Membangun ”Kerajaan” Anggrek Hutan

Kelopak bunga bermotif lurik macan merekah di pekarangan Adi Ismanto (38). Anggrek-anggrek hutan itu akhirnya berbunga setelah diselamatkan sang petani dari sebuah hutan terbakar. Kisah penyelamatan pun membuahkan hasil.

PEMANDANGAN mekarnya anggrek macan/tebu (Grammatophyllum speciosum) terbilang istimewa. Belum tentu sekali dalam setahun tanaman sejenis dapat berbunga. Dalam kondisi alam yang kurang mendukung, anggrek macan sulit bertahan. Jumlah yang kian terbatas itu menempatkan statusnya sebagai spesies tanaman dilindungi.
Yang lebih istimewa lagi, hampir seluruh tanaman sejenis di sana turut menampakkan keindahan selama Januari ini. Warna coklat tua pada motif luriknya merona, kontras dari dasar bunga yang kuning terang. Akan tetapi, keindahan di pekarangan itu hanyalah sementara.
Sewaktu menyelamatkan anggrek-anggrek, tiga tahun lalu, dari sebuah hutan terbakar, Adi bersama sejumlah petani telah sepakat. Seluruh anggrek harus dirawat dan secepatnya dipulangkan kembali. ”Jika hutannya sudah pulih, anggrek akan kami pulangkan,” ujarnya.
Rupanya, kondisi hutan tak cepat pulih sejak terbakar pada 2015. Ia terpaksa mencari lokasi lain. Satu lokasi hutan yang cukup rimbun ditumbuhi duku dan durian di Desa Jambi Tulo, Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, akhirnya terpilih.
Kamis (11/1), anggrek-anggrek itu diboyong pulang ke habitatnya. Para petani bergotong royong mengantar epifit raksasa setinggi hampir 3 meter itu menuju hutan.
Di hutan, sebagian petani telah menunggu. Mereka memasang tangga kayu menuju puncak pohon duku setinggi 20-an meter. Dua karung berisi sekam diangkat ke atas, lalu dibenamkan pada salah satu celah. Selanjutnya, anggrek disusulkan naik, lalu diletakkan di atas media sekam. Di puncak pohon itulah, anggrek menempati rumah barunya.
Pemulangan anggrek itu sungguh menyita waktu dan tenaga, tetapi petani lega. Pemulangan anggrek adalah bagian dari impian mereka: menyediakan ”kerajaan” besar anggrek hutan Muaro Jambi.
Di habitatnya, anggrek hutan akan tumbuh lebih subur. Warna bunganya lebih indah dan lebih menjulang. Tanaman ini dikenal sebagai anggrek terbesar di dunia dengan tinggi hampir 4 meter.
Habis terbakar
Rumah pertama sang anggrek, yakni hutan Pematang Damar, terbakar pada kemarau 2015. Adi masih ingat betapa paniknya petani. Api mudah terpicu karena hamparan gambut di hutan itu mengering. Pemadaman pun tak berdaya untuk mengatasi. Ratusan hektar sawah tua penyangga hutan, serta ribuan batang durian dan duku warga, hangus terpanggang.
Namun, sejumlah petani yang tergabung dalam Gerakan Muaro Jambi Bersakat (GMJB) bergegas masuk dan menyisir langit-langit hutan. Masih ada peluang menyelamatkan beragam jenis anggrek yang tumbuh alami di puncak pohon-pohon besar. Mereka pun bergantian memanjat pohon, lalu menyelamatkan seluruh anggrek tersisa.
GMJB dibentuk oleh petani atas kecintaan pada anggrek hutan, tanaman endemik Muaro Jambi. Dalam bahasa Melayu setempat, kata ”bersakat” pada GMJB berarti anggrek dan pakis-pakisan hutan.
Sepanjang masa perjuangan petani menyelamatkan anggrek dan pakis yang dimulai pada 2009, sudah 80 spesies teridentifikasi, antara lain Grammatophyllum, Dendrobium, Bulbophyllum, Cymbidium, Appendicula, Pomatocalpa, Phalaenopsis atau Eria, Trichotosia, Thelasis, Flicking coelogyne, dan Javanica. Keragaman ini menunjukkan bahwa koleksi jenis tanaman bersakat di hutan Muaro Jambi sebagai yang paling beragam untuk wilayah hutan hujan tropis dataran rendah Jambi.
Keberagaman anggrek juga merupakan indikator kekayaan sebuah hutan. Semakin beragam jenis dan warnanya menandakan kondisi tutupan hutannya semakin baik.
GMJB menilai, ancaman terhadap kepunahan sakat kian besar seiring dengan meluasnya alih fungsi hutan untuk kebun sawit. Mereka pun tak jarang berkejaran dengan waktu untuk menyelamatkan anggrek sebelum alat-alat berat menggilas seluruh tanaman.
Secara resmi, GMJB telah mengusulkan status lindung pada Pematang Damar kepada Dinas Kehutanan Kabupaten Muaro Jambi. Bupati setempat pun pada 2017 telah mengalokasikan tempat itu sebagai area perlindungan untuk konservasi anggrek alam. Namun, kondisi hutan setelah terbakar malah terbengkalai. ”Belum ada upaya pemulihan kembali,” kata Bujang, petani lainnya.
Saat ini, areal hutan di Muaro Jambi mencapai 154.642 hektar. Sebagian lahannya bisa digunakan untuk konservasi anggrek. Namun, kondisi yang terjadi sebaliknya karena tingginya alih fungsi hutan. Saat ini, hampir tidak ada lagi areal hutan tropis tersisa di wilayah itu.
Kepala Pusat Studi Gambut Universitas Jambi Asmadi Saad mengatakan, kearifan lokal sebagaimana yang diterapkan GMJB sebenarnya sangat efektif menjaga hutan tropis gambut tetap lestari. Dari hasil penelusurannya, Asmadi menyimpulkan bahwa pembakaran yang terjadi selama ini lebih banyak ditemukan pada lahan-lahan milik pemodal besar ataupun swasta, terlepas bahwa pelaku pembakaran adalah warga biasa yang menjadi buruh.
Ironisnya, ketika gambut sudah rusak dan terbakar, proses pemulihannya membutuhkan waktu ribuan tahun. Keasaman tanah meningkat sehingga mengganggu pertumbuhan tanaman. Wilayah sekitarnya menjadi rentan banjir dan kering, sebagaimana yang kini dialami hutan Pematang Damar.
Tampaknya, petani butuh waktu panjang untuk mewujudkan impiannya menyediakan ”kerajaan” anggrek hutan.[Kompas, Rabu, 24 januari 2018|Oleh: Irma Tambunan]

#Aktivis kelompok penyelamat anggrek alam, Adi Ismanto memeriksa kondisi anggrek macan (Grammatophllum speciousum) yang tengah berbunga.

#Adi dan warga “memulangkan” berbagai jenis anggrek hutan ke habitat alamnya setelah diselamatkan dari kebakaran.

Comments

Popular Posts