Alunan Merdu Persaudaraan
Suling
bambu tidak hanya identik sebagai pengiring gendang dalam irama dangdut. Di
Ambon, alat musik ini justru lebih banyak dimainkan untuk mengiringi lagu-lagu
rohani dan lagu pop. Tidak hanya menghasilkan alunan suara yang indah, harmoni
alat musik ini dengan alat musik lainnya juga mengantar rasa persaudaraan.
SUARA
merdu pneyanyi Oscar harris melantunkan “MY Way” membuai mereka yang hadir
memnuhi Lapangan Merdeka, Kota Ambon, Maluku, dalam penutupan Amboina
International Bamboo Music Festival, beberapa waktu lalu. Ada suara unik
mengiring bait demi bait lagu. Itulah harmoni suara tidak kurang dari 100
suling yang dimainkan para anggota Molucca Bamboowind Orchestra (MBO).
Elemen
orkestra ini memang suling bambu yang dielngkapi dengan alat musik lainnya,
sperti saksofon, flute, gitar, bas, drum, kibor, hingga rebana (terbang).
Penampilannya juga kerap disertai oelh paduan suara. Berbagai lagu mulai dari
lagu-lagu pop ciptaan David Foster hingga musik klasik karya Mozart dan Beethoven
pernha dimainkan kelompok yang dirintis sejak tahun 2005 ini.
Jangan
membayangkan anggotanya adalah siswa dan mahasiswa musik atau bahkan musisi
profesional. Anggot MBO berasal dari berbagai kalangan, mulai dair peljaar SMP,
tukang ojek, penyadap nira, hintta polisi dan PNS aktif.
Meski
begitu, keahlian mereka bermain musik tidak perlu diragukan. Kebesamaan dalam
MBO mengasah kemampuan para anggotanya dalam bermain alat musik masing-masing,
termasuk membaca not balok.
Saat
bergabung dengan MBO. “Dikasih partitur yagn isinya not balok. Bingung setengah
mati karena tida bisa baca. Selama ini, kan, kalau main rebana, ya, main aja,
yang penting pukulannya,” kata Al, panggilannya, salah satu pemain rebana.
Setelah
dibimbing ole hRene, sang konduktor, lama-lamaal paham membaca not balok, apa
itu birama, dan bermain sesuai denga partitur yagn diberikan. Dengan panduan
partitur, ia dengan mudah bermain ketika diminta memegang alat musik
toleng-toleng dan keleper, alat musik tradisional, juga bambu.
Bisa
semakin mendalami musik juga menjadi salah satu keuntungan yang dirasakan Verra
Alfons (29) sejak bergabung dengan MBO tahun 2011.
Dulu,
selama sekolah, ia hanya belajar notasi angka dan memainkan lagu yang itu-itu
saja.sejak bergabung dengan MBO, ia mulai belajar membaca notasi balok,
memainkan berbagai macam lagu, dan berkolaborasi dengan alat musik lain. Verra
sengaja memilih suling suara lima yang bentuknya unik.
Naik
pesawat
Ada lima
jenis suling yagn dimainkan di MBO, yakni suling suara 1 sampai suling suara 5.
Masing-masing suara dimainkan oleh 20 orang sehingga total ada 100 orang pemain
suling. Tinggi rendah suara yang dihasilkan ditentukan dari panjang dan
diameter bambu sebagai material suling.
“Papa
dan kakak laki-laki saya sudah main lebih dulu di MBO. Suatu hari papa ditawari
oleh Om Rence, itu si kecil mau main suling tidak. Saya jawab, saya mau asal
suling suara 5,” kata Verra mantap meski saat itu ia belum bisa memainkanya
sama sekali.
Dalam waktu
singkat, Verra berhasil menguasainya. Orang Maluku memang boleh diadu
musikalitas dan kemampuannya dalam bernyanyi. Konsistensi Verra beralti
hbersama Mbo berbuah manis. Gara-gara bergabung dengan MBO, Verra merasakan
naik pesawat untuk pertama kalinya. Saat itu MBO diundang tampil dalamkonser
Indonesia Wonder of World (WOW) di Ritz-Carlton, Pacific Place, jakarta.
“Maklum
dari kecil belum pernah keluar Ambon. Selama itu hanya lihat pesawat dari
tanah, belum eprnah naik di udara,” kata Verra tertaawa.
Staf Unit
Produksi Badan Usaha Milik Negara (di daerah lain disebut juga BUMD) ini sudah
dua kali ke Jakarta untuk konser bersama MBO. Berkenalan dengan musisi-musisi
terkenal ibu Kota yagn tampil berkolaborasi dengan MBO juga menjadi salah satu
kebanggaan Verra.
Hal serupa
dirasakan Rully Salamena (35) yang bergabung sejak 2005. Relly, yang
sehari-hari sebagai PNS di sebuah kantor dinas, memainkan suling suara 3 yang
menghasilkan nada tenor. Ia bangga karena pernah satu panggung dengan musisi
dan penyanyi idolanya, seperti Glenn Fredly; Barry Likumahuwa, Bob Tutupoly dan
Oscar Harris, musisi asal suriname yang berkarier di Belanda.
“Saya
bisa berjabat tanga, berpelukan, hingga satu panggung dengan mereka,” katanya.
Mencairkan
suasana
Kelompok
MBO yang bersifat komunitas ini dirintis tahu n2005 oleh Maynard Reynolds
Nathannel Alfons. Saat itu, pria yang akraba disapa Rence ini ditugasi ole
hwali kota untuk emngisi acar perayaan ulang tahun Kota Ambon. Rence pun
teringat akan suling yang semakin ditinggalkan. Alat musik tradisional ini
dulunya banyak dimainkan untuk mengiringi lagu-lagu rohani di gereja.
Rence juga
menyadari fungsi musik sebagai pemersatu warga. Ia kemudian mengajak
rekan-rekannya pemain rebana untuk bergabung. Rebana banyak digunakan kelompok
Muslim di Ambon untuk hiburan saat hajatan atau hari ray besar keagamaan.
Sarjana musik
dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini kemudian mengaransemen ulang
berbagai lagu agar bisa dimainkan dengang iringan suling dan rebana. Agar menarik,
permainan juga dipadukan dengan alat musik modern lainnya seeprti dalam band serta paduan
suara.
Dari semula
hanya 20 orang, kini MBO sudah berisi lebih dari orang anggotanya berasal dari
berbagai kalangan profesi dan usia, mulai dari 11 tahun hingga 75 tahun. “Kebanyakan
awalnya tidak bisa main alat musik. Saya ajari satu-satu sampai mereka mahir
seperti sekarang,” ungkap Rence.
Selain tampil
dalam acara umum, MBO juga sering diundang tampil di gereja. Saat itu, para
pemain rebana tidak ketinggalan ikut terlibat, termasuk saat tampil dalam
perayaan nasional Natal tahun 2011. Begitu pula sebaliknya para pemain
Kristiani juga tampil mendukung jika diundang dalam acara-acara keislaman.
“Puji
Tuhan bisa punya teman selain dari agama kami. Kami sudah seperti keluarga
dalam musik,” ungkap Verra.
Hal serupa
diungkapkan Relly yang tinggal di desa yang semua warganya dari kelompok agama
yang sama. “Sudah seperti adik kakak dengan saudara-saudara Muslim. Setiap kegiatan
musik di tingkat kota atau provinsi, kami sering gabung,” kata Relly.
Meski lahir
dari lingkungan yang lebih heterogen. Syahrial pun merasa beruntung karean
bergabung degan MBO memberinya kesempatan bergaul lebih sering dengn
teman-teman dari kelompok agama lain.
“Aku
manusia, mereka juga manusia. Jangan gara-gara konflik sedikit bikin kerusuhan.
Lewat musik, kami bisa bikin hidup bertoleransi lagi,” katanya.
Ia teringat
pengalamanya saat tampil dengan MBO beberapa tahun lalu di Lapangan Merdeka. Acara
selesai bertepatan dengan terjadinya perkelahian antar kampung yang berbeda
latar agama. “Saat itu kami pulang bareng-bareng, saling melindungi lalu
berpisah di daerah Gong Perdamaian,” ungkap Syahrial.
Syahrial
yang sejak kerusuhan besar sempat takut melewati daerah-daerah tertentu kini
tidak lagi merasakan hal itu. Di mana-mana ia merasa memiliki teman. [Sumber :
Kompas, Sabtu, 1 Desember 2018 | Oleh : Sri Rejeki]
Comments