Menjaga Sempadan demi Masa Depan
Tubuh Sudianto (40) terlihat ringkih.
Namun, tekadnya untuk menyelamatkan lingkungan sungai dan pantai sangat kuat.
Sejak 2008, anak muda yang biasa disapa Anto itu tak lelah menanam mangrove,
waru, dan nipah di sepanjang sempadan sungai dan pantai di Dusun Jabianom, Desa
Medana, Lombok Utara. Berkat Anto, sempadan sungai selamat dari empasan
gelombang laut.
HARI
menjelang sore ketika Kompas menemui Anto di laguna Pantai Jambianom,
pertengahan Maret 2018. Matahari masih bersinar terik, menyengat tubuh Anto
yagn kerempeng. Ia tampak tak terusik sama sekali, ia tetap sibuk bekerja
dengan cepang, semacam sendok utnuk mengaduk campuran semen dan pasir, di
tangan kanannya Anto sedang menggali lubang untuk membenamkan bibit mangrove.
Di antara deretan mangrove yang
masih renggan jaraknya, ia disipkan bibit mangrove yang baru. Ia juga mengganti
beberapa bibit mangrove yang batangnya patah diinjak oleh anjing. “Saya desain
tmepat ini jadi obyek wisata. Maknay jarak tanam mangrove saya atur. Tujuannya,
setelah mangrove besar akan membentuk lorong. Lorong itu nantinya bisa
dinikmati pengunjung dengna menyusurinya menggunakan sampan,” ujar Anto.
Anakan mangrove yagn ditanam Anto
tingginya baru 30 cm. Itu adalah hasil perbanyakan yang dilakukannya sendiri.
Pembibitan dilakukan pada kebun kelapa seluas sekitra 3 ha di RT 001 Dusun
Jambianom, Kebun itu milik seoroang warga yang mempercayakan Anto sebagai
penjaga. Dari kebun yagn dibatasi pantai dan sungai itulah Anto mulai merawat
lingkungan sekitarnya.
“Dusun kami di utara berbatasan
dengan alut, di barat dan timur diapit dua sungai. Kalau hujan dan air pasang,
sudah pasti tanah kebun dan tebing sungai abrasi,” ujar Anto. Sungai menjadi “tempat
pembuangan akhri sampah” kiriman dari hulu. Ketika musim angin barat tiba,
sampah yang adadi sungai terbawa air laut. Air yang tercemar sampah itu pada
akhirnay akan menggenangi permukiman penduduk di sekitar pantai.
Pada 2008, Anto mulai menyiasati
kondisi itu dengan menanam nipah (NYpa
frtican) dan waru (Hibiscus tiliaceus)
di pinggiran areal kebun yang berhadapan dengna pantai di RT 001. Batang pohon
nipah dan waru dipotong-potong lalu ditanma di kiri-kanan sempadan sungai.
Tahun 2012, ketika waru dan nipah
tumbuh besar, terlihat tanah menumpuk di bagian batang bawah pohon. Tumpukan
tanah itu menjadi penghalang air alami ketika banjir datang. Selain itu,
sempadan sungai menjadi rimbun dan hijau. “Tanah kebun yagn saya Tanami waru
jadi leibh luas (menjorok) ke laut, he-he-he,” tutur Anto.
Bleum puas dengan hasi kerjanya,
Anto “ekspansi” ke kawasan RT 002 Jambianom. Di situ ada laguna yagn menampung
air laut dan air hujan sepanjagn tahun, yang di sekelilinginya dipenuhi semak
belukar. Genangan air laguna itu menjadi sarang aneka nyamuk yang menyebarkan
penyakit malaria dan cikungnya ke pada masyarakat.
Awal 2016 Anto mengajak warga dusun
membersihkan semak belukar di seputar laguna, termasuk membuat saluran agar air
laguna itu mengalir ke pantai. Pembersihan berlangsung hampir setahun. Setelah
bersih, anto menanami laguna itu dengan mangrove. Ia membibitkan mangrove dari
tiga buah mangrove yagn ditemukan mengapung di laut saat musim angin barat.
“Sekarang, sih, sarang nyamuknya
sudah bersih dan tidak ada lagi warga
yang terserang cikungnya,” ungkap Anto yang tidak pernah mengenyam bangku
sekolah karena orangtuanya hanya nelayan, dengan penghasilan yang hanya cukup
untuk membiayai makan dan minum keluarga.
Sebenarnya banyak keluarga yang
ingin mengangkat Anto sebagai anak dan membiayai pendidikannya. Tidak sedikit
guru yang menjemputnya agar Anto mau sekolah, tetapi tawaran itu ditolak. Untuk
sekdar membaca-menulis, Anto belajar secara otodidak. ia belajar membaca dan
menulis dnegna cara nimbrung saat rekan sebayanya tengah belajar di kampung.
“Warga bertanya-tanya ,saya bisa
membaca dan menulis padahal tidak pernah sekolah,” kata Anto.
Bekerja
Pengabdian Anto untuk lingkungan
ternyat menarik perhatian lembaga pemerintahan di Lombok Utara. Ia dijadikan
kader lingkungan hidup dan ketua kelompok green
light. Sebagai kader, ia bertugas membuat laporan kegiatan setiap tahun.
Untuk itu, ia menapat honor Rp 1,4 juta per tahun.
“Laporan saya sering dinilai
Amburadul. Saya sudah bilang (kepada instansi) saya ini tidak pernah sekolah,
syukur-syukur bisa menulis,” ujar ANto.
Selain soal laporang, ia jgua
menghadapi tantangan dari sebagain warga yang salah paham. Orang berpikir bahwa
dari kegiatan pelestarian lingkungan itu Anto mendapat upah, padahal
kenyataannya tidak. Tidak jarang bibit tanaman dicabut oleh orang yang tidak
suka dengan kegiatan Anto.
Anto tidak ambil pusing terhadap
gangguan seperti itu. Ia bertekad terus menanam dan membutkitkan bahwa upayanya
tidak akan sia-sia. Anto kerap bekerja sendirian mengontrol dan membersihkan
sungai dari sampah di RT 001 dan RT 002. Sampah daun dan plastic ia bakar,
sedangkan ranting dan potongan akyu ia bwa pulagn untuk dijadikan kayu bakar
dan bahan bakar pengasapan ikan hasil pancingan ayahandanya, Murdali.
Anto maklum jika warga dan rekan-rekannya
tidak bisa membantu setiap hari karena mereka harus mencari uang untuk
keluarga. Anto sendiri juga mesti bekerja untuk membiayai hidupnya. Ia
kebetulan dipercaya sejumlah pemilik kebun sebagai penjaga. Di satu areal
kebun, tahun 2017, ia bisa menjual 800 buti kelapa dengan harga Rp 1.400 per
butir.
Hasil penjualan itu tidak diambil
pemilik kebun, tetapi menjadi bagiannya. Jumlah upahnya bergantung harga kelapa
di pasar. Anto mengaku mendapat bagian Rp 200.000-Rp 300.000 sekali panen.
Anto memang berupaya menyeimbangkan
antara kegiatannya mencari uang dan melestarikan lingkungan. “Saya menanam dan
memelihara alam dengna niat baik biar nantinya bisa dinikmati orang banyak. Itu
saja keinginan dan kepuasan saya,” ujarnya.
Harapan itu mulai tampak. Kawasan
Pantai di RT 002 Dusun Jambianom kini menjadi kawasan yang rindang, tempat
anak-anak kampung bermain. Sebagian warga juga menjadikannya sebagai lokasi
wisata. [Sumber: Kompas, Selasda, 15 Mei 2018|Oleh:Khaerul Anwar]
Comments