Untuk Petani dan Oksigennya

Alfi Irfan mengibaratkan petani sebagai oksigen untuk semuanya. Agar ”oksigen” itu selalu ada dan menjadi lebih baik, dia bergerak sebagai pendamping dan jembatan supaya petani mendapatkan pasar yang lebih adil. Menurut dia, sektor pertanian harus berdaya
RABU (17/1) yang sendu, di Bogor, Jawa Barat, Alfi Irfan (25) datang tergesagesa. Dia sedikit terlambat dari jadwal yang dijanjikan. Tanpa banyak membuang waktu, dia langsung bercerita panjang dan cepat terkait kegiatannya bersama para petani. ”Kami sudah kerja sama dengan 55 gapoktan (gabungan kelompok tani). Insya Allah pada Februari mendatang kami akan melakukan ekspor mandiri ke Singapura. Tidak lewat agen lagi karena kami sudah mendapatkan pasar sendiri. Menurut rencana, ekspor tujuh jenis sayuran dengan kapasitas 1 ton per hari,” kata Alfi.
Kami berbincang di sebuah ruangan di lingkungan kampus Institut Pertanian Bogor yang di bagian depan dan dalamnya ditempeli plang ”Agrisocio” berlatar hijau. Selain Alfi, ada lima pemuda rata-rata di bawah 25 tahun. Ada yang mengurus pembukuan, menyusun anggaran, mencatat rencana pendampingan petani, dan menyiapkan dokumen ekspor.
Ekspor komoditas pertanian dilakukan Alfi dan rekan-rekannya sejak 2016. Sesuatu yang tidak mudah. ”Saya cari data eksportir dan kontaknya, lalu saya e-mail satu-satu. Ada yang tidak menanggapi. Ada yang minta sampel, ada juga yang cocok,” cerita Alfi.
Berkat kegigihannya, pintu ekspor akhirnya terbuka. ”Kami bisa menembus pasar Jeddah dan Timur Tengah, serta Eropa,” ujar Alfi yang selalu berbicara degan lugas. Pasar Singapura juga sudah berhasil ia masuki. ”Untuk pasar Singapura, kami mencari sendiri langsung ke sana.”
Alfi bekerja sama dengan banyak petani untuk memasok aneka sayur kualitas ekspor. Jenis sayur dan rempah yang bisa ia ekspor, antara lain cabai merah, cabai hijau, cabai keriting, buncis, lengkuas, kunyit, dan jahe. Alfi membeli produk-produk pertanian dari petani dengan harga di atas harga pasar. Desember lalu, misalnya, dia membeli cabai merah Rp 25.000 per kilogram (kg). ”Kalau diambil tengkulak, paling harganya Rp 13.000,” kata Alfi.
Alfi adalah pendiri sekaligus CEO Agrisocio, sebuah perusahaan yang didirikan untuk mendampingi petani. Sebagai lulusan ekonomi sumber daya lingkungan, Alfi memiliki banyak pengetahuan terkait kondisi pertanian dan sektor ekonomi. Kegiatannya di luar kampus, termasuk mengikuti berbagai pelatihan dan konferensi di sejumlah negara, membuat ilmunya terasah. Ia juga banyak berdiskusi dengan para ahli.
Dari keresahan
Agrisocio, diambil dari kata agriculture dan social, adalah perusahaan yang ditujukan untuk kegiatan pemberdayaan, pusat penelitian, dan penyingkat jarak antara petani dan pasar. Perusahaan itu didirikan untuk menjawab keresahannya selama terjun di dunia perdagangan.
Setelah tujuh tahun terlibat dalam perdagangan sayuran, pada 2013, dia mulai menyadari ada yang tidak beres dengan sistem perdagangan. ”Ada tujuh tingkatan dari petani sampai bisa sampai ke end user. Singkong yang harganya di pasar bisa Rp 3.000 per kg hanya dihargai Rp 400 di tingkat petani,” rinci Alfi.
Berbekal dana 10.000 dollar AS, hadiah lomba wirausaha yang diadakan Singapore International Foundation, dia mulai menghimpun beberapa warga dan petani untuk menanam dan mengolah singkong. Dia mengolahnya menjadi keripik opak. Dia membeli singkong dengan harga di atas Rp 2.000 ketika itu.
Keripik dikemas dengan baik. Dia juga mengolah rempah-rempah menjadi minuman. Inilah langkah awal Agrisocio.
Berjalan beberapa lama, dia mulai menggarap pasar tersendiri untuk rempah-rempah. Setelah mendapat pembeli domestik, dia berusaha mencapai pasar ekspor pada 2016 ke Jeddah. Volumenya 1 ton rempah-rempah setiap pengiriman.
Dari situ, dia lalu menggarap sayur-mayur dengan pertimbangan sayur itu sudah pasti dibutuhkan seharihari. Cabai dan buncis adalah produk utamanya. ”Untuk sayuran, kami kerja sama dengan gapoktan yang tersebar di berbagai wilayah hingga Banyuwangi. Sistemnya kami beli putus, tetapi kami mendampingi jika ada kendala,” terang Alfi.
Sistem kerja sama untuk gapoktan ini dibuat dengan skema kontrak. Setiap awal bulan, kelompok tani yang diajak akan menetapkan harga untuk satu bulan ke depan. Dalam proses itu terjadi tawar-menawar hingga disepakati harga bersama.
”Ini yang kami namakan partnership, satu dari tiga model kerja sama dengan petani yang kami kembangkan,” katanya.
Dua skema lainnya adalah learning centre dan rural development. Learning centre yang terletak di dua lokasi di Bogor adalah lokasi milik perusahaan yang menggandeng beberapa warga untuk bekerja sama. Lokasi itu juga merupakan tempat pembibitan, penelitian, dan pengembangan inovasi pertanian. Saat ini telah ada sebuah lokasi seluas 50 hektar, dengan 5 hektar yang telah dikelola, untuk skema ini.
Skema terakhir adalah rural development, yang dalam bahasa Alfi, adalah model kecil dari pertanggungjawaban perusahaan. Skema ini berada di tiga lokasi di wilayah Jawa Barat yang benar-benar mendampingi para petani lokal. Agrisocio memberikan subsidi benih, membantu permodalan, memberikan penyuluhan dan pengawasan, dan menyiapkan pasar.
Berbekal riset
Riset yang baik adalah jantung dari keberhasilan. Alfi tahu benar hal itu. Apalagi ia pernah bekerja secara penuh sebagai analis ekonomi sejak berstatus mahasiswa semester III. Karena itu, sebelum memulai segala sesuatunya, dia benar-benar mematangkan riset, analisis potensi, dan permasalahan.
Alfi lancar bercerita tentang data. ”Sebanyak 82 persen petani kekurangan modal. Margin antara petani dan end user itu bisa 500 persen, bahkan lebih. Akibatnya, petani tidak berdaya dan hidupnya tidak pernah membaik.” Data itu adalah riset mandiri yang dilakukan Alfi kepada 100 petani di sejumlah wilayah.
Dari riset, dia menemukan banyak hal yang membuatnya tertegun. Misalnya, hasil panen rempah petani hanya dihargai Rp 20 juta untuk setahun. Atau, seorang ibu yang tidak berdaya karena suaminya meninggal dan tidak punya kesempatan untuk berusaha lagi.
Dengan membaca, bertanya kepada restoran dan pasar, serta berdiskusi kepada banyak ahli, dia sampai pada kesimpulan bahwa ada tiga hal utama yang mengganjal petani untuk bisa bangkit. Tiga hal tersebut adalah kontinuitas, kualitas, dan kuantitas produk. Bergerak dari tiga hal ini, dia membedah persoalan dan menemukan peluangnya sendiri.
Lalu, apa target lima tahun Agrisocio? ”Kami ingin skema rural development yang nantinya mendominasi, sebanyak-banyaknya dilakukan, karena ini idealisme kami. Kami juga ingin IPO.”

Kalau untuk pribadi? ”Ingin menikah dulu,” kata Alfi cengengesan.[sUMBER: Kompas, Rabu, 24 Januari 2018|Oleh:Saiful Rijal Yunus]

Comments

Popular Posts