Petani Milenial dari Tarengge
SARJANA Diploma III Politeknik Pertanian Negeri Pangkep ini
memilih pulang kampung seusai menyelesaikan kuliah tahun 2016. Dia kembali dan
melanjutkan usaha pembibitan kakao yang sudah dirintisnya sejak duduk di bangku
kelas XI SMK Pertanian Tomoni, Luwu Timur (Lutim).
Dia kini melewati
hari-harinya di halaman rumah dan kebun kakao bapaknya, Tuo Talle. Masnawati
bergelut dengan tanah, polybag, dan biji kakao sembari menabung sebagian
penghasilannya yang setidaknya mencapai Rp 10 juta per bulan. Sebagian lagi ia
sisihkan untuk membiayai kuliah adiknya.
”Saya mau membesarkan usaha pembibitan
kakao ini dan juga usaha tani lainnya. Saya sedang menabung untuk membeli lahan
yang lebih luas untuk lokasi pembibitan kakao sekaligus membuka toko tani,”
katanya saat ditemui, Senin (20/11).
Anak muda yang akrab disapa Masna ini juga
kerap membantu petani, sekadar memberi masukan soal penanaman atau peremajaan
kakao. Sebelumnya, dia ikut memelopori peremajaan kakao di desanya. Bagi petani
milenial ini, bisa bekerja dan berbagi, walau itu sekadar pengetahuan dan
pengalaman, adalah hal membahagiakan. Sama membahagiakannya saat dia membantu
meremajakan kebun bapaknya sehingga meningkatkan produktivitas kakao dari 300
kilogram per hektar menjadi 1 ton per hektar.
Anak petani
Lahir sebagai anak petani dan melihat bagaimana kebun kakao
orangtua dan warga umumnya rusak diserang hama penggerek buah kakao (PBK),
Masna memilih Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Pertanian selepas sekolah
menengah pertama. Kebun kakao adalah satu-satunya sumber penghasilan
keluarganya.
Memasuki kelas XI, anak kelima dari tujuh bersaudara ini mengikuti
praktik kerja lapangan (PKL) di Cocoa Development Centre, PT Mars
Symbioscience, selama tiga bulan.
Perusahaan asal Amerika Serikat ini memang
giat melakukan penelitian dan pengembangan kakao di Lutim. Selain mengelola
bisnis kakao, perusahaan itu juga melakukan pelatihan sistem pertanian untuk
menghasilkan kakao unggul.
Pelatihan biasanya diikuti oleh petani dan siswa SMK
Pertanian. Tempat pelatihan lebih akrab disebut akademi kakao dan lulusannya
diberi sebutan ”doktor kakao”. Selama tiga bulan mengikuti PKL, Masna menyerap
betul semua pelajaran yang diperoleh. Selepas PKL, dia langsung mempraktikkan
pengetahuan tersebut di kebun kakao bapaknya.
”Saya mengajak bapak untuk
meremajakan kakao dengan cara sambung samping dan sambung tunas. Beruntung
bapak mendukung. Saya juga mulai melakukan pembibitan sendiri untuk keperluan
mengganti tanaman yang memang sudah tidak bisa diremajakan dengan cara sambung
samping atau tunas,” katanya.
Walau awalnya dipandang sebelah mata, terlebih
statusnya saat itu yang masih pelajar, keberhasilan Masna meningkatkan produksi
kakao di kebun bapaknya akhirnya membuka mata petani lain. Mereka ikut
meremajakan kakao.
Usaha pembibitan
Melihat kebutuhan bibit kakao untuk petani yang giat
meremajakan kakao, naluri bisnis Masna terpantik. Dia menangkap peluang ini. Dengan
bekal pengetahuan yang dimiliki dan modal membeli plastik, dia memberanikan
diri memulai usaha pembibitan kakao dan menjual hasilnya kepada petani.
Keberhasilan peremajaan kebun kakao bapaknya, yang di antaranya menggunakan
bibit yang dihasilkan Masna, menjadi salah satu promosi ampuh dalam usaha
pembibitannya.
”Sebenarnya saya mengajak tiga teman untuk ikut membantu
pembibitan. Modal uang tidak seberapa, hanya ratusan ribu rupiah untuk membeli
plastik. Tanah dan biji serta entris (batang atas), saya ambil dari kebun
sendiri. Tapi belum lama berjalan, teman saya memilih berhenti,” katanya.
Tak
berputus asa, Masna menjalankan sendiri usaha yang sudah dimulainya. Setiap
hari sepulang sekolah, dia menghabiskan waktu hingga menjelang malam di kebun
untuk membibitkan kakao. Sesekali, dia dibantu ayahnya atau adiknya. Kerap,
jika pesanan banyak, dia meminta bantuan rekannya yang sedang melakukan
praktik. Kadang bantuan datang sendiri dari adik kelas dan rekan yang melakukan
tugas praktik.
Kegigihannya membuahkan hasil. Jika awalnya pesanan bibit kakao
hanya puluhan, perlahan meningkat menjadi ratusan dan kini hingga 20.000 bibit
dalam sekali pesan. Bibit kakao dijual Rp 5.000 per batang. Dia bahkan menambah
usaha dengan menjual pupuk dan sarana produksi pertanian dengan memutar
keuntungannya.
Sembari menyelesaikan pendidikan SMK, Masna terus melanjutkan
usaha bibit kakaonya, memanfaatkan halaman samping kiri dan kanan rumah
orangtuanya yang masing-masing berukuran 6 meter x 20 meter dan 4 meter x 20
meter. Belakangan, kebun bibitnya juga menjadi tempat praktik pembibitan serta
peremajaan kakao teman-teman sekolah dan adik kelasnya.
Setamat SMK, Masna
melanjutkan kuliah ke Politeknik Pertanian Negeri Pangkep dengan biaya murni
dari hasil usahanya. Sembari kuliah, dia juga menyempatkan diri bolak-balik ke
kampung untuk mengurusi pembibitan. Untuk menambah pengetahuan, dia kembali
melakukan kuliah kerja lapangan di Cocoa Development Centre di Tarengge. Dia
sekaligus mengambil pelatihan kewirausahaan di tempat yang sama.
Berbekal
pengalaman sejak SMK, kuliahnya di Politeknik bisa selesai tepat waktu. Tak
membuang waktu, setamat kuliah, Masna kembali ke kampung menggeluti usaha kakao
sembari menabung hasilnya. Dia menargetkan lahan yang lebih besar untuk
pembibitan dan mendirikan usaha sarana produksi pertanian.
Menghabiskan masa
remaja dan kuliah dengan belajar serta berkutat dengan tanah dan lumpur tidak
pernah disesali Masna. Baginya, menjadi berarti bagi keluarga, betapapun kecil,
adalah hal penting dalam hidupnya. Toh, di sela kesibukannya, dia masih
menyempatkan diri bermedia sosial dan sesekali bersilaturahim dengan rekannya.
”Saya bahagia dengan kehidupan saya yang seperti ini. Setidaknya saya bisa
membantu orangtua, adik, dan berbagi pengetahuan dengan siapa saja. Saya tidak
lagi memikirkan pekerjaan lain selain membesarkan usaha saya dan tetap berarti
bagi keluarga dan orang-orang di sekitar saya,” katanya.[Sumber:Kompas, Selasa,
28 November 2017|OLEH: RENY SRI AYU]
Comments