Menanam Rupiah di Sempadan Kanal Barat
JAKA (55) baru saja mencabut kangkung,
panenannya. Kangkung yang ditanam di tepi Kanal Barat di wilayah Tanah Abang,
Jakarta Pusat itu lantas diikat dan dicucinya.
Air untuk mencuci itu berasal da
irkanal. Jaka memakai mesin pompa untuk menarik air ke sempadan yang lebih
tinggi sekitar tiga meter dari aliran sungai.
“Totalnya ada 300 ikat. Satu ikat Rp 1.500,”
katanya sambil tersenyum, kamis 27/9/2018.
Uang dari bertani diandalkan untuk
mencukupi kebutuhan harian. “Saya punya empat anak, dua di SD dan dua di SMP.
Pekerjaan saya macul. Alhamdullilah,
saya tak pernah ngutang,” ucapnya
Jaka mengolah sampadan Kanal Barat
yang berada di sisi Jalan Tenaga Listrik. Lahan itu memanjang sekitar 300 m
dari jembatan di Jalan KS Tubun kea rah Stasiun Karet.
Keberadaan petani di sempadan,
menurut Jaka, juga ikut mencegah warga membuang sampah ke pinggir kali. Selain
itu, kebun juga membuat areal sempadan jadi lebih bersih dan enak dipandang.
Berjarak sekitar 200 m dari lahan
yagn diolah Jaka, satu keluarga besar juga berkebun di tepi kanal itu. Mereka
terdiri dari sepasang suami istri dengan tiga anak, dua menantu, dan empat
cucu. Ada tiga gubuk yang teruat ari bamboo dan diikat serta dilapisi terpal.
Tono (50), sang ayah, mengatakan
,sudah 6 bulan berladang di sini. Sebelumnya, dia “kucing-kucingan” dengan
petugas satpol PP. Sekali waktu, mereka datang dan menyarankan membongkar
gubuknya. Namun, ia tetap bertahan. Kadang gubuk dibongkar saat penertiban,
lalu dibangun kembali setelahnya.
Toni menanami ladangnya dengan
kangkung, cabai, dan mentimun. Dari kangkung saja, dia mendapat Rp 200.000
setiap panen, sekali sebulan.
Selain bertani, anak sulung Tono,
Zaenudin (29), menjadi pengepul. Lapaknya berada di depan Jalan Tenaga Listrik.
Di gubuk yang dihuni Tono dan
istrinya, Katiyem, terdapat sebuah pesawat televisi.
di guubk Jaka juga dialiri listrik.
Mereka mengatakan, aliran listrik itu disambung dari satu bangunan di dekat
jembatan KS Tubun, Setiap minggu, mereka dikenai biaya Rp 25.000.
Masih di kawsan ini, terdapat sat
ukebun yagn terlihat lebih teratur ketimbang kebun lainnya. Keubn itu berada di
sisi Jalan Petamburan, tepat di seberang kebun milik Jaka.
Sebanyak 80 baris guludan tanaman
cabai merah keriting berbungkus plastic mulsa, berjajar megnahdap Kanal Barat.
Tanama ncabai sudah berbuha, sebagai nmasih hijau dan beberapa sudah merha. Di
ujungkebun terdapat pondok pengolah kebun. Di atas pondok, merambat pohon
anggur yang buahnya masih hijau.
Andiya (49), pengelola kebun
,mengatakan, di lahan 3.000 m² iru, ia Tanami 2500 pohon cabai.
Menurut hitungannya, satu pohon cabai minimal menghasilkan setengah kilogram
selama panen. Artinya, jumlah cabai yang dipanen berkisar 1,2 ton per musim.
Berbeda dengan kebun lain, Andiya
melibatkan warga lain untuk menggarap kebun ini. Saat itu, tiga pekerja tengah
menyemen lantai pondok berukuran 2 x 2m². “Ini untuk
menyortir cabai saat panen nanti,” katanya.
Andiya datagn ke Jakarta tahun 2013
dan menempati rumah di belakang kebun, atau di Jalan Petamburan. Saat datang ke
Jakarta, dia melihat areal sempadan penuh semak belukar dan sampah. Dia
memutuskan menggarap lahan itu.
Berbeda dengan Tono yang sering
diteror petugas satpol PP, kebun Anditya tak pernah ditertibkan. Di kebun itu
terpasang pelagn bertuliskan bahwa ladang itu merupakan mitra binaan Suku Dinas
Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian, Jakarta Pusat. Ada pula perusahaan
yang memberi CSR di kebun itu. Dalam pelang ini disebutkan bahwa kebun milik
Kelompok Tani BKB (Banjir Kanal Barat).
Camat Tanah Abang mengatakan,
pertanian di sempadan Kanal Barat bersifat sementara. Selam sempadan belum
diekruk atau dibangun turap oel hdinas terkait, pihaknya masih menoleransi
warga yang bercocok tanam di sempadan tersebut.
Ia menyayangkan sejumlah warga yagn
tak hanya bertani, tetrapi juga bermukim. “Kalau sekadar mendirikan saung utnuk
mengaso, kami masih beri kesempatan. Namun ,akal ubenar ada yagn tinggal, tidur,
terus mandi dan mencuci di situ, ini kelewatan namanya,” ujarnya awal bulan
ini.
[Sumber: Kompas, Rabu, 17 Oktober
2018|Oleh: EkO]
Comments