Bertani Tanpa Bakar Lahan
Setelah tiga tahun tak
berani menanam padi, warga Desa Sebangau Mulya kini bernapas lega. Sudah ada
alternatif cara membuka lahan tanpa membakar yang memberi hasil panen melimpah.
# Kepala Desa Sebangau Mulya Hariwung (tengah) berdiri di dekat
demplot seluas 13 hektar di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Kamis
(6/3/2019). Demplot tersebut dibuat untuk pengelolaan lahan tanpa bakar (PLTB).
Tiga
tahun lamanya petani di Desa Sebangau Mulya, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan
Tengah, enggan berkebun. Alasannya takut ditangkap saat membakar lahan. Selama
itu, mereka bertahan dengan hasil panen tahun 2015 sambil menahan kekhawatiran
bahwa beras akan habis. Dari kegetiran itu, pemdes mencari solusi
dan berinovasi.
Petani di desa itu hanya tahu cara
membuka dan membersihakn lahan dengan membakar. Tahun 2016-2017 dua orang
ditangkap aparat karena membakar lahan. Meski tidak dipenjara, hal itu
menimbulkan kekhawatiran pada petani.
Berdasarkan data desa, ada 20
keluarga memilih keluar dari desa setelah bencana asap serta pelarangan
membakar hutan dan lahan. Sebagia npulang ke kampung asal karena mereka
transmigran. Sebagian lagi memilih kerja di kebun sawit.
Seorang petani, Suparmin (71),
menuturkan, kebiasaan membakar sudah dilakukan turun-temurun. Kebiasaan itu
tidak hilang sejak ia dan keluarganya mengikuti program transmigrasi pada 1982
ke Pulang Pisau.
“Kalau membakar hasilnya banyak,
enggak keluar uang. Intinya tiga M, yaitu, murah, mudah, dan (hasilnya)
memuaskan,” kata Suparmin di Sebangau Mulya, Kamis (7/3/2019).
Sejak dilarang membakar, hampir tiga
tahun Suparmin mencoba menanam padai tanpa membakar. Namun, taka da hasil.
Menurut dia, penen itu hanya penen penghormatan.
“Maksudnya, kalau karung ditaruh di
atas pundak, tangan yang membawa bisa menyentuh kepala seperti hormat bendera.
Kalau panen melimpah, tangan enggak bisa sentuh kepala saking banyaknya panen”,
tutur Suparmin.
Kepala Desa Sebangau Mulya Hariwung
mengatakan, kegetiran itu membuat ia rela masuk penjara dan mengizinkan warga
tetap membakar lahan untuk memenuhi kebutuhan.
“Lalu saya berpikir, pemerintah pusat
melarang ,tetapi tak ada solusi. Nah, solusi ini yang harus dicari,” ujar
Hariwung di ruang
kerjanya.
Mencari solusi untuk mengganti kebiasaan membakar lahan bukan tanpa
kendala. Di kawasan gambut, keasaman airnya cukup tinggi. Selain itu, sebagian
besar lahan juga direndam air gambut sehingga berbentuk rawa.
Dengan membakar, petani diuntungkan karena mengurangi biaya operasional.
Membersihkan 1 ha lahan bisa dilakukan satu orang saja, sedangkan membuka lahan
tanpa membakar petani harus melibatkan banyak orang.
Belum lagi serasah bekas pembersihan harus dibusukkan dengan proses
lebih lama. Kalau tidak, tanaman tidak bisa bertahan lama. Dengan membakar,
serasah akan langsung menjadi abu yang sekaligus berfungsi sebagai pupuk.
Demplot PLTB
Hariwung dan beberapa petani akhirnya memutuskan membuat demplot
percobaan pengelolaan lahan tanpa bakar (PLTB) . Ia menyikan anggaran Rp 200
juta untuk pengoperasiannya. Anggaran itu diambil dari dana desa.
Lahan hutan sekunder seluas 13 ha dibuka. Pengerjaan dilakukan oleh 74
petani warga setempat. Para pekerja diberi honor harian.
“Saya sudah membicarakan dan memasukkan dalam program desa. Hal itu
sudah disetujui masyarakat, pemrintah desa, bahka nbadan pemusyawaratan desa,”
ucap Hariwung.
Hariwung dan masyarakat didampingi banyak pihak, seperti BPP Sebangau,
WWF Indonesia di Kalteng, dan Kemitraan yang merupakan mitra kerja Badan
Restoraasi Gambut (BRG).
Erlangga Risambaar Prizativan, penyuluh pendamping Desa Sebangau Mulya,
menuturkan, pihaknya menyiapkan bantuan berupa 300 kg benih padi jenis NI
dikumpulkan sendiri oleh masyarakat sekitar 200 kg lebih.
“Kami sudah melakukan penelitian dan percobaan di kantor. Padi mem.
berano dan gogo yang paling cocok di Sebangau Mulya. Tidak hanya
memberikan benih, kami juga mendampingi dari awal hingga akhir,” ujarnya.
Erlangga menjelaskan, dari sejarah petani transmigran di Pulang Pisau lebih
sering menggunakan jenis padi NI. Padi rentan penyakit dan membutuhkan
intervensi khusus karena ditanam di lahan gambut.
Lahan seluasa 13 ha dibagi menjadi dua, yakni untuk kawasan membrano dan
gogo, sebagian lagi untuk padai NI. Kedua varietas ini ditanam di waktu yang
berbeda. Padai Memberamo dang gogo ditanam pada Oktober 2018, padai NI ditanam
awal November.
Hasilnya, masyarakat mulai memanen padi Memberamo pada Februari 2019.
Hasil panen sekitar 2 ton padi Memberamo
dan gogo. Berikutnya, panen padi NI juga menghasilkan sekitar 2 ton.
“Kualtias padi Memberamo dan gogo lebih baik, kalau padai NI rentan
penyakit dan kurang melimpah,” ucap Erlangga.
Rosenda Chandra Kasih, Coordinator Landscape USAID Kalteng, menyatakan,
pihaknya menciptakan tata kelola air. Mereka membangun sekat aknal yang
membelah 13 ha lahan tersebut.
“Tidak hanya sekat kanal, kami juga membangun selam pengawasan,
mengadakan pelatihan, dan memberikan bibit pisang untuk menjadi pagar demplot,”
katanya.
Menurut Rosenda, adanay demplot dan inisiatif untuk menggunakan anggaran
desa merupakan bentuk kesadaran masyarakat terhadap kelestarian lingkungan
hidup. Apalagi, Desa Sebangau Mulya merupakan kawasan penyanggah Taman Nasional
Sebangau yang menjadi focus kerja WWF Kalteng.
Skema baru
Keberhasilan demplot tanpa bakar itu menjadi inspirasi bagi 354 keluarga
yang tinggal di desa itu. Sebanyak 74 keluarga sudah menyiapkan lahan untuk
mencoba PLTB dengna bibit yang ada. Pekerjaan rumahnya adalah menyiapkan bibit
bagi sisa keluarga.
“Maka, kami siapkan BUMDes yang berbentuk seperti koperasi. Hasil panen
di demplot itu kami berikan semua ke pekerja, baik yang membersihkan maupun
yang panen, tetapi pakai mekanisme baru,” kata Hariwung.
Hariwung menjelaskan, skema itu disebut system bawaon: Sistem ini
merupakan upah tradisional si pemilih lahan ke buruh yang bekerja dalam
pertanian di Jawa. System ini diterapkan dengan skema 4:1, artinya empat karung
padi untuk pekerja dan pemanen, satu karung untuk BUMDes.
Satu karung berukuran lebih kurang 50 kg. satu karugn yang dikumpulkan
di BUMDes dijadikan benih yang dibagikan secara gratis ke masyarakat.
“Tujuan penggunaan dana desa tercapai, semau untuk masyarakat.
BUMDes-nya berkembang, masyarakat mulai mengubah paradigm membakar lahan,” kata
Hariwung.
Desa Sebangau Mulya merupakan salah satu dari 47 Desa Peduli Gambut
(DPG) di Kalteng. Tujugan pembentukan DPG adalah untuk mengubah paradigma
pengelolaan system pertanian menjadi lebih ramah lingkungan, khususnya pada
lahan gambut.
Mengubah paradigm bukan pekerjaan mudah. Namun, kepeduliaan dan
kesadaran terhadap lingkungan mampu mengalahkan kebiasaan yang membawa getir
masa lalu di desa itu. [Sumber : Kompas, Rabu, 10 April 2019 | Oleh : Dionisius
Reynaldo Triwibowo]
Comments