Semangat Baik dalam Lirik
Ferry Curtis (48) menempatkan lirik sebagai gagasan, pengejawantahan, sekaligus wahana diskusi. Jika musik ditempatkan dengan semestinya, dia menjadi jembatan harmonisasi kehidupan. Itulah jalan perjuangan Ferry melalui gitar dan lagu-lagunya yang puitik.
SIANG itu,
di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, Jawa Barat, Ferry bercerita tentang
Indonesia. Dia mengungkapkan keresahannya terhadap banyak ketimpangan. Juga
tentang banyaknya pejabat yang korup. Kami lalu menyinggung penangkapan Gubernur Aceh yang diduga korupsi.
Sekonyong-konyong, Ferry meletakkan
gelas berisi kopinya, lalu mengambil gitar dan menyanyikan lagi “Inong”. Lagu
itu dia tulis pada tahun 2003 ketika berkunjung ke Serambi Mekkah itu.
Penderitaan yang dia lihat di Aceh, dia alihkan menjadi lagu yang lirih,
menyentuh, dan menggugat dalam sentuhan music balada.
Ferry, yang lahir dengan nama asli R
Ferry A anggawijaya, telah menulis lebih dari 250 lagu. Sebagian di antaranay
terhimpun dalam tiga album balada dan tiga album kolaborasi. dia telah keliling
Indonesia, juga menggelar 32 konser tunggal di sejumlah daerah. Ferry juga
dikenal sebagai Duta Baca Yayasan Baca Indonesia.
Hari-hari ini, ayah tiga anak itu
tengah sibuk menyusun buku. Dia mengumpulkan materi-materi yang berserak
tentang latar belakang lagu-lagu yang dia ciptakan. dia memanggil kembali
ingatan-ingatan tentang segala yang dia dengar, liaht dan alami selama proses
pembuatan lagu.
Menyimak lagu-lagu Ferry, terasa
betul gugatannya. akan tetapi, dai selalu menulis dalam struktur kalimat yagn
halus sehingga mirip dengan kata pepatah atau nasihat bijak. Ini pilihan sadar
Ferry, karena dia tidak ingin lagunya menyakiti, terhadap orang yang bersalah
sekalipun. Dia membiarkan semua orang menyimak lagu-lagunya dan ia bersyukur
jika ada orang yang tersentuh mendengar lagu itu lantas memperbaiki diri.
Tidah menuduh
Baginya, itu cara bijak sebagaimana
diajarkan dalam budaya timur. “Saya tidak berani menuduh (lewat lagu) karena
saya belum tentu bagus. Musik harus jadi solusi. Bukan menjadi alat politisasi
isu. Tidak menyakiti orang. Bisa juga music sebagai kiritik sosial, tetapi
jangan menyakiti,” kata pengagum Soekarno ini.
Sejak 2003, Ferry kerap keliling
sejumlah daerah di Indonesia, termasuk kawasan terpencil. Di sana, dia
mendapati kenyataan kesenjangan antara orang kota dan orang-orang pinggiran
kota. Dari pengamatannya, dia menduga salahs atu factor ketertinggalan
orang-orang pinggiran, seperti di Garut Selatan, pedalaman Kabupaten Subang,
atau tepian Kota Makassar, adala hlemanhnya budaya membaca.
Melihat kondisi itu, dia berdiskusi
dengan beberapa rekannya, termasuk Marwah Daud Ibrahim, yang juga kerap mengajaknya ke pedalaman
Indonesia. Diskusi itu lalu melahirkan gerakan literasi, seperti Gerakan
Makassar Gemar Membaca, Gerakan Gorontalo Gemar Membaca, dan Gerakan Anak Jawa
Timur Gemar Membaca.
Gerakan ini dimulai sekitar tahun
2007 dan kini tela hberanak pinak dan diduplikasi di lebih dari 40 temapt.
Semangat literasi itu bertolak dari
lagu Ferry yagn dia ciptakan pada 2001 yang berjudul “Ke Pustaka”. Lirik lagu
ini mengingatkan pentingnya membaca sebagai obat ketidaktahuan.
Kekuatan membaca
Bagi Ferry, membaca menjadi fondasi
utnuk bisa bertaha ndan maju dalam mengarungi kehidupan . Paling itdak, begitu
pengalaman hidup yang dia jalani. Ferry pernah putuhs sekolah ketidka menginjak
kelas III SMA di Kabupaten Purwarkata, Jabar, temapt lahirnay. Dia lalu
berkelana ke Jakarta sebelum akhir nya diajak kakak kandungya, R Budi
Sabarudin, ke Bandung.
Di Bandung, Ferry dan Budi belajar
hidup mandiri. Tiga hari mengamen, tiga hari pergi ke toko buku. Budi sendiri
melanjutkan studi sambil berjualan Koran. Mereka tinggal di kamar kos. “Saya
mengamen berbekal gitar dari ibu. Waktu di Bandung, saya kumpulkan uang. Ini
untuk makan, kos, dan beli buku,” papar Ferry.
Ketika mengamen itu, dia berkenalan
dengan banyak orang termasu keluarga Sitompul yang memperlakukannya dengan
sangat baik. sitompul kerap membayar Ferry Rp 50.000 sampai Rp 100.000, jumlah
yang sangat bersar mengingat waktu itu uang kuliah kakaknya hanya Rp 60.000
tiap semester.
Sitompul, yang pemilik perusahaan
otobus ini, juga memperkenalkan Ferry dengan anak-anaknya, yakni Maria Sitompul
dan Jhonyy Curtis Valentino Sitompul. Bahkan mengajaknya berlibur ke Dumai,
Riau, kampung asal Sitompul.
“Di sana, saya diperlakukan dengan
baik. Mereka Kristen, sayadisediakan makanan padang yang halal,” cerita Ferry,
yang belakangan menabalkan nama panggung menjadi Ferry Curtis karena teringat
kebaikan keluarga Sitompul.
Pengalaman dengan keluarga Sitompul
itu menguatkan keyakinan dalam diri Ferry tentang orang-orang baik di negeri
ini meskipun berbeda suku dan agama. Dia juga ingat ungkapan bahwa kebaikan
yang dia terima belum tentu karena kebaikan yang dia lakukan. Bisa jadi itu
buah kebaikan yang dilakukan oleh ayan
dan ibunya. Ferry tahu betul ibu dan ayahnya sangat baik kepada dia, juga
kepada banyak orang. Dia pun merasa
seolah selalu ditemani ayah ibunya meskipun mereka berjauhan.
Di banyak lagu, Ferry mengungkapkan
cinta, kasih, dan kesabaran ibunya dalam membesarkan anak-anaknya, termasu
kdalam menemain ayahnya pindah dair Jakarta ke Wanayas, sebuah kecamatan di
pinggiran Kabupaten Purwakarta.
Selepas mengamen, Ferry melanjutkan
sekolah setelah mengikuti ujian persamaan. Dia lalu kuliah di Akademi Seni Tari
Indonesia (ASTI)-sekarang Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI)-jurusan teater.
Di kampus ini, Ferry semakin menemukan jati dirinya sebagai penyanyi balada.
Pengaruh ayah-ibu
Kesadaran literasi pada diri Ferry
tak bisa lepas dari kebiasaan kedau orangtuanya, terutama ayahnya, RE Usman
Anggawijaya. ayahnya yang pensiunan juru gambar di Bataafsche Petroleum
Maatschappij (BPM) sangat gemar membaca buku lalu menceritakan isinya kepada
Ferry kecil. Ibu dan ayahnya juga kerap menceritakan kembali pidato-pidato Soekarno yang pernah mereka saksikan. Lambat
laun tumbuh rasa cinta Tanah Air sebagaimana yang dirasakan sang ayah di dada
Ferry.
Kegemaran orangtuanya mendengarkan
lagu-lagu batak, keroncong, lagu-lagu ambon, dan lagu-lagu perjuangan turut
memperkuat hal itu. Ferry kecil gemar bernyanyi sebagaimana kedau orangtuanya.
Menginjak di bangku SMP, Ferry belajar main gitar secar otodidak dengan meminjam
alat music itu dari tetangga. Hingga akhirnya, dia mendapat hadiah gitar dari
ibunya.
Ferry merasa perjalanan hidupnya
mendaki naik dan turun serta memberi banyak pelajaran. Dia selalu ingin
berbagai kepada banyak orang agar bisa bangkit sebagaimana dirinya. Oleh karena
itu, di setiap kesempatan manggung, dia kerap bercerita tentang hidupnya,
tentang latar belakang lagu-lagunya. Dengan begitu, para penonton diajak
merasakan semangat dalam setiap lirik dan petikan gitarnya.
Kebiasaan tersebut ternyata
berdampak positif lain. Dia kerap diundang untuk emgnisi sesi kelasa berbagai Atau
kelas inspirasi melalui cerita dan nyanyian. Beberapa perusahaan badan usaha
milik negara, seeprti Telkom, juga mendatangkan Ferry untuk berbagai di kelas.
Para peserta diminta berbagai cerita lalu menuliskan kata-kata positif di akhri
kelas inspirasi.
Kata-kata tadi lalu digubah Ferry
menjadi lirik lagu yagn ia nyanyikan dengan iringan gitar. Ferry membagi
semangat baik lewat lirik-lirik itu. [Sumber: Kompas, Minggu 8 Juli 2018|oleh:
MOHAMMAD HILMI FAIQ]
Comments