Tolak Tambang Sudah lama


Penolakan tambang di Kecamatan Silo, Kabupaten Jember, Jawa Timur, terjadi karena kesadaran masyarakat terkait dampak lingkungan. Selain itu, mereka juga hidup sejahtera dari hasil kebun. PENOLAKAN warga di Kecamatan Silo, Jember, Jawa Timur, terhadap pertambangan emas sudah muncul sejak lama.
Masyarakat sudah puas dengan hasil kebun yang berlimpah. Mereka khawatir tambang bakal merusak lingkungan dan membuat mereka kehilangan mata pencaharian.
“Penolakan masyarakat terhdapa tambang di Silo bukan hanya kali ini. Sejaka zaman kakek kami, upaya penolakan tambang sudah dilakukan,” ujar Ketua Forum Masyarakat Silo Hasan Basri di Jember, Senin (11/2/2019).
Hasan mengatakan, upaya membuka pertambangan di Siulo suah ada sejak 1967. Saat itu sejumlah peneliti dari dalam dan luarnegeri melakukan observasi tambang di Silo.
Observasi tambang tercatat dilakukan tahun 1967, 1984, 1991, 1996, 2005, dan terakhir 2018. Bahkan, penambangan pernah dilakukan tahun 2010. “Saat itu muncul tambang illegal. Namun, hanya sekitar dua minggu. Ditutup karena ditolak warga,” kata Hasan.
Kisah penolakan juga pernah terjadi tahun 1999. Saat itu, sebuah alat pertambangan milik perusahaan dibakar warga.
Hasan mengatakan, kesadaran masyarakat akan dampak buruk tambang muncul karena kesadaran lingkungan. “Berdasarkan pengalaman warga, saa musim tebang karet, debit air sumur berkurang. Warga akhirnya sadr bahwa pohon ditebang dan lingkungan dirusak, akan kesulitan air,” ujarnya.
Bowo (45), pekebun kopi di Desa Pace, Kecamatan Silo, mengatakan sudah cukup sejahtera dari hasil kebun.  “Kebun saya seluas 1 ha saya tanami kopi, avokad, durian, dan petai. Hasil kebun cukup untuk menghidupi anak dan istri saya,” ujarnya.
Dari kebun, dia memanen 2 ton kopi per tahun. Harganya Rp 46 juta. Selain itu, dia mendapat 24 kuintal avokad. Belum lagi durian dan petai. Pertambangan dinilai justru akan membuat tidak sejahtera.
Dari perbincangan
Penolakan bahkan disampaikan pedagang di Pasar Lumbung, Silo. Salah satunya Maidah (45). Dia mengatakan, tambang akan mencemari lingkungan. Zat-zat yang digunakan dalam pertambangan beracun dan berbahaya bagi kesehatan.
“Saya mendapat informasi tersebut saat bertemu pembeli atau sesame pedagang lain. Di pasar sudah biasa membahas bahaya pertambangan. Karena itu, saya menolak pertambangan karena dampaknya mengerikan,” ujarnya.
Menurut Kepala Dusuun curah Wungkal Safudin Saleh (40), informasi mengenai dampak pertambangan biasa didengar warga saat berkumpul. Diskusi tentang tambang muncul dalam pengajian, ronda, dan obrolan warung.
“Para kiai dalam khotbah dan tausiah kerap menyinggung dampak pertambangan. Karena pemahaman yang sama terhadap dampak tambang, masyarakat kompak menolak tambang,” katanya.
Dosen Fakultas Ilmu social dan Ilmu Politik UNJEM, Muhamad Iqbal, mengatakan, penolkan masyarakat menunjukkan ada modal social di Silo berupa komunikasi public yang baik. Hal itu tampak dari munculnya gerakan komunal yang kuat dan satu suara dalam menolak tambang.
“Masyarakat Jember secara kultural adalah santri dan nahdiyin sehingga pesan yang disampaikan para tokoh agama dan masyarakat mudah ditermi dan dilaksanakan oleh masyarakat di akar rumput. Ada kepercayaan kuat terhadap para tokoh. Masyarakat percaya, yang disampaikan tokoh masyarakat dan agama itu untuk melindungi masyarakat,” katanya.
Iqbal menilai, kesadaran kolektif tersebut juga muncul karean ada peran dari eksekutif, dalma hal ini PemKab Jember, dan legislative, yakni DPRD Jember. Kedau pihak yang juga menolak tersebut mendekati simpul-simpul masyarakat sehingga muncul gerakan komunal yang sangat kuat. Penolakan tambang di Silo, ujar Iqbal, bisa menjadi contoh bagi daerah lai ndalam menghadapi maraknya pertambangan. [ Sumber : Kompas, Selasa, 12 Februari 2019 | Oleh : GBR]

Comments

Popular Posts