KARET RAKYAT yang Merana
Tanaman karet yang selama ini menjadi andalah perekonomia
bagi petani di Kalimantan Barat kian terpuruk. Nasibnya menunggu sentuhan
pemerintah.
FLORIANUS (45),
warga Kabupaten Ketapang, Kalbar, memandangi kebun karet seluas 1 ha milikny.
Sudah beberapa bulan terakhir, kebun yang dulu menjadi penopang hidup
keluarganya itu merana. Mangkuk kecil tempat penampungan cairan karet tampak
terbelah dan ditumbuhi lumut. Demikian pula di bagian batang pohon, tidak
tampak lagi goresan bekas pisau karean sudah lama tidak disadap.
Jalan-jalan setapak di kebun karet itu juga mulai tertutup
rumput liar yagnsemakin meluas, bahkan hingga menjalar ke batang karet.
Pohon-pohon di kebun itu berusia 15 tahun hingga 20 tahun.
Florianus dan istrinya sudah lam atidak menyadap kebun itu
karena harganya tidak menarik. Harga karet di tingkat petani beberap atahun
terakhir hanya Rp 4.000 – Rp 5000 per kg. Kalaupun ada kenaikan menjadi Rp
7.000 per kg, hanya bertahan beberapa hari saja. Setelah itu kembali anjlok.
Kebun karet itu warisan orangtua Florianus. Dari kebun itu
pula dulu orangtuanya bisa menyekolahkan Florianus meski hanyas sampai tamat
SMP. Kebun karet itu dulunya juga diandalkan untuk biaya keperlua hidup mereka
sehari-hari.
Saat harga karet mencapai Rp 20.000 per kg sekitar 12 tahun
lalu, semangat menyadap karet tinggi. Namun, sejak harganya anjlok dan tidak
adanya kepastian pemerintah tentan penataan masa depan karet, perlahan mereka
tak lagi menyadap karet.
Florianus bhakan perlahan mengganti karet dengan komoditas
lain yang dinilainya lebih menjanjikan. “Di sini akan saya mulai tanamai sawit.
Mungkin bisa lebih menjanjikan,” ujarnya.
Selain mencoba tanaman di perkebunan sawit dengan gaji
sekitar Rp 2 juta per bulan. Hal itu dilakukan untuk menyelamatkan ekonomi
keluarganya yang sulit bertempu lagi pada karet. Apalagi, ia memiliki dua anak
yang masih sekolah.
Harapan yang memudar terhadap karet juga dirasakan petani
lainnya. Matius (40). Dia kini lebih banyak mencari pekerjaan sebagai tukang
bangunan dan mengurus kebun sawitnya meski tidak luas. “Sesekali masih menyadap
karet,” katanya.
Ia juga tidak berniat untuk memperluas kebun karetnya karena
tidak mampu secara finansial. Bahkan untuk sekadar meremajakan tanaman supya
produktivitasnya meningkat pun tidak mampu dilakukan karena ekonominya terpuruk
terus seiiring terpuruknya harga karet.
Kesenjngan kebijakan
Guru Besar ilmu ekonomi Universitas Tanjungpura, Pontianak,
Eddy Suratman menilai, karet terpuruk karena, ada kesenjangan kebijakan
pemerintah. Sawit lebih mendapat perhatian serius dari pemerintah karena
terkait kepentingan elite swasta yang berinvestasi besar untuk komoditas itu.
Sementara karet lebih banyak diusahakan rakyat.
“Maka, beberapa waktu lalu, pemerintah sampai bekerja keras
melobi Eropa agar ekspor minya sawit mentah (CPO) tidak terhambat. Namun, saat
kondisi karet terpuruk, upaya penyelamatan tidak sekeras itu,” ujar Eddy.
Kondisi kian buruk karena masalah karet ternyata tidak hanya
pada anjloknya harga. Di tingkat hulu, peremajaan belum dilakukan. Padahal,
penting untuk meningkatkan produktivitas. Bantuan bibit kepada petani sudah
sering dilakukan. Namun, hal itu belum memperhatikan efektivitas program. Peta
jalan kebijakna juga ada, tetapi pada tataran implementasi tidak jelas.
Berdasarkan catatan Kompas, akibat tanaman berusia tua,
produktivtas kareat di Kalbar hanay berkisar 600-700 kg per ha per tahun. Kalau
diremajakan, produktivitas bisa mencapai 1,8 ton per ha per tahun. Bahkan,
jika ditunjang dengan pola pemeliharaan
yang benar, bisa melonjak lagi menjadi 2,5 ton per ha per tahun.
Peningkatan produktivitas setidaknya bisa sedikit membantu
meningkatkan pendapatna petani di tengah anjloknya harga.
Sebagai perbandingan produktivitas lahan karet di Thailand
1,8 ton per ha per tahun.
Masalah lain adalha tata niaga karet yang emmagn belum baik.
Spekulan masih “bermain” Perlu badan khusus di daerah yang membeli karet dengan
harga layak saat harga anjlok. Di hilir, perlu industri yagn meastikan
penyerapan dalam negeri optimal.
Terpuruknya harga karet berdampak pada nilai tukar petani
(NTP) Kalbar. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kalbar, NTp terus turun
beberapa bulan terakhir. Pada juni, NTP Kalbar 95,69 turun 0,61` dari Mai. Pada
juli, NTP turun lagi menajdi 95,5. Pada Agustus, NTP Kalbar kembali merosot
menjadi 94,46. Artinya, kesejahteraan petanik kian menurun.
Karet pulu menjadi perhatian karena masih banyak warga yang
bergantung pada komoditas itu. Berdasasrkan Data Dinas Perkebunan Provinisi
Kalbar tahun 2017, ada 321.214 keluarga petani karet di Kalbar.
Tanaman karet yang berusia muda seluas 184.126 ha, tanaman
menghasilkan 337.840 ha, tan tanaman yagn rusak atau tua 84.013 ha. Adapun
jum;ah produksi karet di Kalbar mencapai 273.865 ton.
Direktur ID mengatakan, karet petani penting untuk terus
dipertahankan. Karet tidak hanya dipandang dari sudut ekonomi untuk kemandirian
masyarakat, tetapi juga penting sebagai baigan dari kearifan lokal.
ID pernah melakukan penelitian mengenai komoditas karet
rakyat. Hasilnya, kebun karet petani mencerminkan keanekargaman hayati karean
didalamnya biasanya ada juga berbagai tanaman, termasuk tanaman obat-obatan
yang sangat bermanfaat.
Namun, sistem investasi yang diterapkan pemerintah membuat
nasib komoditas karet tidak pasti karena tidak ada kebijakan yang melindungi
petani. Masyarakat akhirny putus asa sehingga mengganti karet dengan sawit
sehingga sekarang banyak lahan yang menjadi monokultur.
Belum ada program peremajaan karet karena anggarannya belum
ada. Untuk memperbaiki tata niaga karet sudah dibentuk 10 unit pengolahan
pemasaran bokar, tetapi sebagian besar belum begitu aktif. [Sumber://Kompas.Jumat,23November2018|Oleh:EmauelEdiSaputra/].
Comments