Klinik Seni Rupa Lewat Medsos
RE Hartanto (45), pengelola Klinik
Rupa dr Rudolfo di Bandung, Jawa Barat, Kamis (26/4), mempraktikkan
pengembangan teknik mengarsir yang diajarkan melalui media sosial untuk membuat
gradasi warna sebuah lukisan. Klinik rupa ini mengajarkan teknik menggambar
realisme melalui media sosial.
Klinik Rupa dr Rudolfo di Bandung,
Jawa Barat, menawarkan keunikan cara belajar menggambar untuk karya ”drawing”
dan dasar melukis lewat media sosial. Ini menambah deretan program kelas tatap
muka yang semakin ditinggalkan.
”Ini khusus untuk belajar menggambar
atau melukis realisme. Orang bilang, berkarya di dalam seni rupa itu tidak ada
benar atau salah. Ternyata, untuk membuat karya realisme, benar atau salah itu ada,”
ujar Ristyo Eko Hartanto (45), Kamis (26/4/2018), di Bandung.
Nama depan Ristyo Eko disingkat
sebagai RE menjadi RE Hartanto. Singkatan RE itu kerap dipertanyakan orang dan
Hartanto menjawab dengan bercanda bahwa RE itu kependekan dari Rudolfo Eduardo.
Inilah yang kemudian dipelesetkan
menjadi nama Rudolfo untuk nama klinik rupanya. Imbuhan ”dr” atau dokter di
depan Rudolfo pun semata imbuhan imajiner, bukan nyata.
Hartanto lulusan Jurusan Seni Murni
Studio Seni Lukis Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 1998. Klinik Rupa dr
Rudolfo sudah dimulai sejak 21 Oktober 2014 dan berjalan hingga sekarang.
Hartanto menggunakan medsos,
khususnya WhatsApp, Instagram, dan blog internet, untuk memberikan pelatihan.
Pesertanya berbayar hingga sekarang sudah puluhan peserta didiknya. Peserta
terbanyak dari Bandung dan Jakarta. Namun, saat ini ada pula peserta yang
tinggal di Sorong, Papua Barat.
Belajar menggambar di Klinik Rupa dr
Rudolfo ibarat belajar bahasa asing. Kuncinya, setelah mengetahui tips dan
trik, harus dilanjutkan dengan latihan. ”Di sini tidak ada jalan pintas untuk
menjadi seniman,” ujar Hartanto.
Mengarsir
Urusan benar atau salah untuk
menggambar realisme, menurut Hartanto, mengacu pada dua hal, yaitu hukum cahaya
dan perspektif. Untuk mewujudkan karya dengan cara mengarsir, misalnya, hukum
cahaya memengaruhi gelap terang arsiran. Perspektif memengaruhi dimensi dan
komposisi obyek yang digambar.
”Mengarsir itu seperti adiksi atau
repetisi. Mirip bukan target, tetapi mirip adalah dampak dari tafsir observasi
gelap terang,” kata Hartanto.
Tidak semua orang bisa mengarsir
dengan baik. Orang tremor atau mengalami gangguan motorik tangannya akan
menjumpai kesulitan dalam belajar mengarsir.
Bagi pemula, mengarsir juga bukan
hal sederhana. Karena itu , di Klinik Rupa dr Rudolfo diajarkan teknik senam
tangan. Caranya menggunakan pensil grafit untuk membuat arsiran dengan berbagai
arah.
Sifat adiksi atau ketagihan dan
repetisi atau pengulangan itu yang diharapkan dari senam tangan ini. Ini
membentuk ”neural pathway” atau kerja neuron otak yang merekam
kemampuan-kemampuan yang diulangulang. Pada akhirnya orang akan dengan mudah
melakukan hal tersebut.
Seperti orang belajar berjalan atau
belajar berenang atau belajar naik sepeda. Ada hal adiksi dan repetisi. Ada sesuatu
yang menagih untuk dilakukan secara berulang-ulang.
Pada akhirnya, otak menerima dan
memberi kemampuan sesuai yang diharapkan dengan adiksi dan cara repetisi
tersebut. Seperti itulah trik dan tips Hartanto melalui metode senam tangan
untuk mengarsir. Proses belajar yang mengasyikkan merupakan adiksi. Ketika
tidak bisa mengasyikkan, tidak bisa menjadi adiksi.
Untuk mengawali penerimaan peserta
didik, Hartanto memperlihatkan materi untuk digambar berupa tengkorak. Mengapa
tengkorak?
Hartanto menjawab, selain memiliki
kedekatan dengan tubuh dan diri kita, tengkorak memiliki banyak relung yang
menimbulkan dampak gelap terang di banyak ruang. Dengan menggambar tengkorak
itu, Hartanto menilai tingkat kemampuan calon pesertanya.
Kemudian ia mempraktikkan cara
mengajar lewat medsos. Di studionya, ia mengambil secarik kertas dan sebuah
pensil kemudian diletakkan di meja.
Sebuah telepon seluler dipasang di
tripod mini untuk merekam aktivitas Hartanto. Saat itu Hartanto mengarsir dan
membentuk gambar mata. Ia merekam video dengan telepon selulernya. Rekaman
video itu menjadi salah satu bahan ajar di Klinik Rupa dr Rudolfo.
Kemampuan melihat
Seorang perupa yang hebat bukan
terletak pada kemampuan tangannya. Ternyata yang hebat itu pada kemampuan
melihat atau mengobservasi obyek yang ingin digambar. Ternyata pelukis yang
hebat itu matanya.
”Melukis yang benar dimulai dari
melihat yang benar. Ada teknik observasi untuk itu,” kata Hartanto.
Hartanto kemudian mempraktikkan
menggambar wajah. Tips dan trik untuk teknik observasinya meliputi, pertama,
mengambil fokus area segitiga mata, hidung, dan mulut.
Kedua, membagi kluster-klusternya
dan akan mengerjakannya per kluster. Langkah ketiga adalah ”zooming” atau
pembesaran pada bagian obyek tertentu. Hartanto mengambil contoh obyek mata
dengan pembesaran pada sudut mata.
”Putuskan besarnya sudut mata itu.
Sebelum diputuskan, tangan tidak boleh menggambar,” kata Hartanto.
Dari titik tertentu itu kluster demi
kluster akhirnya diwujudkan. Menggambar itu dengan mata yang hebat, seperti
halnya seorang pemusik itu kupingnya yang hebat. Seperti pemasak, hidung dan
lidahnya yang hebat.
Hartanto menjalankan Klinik Rupa dr
Rudolfo bekerja sama dengan kelompok Toko Buku Kecil (Tobucil) & Klabs.
Akun Instagramnya adalah @rehartanto dan @tobucil untuk informasi jadwalnya.
Sebenarnya, selain dengan dunia
maya, Klinik Rupa dr Rudolfo juga membuka kelas tatap muka. Untuk satu kali
pertemuan selama tiga jam.
Kelas Spartan secara jangka panjang
ditujukan untuk kelas melalui medsos secara one on one atau satu peserta dengan
satu pengajar. Meski demikian, bisa pula peserta meminta untuk tatap muka.
Program Spartan ini dirancang khusus
untuk kepakaran menggambar potret realisme optis. Kewajiban peserta meluangkan
waktu latihan selama 7-10 jam per minggu dengan lama waktu sesuai yang
disepakati. Pesertanya dibatasi minimal berusia 14 tahun.
Materi kelas untuk pemula meliputi
mematangkan arsiran, pembentukan obyek, menafsir gelap terang pada obyek dengan
kontras tinggi. Untuk kelas lanjutan, materinya pendalaman gelap terang pada
obyek kontras tinggi dan rendah, dan berpikir tiga dimensi di bidang datar.
Selanjutnya, di kelas mahir,
materinya berupa pengenalan warna hangat dan warna dingin, penguasaan warna
kulit, dan komposisi warna. Lamanya mengikuti semua pembelajaran ini adalah 2
hingga 24 bulan sesuai kemampuan dan ketekunan peserta didik.
”Ketika kita belajar menggambar,
kita harus menghadapi kritikus yang paling sadis, yaitu diri sendiri,” kata
Hartanto.
Diri sendirilah yang pertama kali
menilai setiap hasil dari tindakan kita. Kritik dari diri sendiri bisa datang
bertubi-tubi kemudian memunculkan keraguan dan tindakan merevisinya. Namun,
seperti itulah belajar menggambar. Semua tidak ada yang serba instan.
Klinik Rupa dr Rudolfo menunjukkan
bahwa setiap hasil melalui proses yang tidak bisa serba instan.
.[Sumber: Kompas, Minggu 6 Mei
2018|Oleh: Nawa Tunggal]
Comments