga dengan Pulau Natuna dan Pulau Sedanau, pulau kecil di sebelah barat daya Natuna. Sebagian di antaranya pemakaman kuno. Para arkeolog menemukan bukti-bukti pekuburan, seperti keranda dari kayu (benggong) ataupun kerangka manusia. 
Bahkan, di situs di kawasan pantai Batu Sindu, Natuna timur, para arkeolog menemukan jejak-jejak manusia prasejarah berupa alat-alat batu, seperti beliung batu dan pecahan tembikar. 
Menurut Naniek, kerangka manusia itu berasal dari periode yang berbeda sama sekali dari periode masyarakat penghuni Natuna masa kini. Salah satu buktinya, penduduk Natuna kini sudah sama sekali tak mengenali titik-titik penemuan kerangka manusia itu dalam kaitannya dengan sejarah keberadaan mereka. 
Padahal, sebagian situs ini tak jauh dari pusat-pusat kegiatan masyarakat zaman sekarang. Situs di Sepempang, misalnya, terletak persis di pinggir Jalan Raya Sepempang, jalan utama yang menghubungkan Ranai, ibu kota Kabupaten Natuna, dengan kawasan Tanjung Datuk di utara. Bahkan, warga sekitar pun awalnya terkejut dengan penemuan kerangka-kerangka manusia di dekat tempat tinggal mereka. Tiga kerangka manusia ditemukan di halaman belakang rumah yang ditinggali Riyanto (48) dan keluarganya. ”Saya sudah tiga tahun tinggal di sini dan tak pernah mengira di situ ada kerangka manusia,” ujarnya. 
Padahal, petunjuk adanya peninggalan masa lalu itu berserak di permukaan tanah. Pecahan-pecahan keramik kuno berserakan di lokasi-lokasi tersebut. 
Bahkan, saat Kompas mendatangi salah satu situs di Sepempang, Jumat (13/10), dengan mudah ditemukan kepingan keramik kuno di tanah, tertutup rerumputan dan semak-semak. 
Keramik kuno asal china
Keramik-keramik kuno itulah yang menjadi petunjuk awal bagi para arkeolog di Jakarta tentang keberadaan peninggalan yang penting di Natuna. Terangkatnya artefak-artefak kuno itu diawali aksi para pemacok, sebutan lokal bagi para pemburu harta karun. 
Menurut Sonny C Wibisono, arkeolog senior Puslit Arkenas yang mendampingi Naniek, kebanyakan benda-benda itu adalah bekal kubur manusia masa lalu yang dimakamkan di tempat tersebut. 
Naniek menambahkan, seluruh temuan itu bisa dibagi dalam empat kategori kubur. Yang pertama adalah kompleks makam dari zaman pra-Islam, tetapi tidak dilengkapi bekal kubur, seperti ditemukan di Sepempang. 
Kemudian makam pra-Islam yang dilengkapi bekal kubur, seperti di situs Tanjung di pantai timur Natuna. Ketiga adalah makam pra-Islam yang dilengkapi peti kayu berbentuk menyerupai perahu. Peti ini sering disebut benggong yang banyak ditemukan di kawasan Batu Bayan, Natuna selatan. ”Mereka dipastikan berasal dari periode pra-Islam karena orientasinya makamnya membujur dari barat daya ke timur laut,” tuturnya. 
Sementara kelompok keempat adalah kompleks makam dari zaman Islam, yang dicirikan dengan penggunaan nisan-nisan dari batu berukir. Para arkeolog bisa memperkirakan periode zamannya dari temuan keramik yang menyertai temuan kubur-kubur tersebut. 
Naniek, yang juga pakar keramik kuno, mengatakan, keramik itu sebagian besar berasal dari China. Mulai dari keramik era 5 Dinasti (abad ke-9-10), Dinasti Song (abad ke-10-13), Dinasti Yuan (abad ke-13-14), Dinasti Ming (abad ke-15-16), hingga Dinasti Qing (abad ke-16-20). Namun, jumlah temuan terbanyak di Natuna adalah keramik dari era Dinasti Yuan, disusul era Song. 
Natuna pun diduga menjadi titik singgah penting dalam migrasi nenek moyang kita ke Nusantara. Untuk itu, penelitian tahun ini melibatkan pakar genetika dari Institut Biologi Molekuler Eijkman, Prof Herawati Sudoyo. ”Tahun ini kami membuka kembali beberapa situs yang pernah digali untuk mengambil sampel dari kerangka-kerangka itu guna tes DNA,” tutur Naniek. 
Setelah uji DNA selesai, diharapkan akan terungkap, tidak hanya kaitan manusia-manusia masa lalu itu dengan warga Natuna masa kini, juga kaitannya dengan seluruh penduduk Indonesia. Para arkeolog Puslit Arkenas bertekad melanjutkan penelitian di Kepulauan Natuna.

Comments

Popular Posts