Melestarikan Air untuk Kehidupan

MATAHARI tinggal sebaris merah di ufuk barat di suatu senja pertengahan September lalu, tetapi rumah Damianus Jeot (61) di Desa Bea Muring, Kecamatan Poco Ranaka, Kabupaten Manggarai Timur, NTT, masih gelap gulita. Ia dan keluarganya duduk di ruang tamu. “Tunggu sebentar, ya,” ujarnya.
Jarum jam hampir menunjukkan pukul 19.00 Wita ketika lampu neon di ruang tamu tiba-tiba berpijar. Hanay beberaap detik, lalu mati lagi. Kejadian itu berulagn tiga kali. Baru setelah itu lampu menyala, itu pun hanya sampai pada pukul 22.00.
Kualitas listrik pun tidak konsisten. Aliran listrik yang tidak setabil mengakibatkan lamu berkedip-kedip sepanjang malam. Akibatnya anak-anak susah membaca dan mengerjakan pekerjaan ruma hdi malam hari.
“Biasanya, saya menyruh anak untuk mengerjakan PR sore-sore waktu masi hada matahari,” kata Edel (40), putrid Damianus.
Begitu listrik hidup, Edel membuka keran air untuk emgnisi bak mandi. Air itu akan mereka hemat beberapa hari ke depan. Jika tidak, mereka erpaksa harus membawa jeriken dan mengantre untuk menadah air di mata air yang berada sekitar 300 m dari rumah.
Bagi umat Paroki Santo Damiani, air merupakan kemewahan. Parok iin imencakup enam dari 24 desa di Kecamatan Poco Ranaka, termasuk Bea Muring.
Melihat umatnya kesulitan air dan listrik, Romo Marcelus Hasan, pastor kepala Paroki santo Damiani, mengajak masyarkat membangun pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) di Sungai Wae Nuri, sekitar 2 km dari Bea Muring. “Listrik penting agar masyarakat bisa lebih produktif. anak-0anak juga bisa belajar di malam hari,” kata Romo Marcel, sapaan pastor yang bertugas di paroki itu sejak 2011.
Butuh waktu berbulan-bulan untuk meyakinkan masyarakat yang skeptic keberadaan PLTMH bisa memberi perubahan positif. Kenyataannya, pada 2012, Paroki Santo Damiani sudah bisam enikmati aliran listrik sendiri.
Selama musim hujan, listri kemgnalir lancar Karena debit arisungai besar. Listrik bisa menyala siang dan malam sehingga kegiatan ekonomi masyarakat bisa leibh produktif. Namun, di musi mkemarau, debit air berkurang dratis. Butuh waktu 17 jam agar permukaan air sungai yagn dibendung mencapai ketinggian 1,5 m dan dapat dialirkan untuk menggerakan dynamo pembangkit tenaga listrik. Itu pun hanya bisa memberi listrik selama tiga jam.
Untuk air kebutuhan sehari-hari juga demikian. Ada perusahaan air minum yang mengalirka nair dari Danau Rana Puja, sekitar 15 km dari Bea Muring, ke rumah-rumah warga. Namun, pada musim kemarau, jangan harap air lancar.
Untuk memenuhi kebutuhan air bersih warga terpaksa mengantre di mata air Bea Muring. Sebenarnya mata air itu di sekelilingnya sudah disemen ole hpemda agar bisa menajdi embung penampung air. Namun, dasar embung tidka disemen dan dibiarkan berupa tanah sheingga air malah teserap kembali. Tembok embugn juga retak di beberapa sisi.
“Air dari sumber yang sama juga dipakai untuk menyiram kebu nsayur. Kalau musim kemarau, panen berkurang hingga setengah di musim hujan. Padahal, kebun saya ukurannya tidak smapai setengah ha,” ujar Videlis vigis (42), warga.
Penghijauan
Debit air sumber-sumber air di Paroki Santo Damiani kecil, Warga mengatakan, mereka kerap menebang pohon di bantaran sungai dan mata air untuk dijadikan bahan bangunan. Akibatnya, bantara sungai hanya ditutupi paku-pakuan. Selai ntidak bisa mengikat air, bantaran sungai juga sering longsonr dan mengakibatkan penyempitan aliran air.

Upaya menghijaukan lahan-lahan di sekitar sumber air mulai dilakukan dengan bantuan Yayasan Coca-Cola. “Kami memilih bibit pohon-pohon buah agar yang dipanen buahnya, bukan kayunya,” kata Koordinator Program Yayasan Coca-Cola Agus Priyono. Selain buah-buahan, juga ditanam bamboo sebagai pengganti kayu bangunan. [Sumber : kompas, Minggu, 11 Oktober 2018| Oleh : Laraswati Ariadne Anwar].

Comments

Popular Posts