Menanam Mangrove, Memulihkan Lingkungan
Warga
Mangunharjo di pesisir barat Kota Semarang berhasil menanam mangrove seluas 70
hektar di kawasan tersebut. Mangrove tersebut bukan saja menjadi benteng alami
yang melindungi permukiman dari gelombang laut, tapi juga memulihkan
lingkungan.
Sururi
(62) belum tenang meski dirinya dan
kawan-kawannya berhasil menanam mangrove seluas 70 ha di pesisir Kota Semarang,
JaTeng. Ia merasa lahan itu bisa sewaktu-waktu diambil alih pengembang yang
telah membeli lahan itu sejak 2000-an.
Sejak abrasi parah tahun 1998, warga yang mengelola
tambak di daerah itu menjual lahan-lahannya kepada pengembang. Kini, menurut Prof
Sudharto P Hadi, pakar lingkungan Undip, Semarang, yang juga mendampingi Sururi dan
kaawan-kawan, sedikitnya 65% lahan di pesisir Kota Semarang telah dikuasai
perusahaan swasta.
Warga setempat kini menyewa lahan yang telah tergenang
itu dari perusahaan. Pengakuan warga, setiap tahun Rp4 juta-Rp6 juta dibayarkan
sebagai uang sewa. Biaya ini dinilai murah apabila dibandingkan hasil panen
tambak berupa bandenga taupun udang yang berton-ton.
Hasil panen yang tinggi ini diakui warga dirasakan
sejak mangrove yang ditanam Sururi dan kawan-kawan sejak 2000-an itu tumbuh
besar. Gelombang air laut dapat diredam oleh benteng alami pesisir itu. Selain itu,
keberadaan mangrove meningkatkan kualitas kesehatan air.
Selain hasil tambak, sejumlah warga pun menjalankan
perikanan tangka pdengan memburu aneka jenis ikan. Mereka tak perlu lagi
menghidupkan mesin pendorong perahunya ke tengah laut, cukup di dalam dan
sekitar lahan bekas abrasi yang masih tenggelam untuk memasang perangkap
kepiting, udang liar ,dan ikan.
Ketua rukun nelayan gisik makmur di Mangkang
Tetan-tetangga Mangunharjo-Mukharor mengatakna, keberadaan mangrove dirasa
positif bag inelayan tangkap serpt idirinya. Selain melindungi permukiman dari
gelombang laut, mangrove menjadi habitat baik bagi kepiting maupun menahan
berbagai jenis ikan untuk tetap tinggal saat air berangsur surut.
“Kepiting tak mungkin bikin sarang di tempat yang
tidak ada mangrove. Dulu menangkap ikan seharian, hasilnya kurang. Sekarang ikan
banyak karena masuk lama di mangrove,” katanya. Mukharor menunjukkan anak
buahnay yang baru saja menyetor kepiting hasil menaruh bubu (jebakan) semalaman
dekat mangrove ke pengepul setempat seharga Rp 120.000.
Keberadaan mangrove dan upayan restorasi yang dikerjakan
Sururi beserta kelompoknya, Sumber Makmur, pun menarik perhatian perguruan
tinggi. Apabila berlangsung riset ata uproyek penanaman. Sururi selalu
menggandeng Mukharor untuk menyediakan jasa transportasi perahu.
“Malam kami tangkap ikan, lalu pagi sampai siang hari
antar mahasiswa penelitian .saya dapat tambahan penghasilan dari situ juga,”
katanya.
Potensi jasa transportsi inilah yang kemudian
berkembang di kepala Sururi utnuk diperluas menjadi jasa ekowisata mangrove. Mulai
dari atraksi trekking, edukasi mangrove,
hingga penyediaan kuliner setempat berupa bandeng bakar diharapkannya bisa
menajdi sumber penghidupan baru bagi warga setempat.
Namun, wacana untuk mengelola 70 ha yang telah
berhasil dihutankan-dan akan terus diperluas-itu masih menjadi angan-angan. Apalagi
Sururi mengingat lahan yang dihutankan itu merupakan milik perusahaan swasta.
Kawasan lindung
Area tersebut dikuasai pengembang karena awalnya tata
ruang Kota Semarang menempatkan area itu sebagai kawsan industry. Namun kini,
Peraturan Daerah Provinsi JaTeng No.13 tahun 2018 tentang Rencana Zonasi
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil (RZWP3K) Provinsi JaTeng menempatkan
hutan mangrove sebagai kawasan lindung. Perda RZWP3K provinsi jateng ini yang
lalu akan menjadi acuan bagi Kota Semarang untuk memperbaraui tata ruangnya. Prof
Sudharto P hadi mengusulkan agar PemKot Semarang menetapka nhutan mangrove yang
berhasil ditanam di Mangunharjo itu
menjadi ruang terbuka hijau.
Bahkan ia pun mendorong agar Pemkot Semarang
membelinya seperti yang dilakukan Pemkot Surabaya atas hutan mangrove di
Wonorejo. Kemudian, pengelolaan hutan mangrove bisa dikerjakankelurahan atau
kelompok masyarakat.
M Imran Amin, Direktur aliansi Restorasi Ekosistem mangrove
(MERA), mengatakan, inisiatif dan aksi nyata warga ini merupakan modal kuat
untuk bekerja di semarang setela hbekerja sama dnegna PT Djarum yang telah
lebih dahulu memberikan pembiayaan penanaman mangrove di Mangunharjo.
Sebelum mengerjakan penanaman mangrove dari Djarum,
mulai 2000-an, Sururi telah mengerjakan
proyek penanaman mangrove dari PemProv Jateng dan geraka nnasinal
rebosiasi hutan dan lahan (Gerhan) dari Kementerian Kehutanan (kini Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan). Proyek Gerhan berjenti diterimanya pada 2007
yang kemudian mengantarkan Sururi diperkenalkan sudharto P Hadi dengan Djarum.
Menurut Sururi, sebanya k1,4 juta bibit tanaman
disediakan kepada Djarum untuk ditanam di Brebes, Tegal, pemalang, Semarang,
Demak, Pati, Jepara, dan Rembang. Di Semarang, penanaman mencapai hampir
separuhnya, yaitu 650.000 bibit. Risiko kegagalan dalam penanaman mangrove
tinggi karena kondisi gelombang laut atau pun keberadaan ternak kambing yang
memakan pucuk daun bibit.
CEP PT Djarum Victor Hartono menyebut kegagalan
penanaman mangrove bisa mencapai 80%. Hal ini yang salah satunya membuat
pihaknya bergabung dengan MERA untuk meningkatkan keberhasilan pemulihan
ekosistem mangrove di Kota Semarang.
Imran mengatakan, berbagai kegagalan penanaman mangrove
disebabkan perencanaan yang minim. “Kami tak mau sekadar penanaman berapa yang
ditanam, tetapi berapa luas ekosistem mangrove yang fungsi ekologinya telah
dipulihan,” katanya.
Scara teknis, perencanaan dimulai dengna pemetaan
kondisi alam, termasuk arah gelombang, lokasi sungai, hingga jenis mangrove
yang ditanam. Jenis tanaman pun penting karena keanekaragaman hayati merupakan salah
satu factor ekologinya.
Apabila penanaman mangrove berhasil tetapi hanya
berupa satu jenis tanaman, katanya, itu tak ubahnya sebuah htuan monokultur. Artinya,
secara tutupan lahan terpenuhi, tetapi fungsi ekologi belum terpulihkan. Di Mangunharjo,
jenis mangrove yang ditanam sebagian besar berupa rhizophora. Jenis avicenia
tampak di sejumlah lokasi, sedangakan jenis bruguiera
sangat sedikit.
Tak kalah penting, kata Imran, pemetaan social dan
dukungan dari masyarakat hingga pemda pun dilakukan agar restorasi mangrove
mendapatkan dukungan. Di antaranya melibatkan diri dalam perubahan tata ruang
Kota Semarang dan penyusunan Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove di daerah
dinilainya penting agar erncana resotrasi mangrove sejalan dengan perencanaan
daerah.
Selain bekerja di Kota Semarang, MERA yang dibentuk
Yayasan Konservasi Alam Nusantara mengawali kerja di hutan mangrove Kota Jakarta
dengan melibatkan Indofood, APP Sinarmas, Chevron, dan Djarum. Di Dumai dan
Bengkalis, MERA menggandeng Chevron.
“Kami berharap 500.0000 ha mangrovedi seluruh
Indonesia bisa direhabilitasi,” kata Imran. Ia pun menyebut sejumlah 50% mangrove
Indonesia telah hilang akibat aliha fungsi lahan untuk industry, tambak, dan
pemukiman. Di Jawa, sekitar 80% hutan mangrove dinyatakan hilang.
Upaya memulihkan kondisi mangrove seperti ini diakui
tak ringan karena berkerjaran dengan dampak perubahan iklim yang kian terasa
bagi warga pesisir. Keberpihakan kebijakan dan anggaran diperlukan agar benteng alami di pesisir ini kembali
melindungi kawsaan pantai.
Sumber: Kompas, Minggu, 23 juni 2019|Oleh: Ichwan
Susanto]
Comments