DEDIKASI Si Penanam Bakau
Agus
Bei dan mangrove seolah tidak terpisahkan. Tak terhitung berapa hektar mangrove
yang ia pulihkan di Balikpapan. Beberapa penghargaan ia terima. Namun, buatnya,
menikmati mangrove tumbuh dan memberikan kerindangan jauh lebih memuaskan
daripada penghargaan.
Awal
januari ini, Agus menerima penghargaan dari PemProv Kaltim sebagai Tokoh
Berjasa dan Masyarakat Beprestasi 2018. Itu adalah penghargaan kesekian yang
diterima Agus. Sebelumnya, ia menerima Kalpataru 2017 untuk kategori perintis
lingkungan.
“Saya
enggak memikirkan penghargaan sebagai pencapaian. Tetapi siapa, ya, yang
sekarang masih memikirkan mangrove, mengupayakan agar terus ada, bertambah, dan
mau menanam,” ujar Agus (50), saat ditemui di Mangrove Center Balikpapan, Jumat
(18/1/2019) sore. Mangrove terdiri atas beragam tanaman tropis yang toleran
terhadap garam, mampu tumbuh di lahan basah, dan tahan dengan pasang surut air
laut.
Mengobrol
bersama Agus, pria kelahiran Banyuwangi 28 September 1968, ini topic
pembahasan memang tidak jauh-jauh dari
persoalan mangrove. Sejak pertama Kompas menemuinya pada pertengahan 2011,
nyaris tidak ada yang berubah dari dirinya. Setiap sore, dia sering terlihat di
tepian sungai dekat rumahnya yang pemandangannya indah. Lokasi itu tidak lain
adalah ujung dari mangrove atau hutan
payau seluas lebih kurang 150 ha yang dikenal dengan nama Mangrove Center
Balikpapan.
Kawasan
itu, pada Juli 2010, di canangkan sebagai kawasan konservasi oleh Wali Kota Balikpapan saat itu
(Imdaad Hamid). Agus adalah “arsitek” di balik Mangrove Center Balikpapan.
Tidak hanya karena ia orang pertama yang menanam bakau-salah satu jenis tanaman
mangrove-tahun 2001 dan melestarikan lingkungan, tetapi juga mewujudkan tempat
wisata baru. Tiga-empat tahun terakhir,
Mangrove Center menjadi tempat wisata favorit
masyarakat Balikpapan dan sekitarnya.
Tempat
wisata itu tidak dikelola oleh pemerintah dan tak mendapat kucuran APBD.
Wargalah yang menggerakkannya atas dorongan Agus.
Mangrove hilang
Cerita
berawal tahun 2001 ketika Agus mudik ke kampong halamannya di Banyuwangi, Jawa
timur. Saat kembali, Agus kaget karena 3 ha mangrove di depan rumahnya habis dibabat untuk
dijadikan areal tambak. Padahal, Agus memilih lokasi rumah di kompleks Graha
Indah itu karena teduh oleh rerimbunannya mangrove.
Setelah
mangrove itu lenyap, Agus merasa lingkungan yang dulu sejuk berubah jadi panas.
Angin kencang kerap langsung menabrak rumahnya. Selain itu, air pasang kerap
masuk ke rumah. Bekantan-bekantan yang sering nongol di rerimbunan mangrove
kabur entah ke mana.
Beranajak
dari perubahan dratis itu. Agus mulai berpikir tentang pentingnya mangrove.
Saat itu, ia tidak tahu apa pun soal mangrove sehingga ia mulai membaca
buku-buku dan bertanya kepada orang yang mengerti soal mangrove. Setelah
mendapat beberapa pengetahuan tentang mangrove. Agus mulai menanamnya. Namun,
ia kerap gagal. Ternyata jenis tanaman mangrove
yagn berbeda mesti ditangani dengan cara berbeda pula.
Saat
itu, pentingnya mangrove bagi lingkungan belum banyak disuarakan. Karena itu,
ketika Agus mulai menanam kembali mangrove, banyak orang yang menganggap Agus
kurang kerjaan dan aneh. “Keanehan” itu menjadi lebih terasa lagi karena untuk
menumbuhkan mangrove hingga menjulang tinggi butuh waktu sekitar 10 tahun.
Begitu
mangrove itu mulai mendatangkan kembali kesejukan dan suasana rindang,
masyarakat baru benar-benar sadar betapa pentingnya mangrove.
Pada
2005, Agus menjadi ketua RT. Ia pung
menggunakan jabatannya untuk mengajak warga menanam kembali mangrove. Saat itu,
ia sudah melihat potensi untuk menyulap daerah mangrove itu sebagai lokasi
wisata. Agus merasa perlu mengembangkan daerah itu deming menggerakkan
perekonomian warganya.
Ia
tahu bagaimana “menjual” kawasan mangrove ini asalkan dikemas semenarik
mungkin. Ia pun membuat paket wisata menyusur sungai dengan kapal kayu sembari
menikmati hamparan mangrove- sebagian mangrove primer-dan meliaht kawanan
bekantan. Titik lokasi Mangrove Center Balikpapan yang hanya 12 km dari pusat
kota tidak terlalu jauh dijangkau. Sore hari, kawasan ini jadi tempat favorit
pengunjung.
“Balikpapan
beruntung masih punya hamparan bakau,
berikut bekatnan. Namun, bakau makin habis dibabat untuk permukiman dan kawasan
industry. Orang tahu manfaat bakau, tapi enggak banyak yang benar-benar
mengupayakan agar baku lestari, apalagi menambahnya,” kata Agus.
Agus
menjalankan Mangrove Center Balikpapan tidak mengadalkan APBD. Ia mengeluarkan
uang sendiri untuk mempercantik kawasan ini, membeli papan-papan ulin untuk
dermaga sandar kapal, membeli kapal kayu, hingga membeli semen untuk membuat
patung bekantan.
Mangrove
Center Balikpapan sekarang tampak cukup apik karena satu demi satu perusahaan
dan instansi datang memberikan dukungan.
Sejak tiga bulan lalu, sudah berdiri
gerbang dari tembok dan jumlah toilet untuk wisatawan mulai ditambah.
Dia
tak lagi menghitung uang untuk membeli bahan bakar kapal, juga berapa jenis
mangrove yang sudah ditanam. “Saya hanya berharap pohon-pohon ini tumbuh besar.
Itulah peninggalan saya untuk anak cucu, untuk generasi penerus, untuk
Balikpapan, untuk lingkungan,” kata Agus.
Sembari
bekelakar. Agus menyebut, jika dia tak mengurusi mangrove, sudah berderet mobil
di gang depan rumahnya. Demi mangrove, awalnya Agus mengorbankan pekerjaannya
sebagai kontraktor yang bergerak di bidang kontruksi bangunan. Sekarang,
kecintaannya akan mangrove menghidupinya.
“Saya
kadang bingung, Biaya operasi Mangrove Center Balikpapan tinggi, tapi ada saj
uluran tangan dari kanan-kiri. Dari situ saya semakin yakin bahwa manusia cukup
berusaha sebisanya. Urusan rezeki, sudah diatur Tuhan,” ujarnya.
Agus
sering diundang utnuk acara terkait mangrove, mulai seminar, mendampingi
masyarakat yang hendak menerapkan konsep serupa Mangrove Center Balikpapan,
hingga menanam mangrove di mana-mana. “Saya tukang tanam mangrove,” ujarnya
merendah.
Tidak
heran ketika melihat bakau dibabat atau habis, ekspresi wajah Agus langsung
berbalut keseihan. Kompas masih ingat
ketika Mei 2013, Agus menunjukkan 2 ha mangrove di kawasan Mangrove Center
Balikpapan yang dibabat untuk pemukiman.
Belum
lama ini Agus juga sedih karena sepetak mangrove dekat rumahnya tersambar
petir. Batang-batang mangrove yang ditanamnya 10 tahun ini sebentar lagi
mongering dan mati. “Butuh 15 tahun untuk tumbuh 10 meter. Hanya sekejap
membuatnya habis,” katanya.
Comments