ARKEOLOGI Mengubah Kehidupan Banjarrejao
Warisan peradaban kuno mampu menggerakan ekonomi kampung.
Itulah yang dilakukan Desa Banjarejo,
Kabupaten Grobogan, Jateng. Fosil purba dan artefak megalitikum yang terpendam
di desa itu dimanfaatkan menjadi obyek wisata dan diperkuat dengan festival
untuk menarik wisatawan.
PATUNG Ganesha tidur di kompleks Balai Desa
Banjarejo, Kabupaten Grogoban, Jateng, tak pernah sepi pengunjung. Patung itu
merepresentasikan ilmu pengetahuan yang terkubur ratusan ribu hingga jutaan
tahun di daerah itu.
Patung raksasa berwaran keemasa sepanjagn 11 m dengan tinggi
4,5m itu diresmikan Juni 2018. Patung itu melengkapi Rumah Fosil Banjarejo,
museum mini sejarah purba di Desa Wisata Arkeologi.
“Ganesha dipilih sebagai refleksi bahwa di desa ini pernah
berdiam sebuah peradaban pengetahuan jauh sebelum era Hindu dan Buddha di
Nusantara,” ujar nur Solikin (22), anggota Komunitas Peduli Fosil, Desa
Banjarejo, Kecamatan Gabus, pertengahan Oktober.
Lokasi Desa Banjarejo cukup terpencil. Letaknya sekitar 18
km dari jalan akses Purwodadi-Cepu. Pilihan menuju desa ini hanya dua,
menggunakan mobil pribadi atau sepeda motor. Belum ada angkutan umum daldan
dari pasar sulursari ke Desa Banjarejo.
Namun, penemuan aneka fosil dan artefak kuno sejak beberapa
tahun terakhir membuat desa ini mulai terkenal. Kepala Desa Banjarejo,
mengatakan, semula dai mendirikan Rumah Fosil Banjarejo sekitar tahun 2015 di
pendopo rumahnya. Rumah Fosil menyimpan 700-800 artefak serta fosil fauna dan
flora temuan warga di tujuh dusun.
“Sebagai desa wisata arkeologi, kami punya lima destinasi,
yakni patung Ganesha, Situs Medang, Rumah Fosil, Museum Lapang Purbakala, dan
Buron Londo, yakni bekas pengeboran minyak pada zmaan Belanda. Untuk museum
Lapang Purbakala masih dalam penggarapan dengan anggaran Pemkab Grobogan,” ujar
Achmad.
Penggerak ekonomi
Sejumlah destinas itu mampu menggerakan ekonomi desa. Sejak
dibuka emapt bulan lalu, jumlah wisatawan patung raksasa Ganesha sudah mencpai
90.000 orang. Untuk pemeliharaan, setiap pengunjung dikenai tiket Rp 500 per
orang. Dengan demikian ,total pendapatn rp 300 juta.
Dalam waktu empat bulan, kata Achmad, biaya pembangaunan
patung Ganesha sudah kembali. Patung itu dibuat dari kesepakatan warga dan
perangkat desa dengan anggaran Rp 170 juta. Dana pembangunan berasal dari dana
desa yang dalam tiga tahu nini berksiar Rp 850 juta – Rp 1,2 miliar.
Pariwisata menjadi daya ungkit ekonomi warga. Di sektor
infrasturktur, misalnya, akses ma jalan masuk desa dari jalan utama sepanjang
18 km sudah mlus berkat progaram betonisasi Pembkab Grobogan. Jalan antar dusun
juga kebanyakan sudah dibeton. Di sekitar balai desa tumbuh warung kopi, warung
makan, dan tempat parkir kendaraan bermotor.
Ketua komunitas Peduli Fosil Banjarejo yang akrab dipanggil
Mbah Modin, mengatakan, arkeologi menjadi tema desa wisata di Banjarejo. Sejauh
ini telah ditemukan fosil-fosil hewan purba mulai dari gajah Stegodon, kerang
purba, serta tanduk banteng purba utuh sepanjagn 115cm dan lebar 17cm.
“Belum lagi artefak peradaban Megalitikum, seperti temuan
peralatan dari batu, lesung, pipisan, gandik, dan yoni. Ada juga bola batu
bundar masif berumur 800.000 tahun dan aneka perhiasan emas, seperti kuncup
bunga padma hingga uagn kepeng china yang diyakini bagian kehidupan masa
aninisme pra-Hindu-Buddha di Situs Medang di Dusun Medang,” tutur Modin.
Wisata arkelogi itu dipadukan dengna kearifan lokal. Salah
satunya Festival Jerami Banjarejo yang digelar 17-28 Oktober lalu. Pada
pehelatan itu, ditampilkan 20 figur hewan purba perwujudan fosil-fosil yang
tersimpan di Rumah Fosil Banjarejo. Figur-figur hewan purba ini diarak keliling
kampung. Semua figur dibaut dari jerami.
Melalu festival ini, kearifan lokal petani menyimpan jerami
diharapkan terus diwariskan. Di Banjarejo, petani biasa menyimpan jerami untuk
dibuat pakan ternak atau pupuk.
Berdasarkan pengamatan, para penonton festival banyak
berfoto dengan latar belakang figur-figur hewan purba, seperti banteng, gajah
Stegodon, hiu, buraya, kuda, rusa, hingga burung raksasa serta manusia purba.
Mereka mengunggah foto mereka di media sosial masing-masing. Sepanjagn
perhelatan, tercatat sekitar 5o.000 pengunjung hadir.
Pemdes kini tengah merintis Bumdes untuk menangani kegiatan
pariwisata di desa yang dihuni sekitar 7.000 orang tersebut. Geliat ekonomi
baru ini menahan minat para pemuda meninggalkan desa.
Menahan migrasi
Nur Solikin mengatakan, sebagai anak muda yang cukup lama
merantau di jakarta, kegiatan wisata di desa telah menarik perhatiannya. Kini,
dia berbagi waktu. Saat ada kegiatan wisata seperti Festival Jerami, Solikin
pulang untuk menjadi pemandu wista arkeologi.
“Kalau ditanya pendapatan, saya lebih senang di desa. Selain
Rumah Fosil, saya juga menangani Omah Balung dan Pusat Informasi Wisata yang
keduanya ada di kompleks balai desa. Dari kegiatan ini, saya memperoleh
penghasilan setara kerja di proyek di Jakarta,” ujar Solikin.
Begitu pula Fuad Usman (320, warga yang tinggal dekat balai
desa. Dia menuturkan, sebelum geliat d3sa wisata muncul, dia hanya buruh tani
dengan penghasilan Rp 300.000 per bulan. Saat paceklik, pendapatannya turun
drastis. Namun, kehidupannya berubah sejak dua tahun silam. Kini selain menajdi
buruh tani, dia mengelola lapak usaha suvenir dan mainan tradisional dari pelepah pisang.
“Saya menjual cendera mata kaos dengan motif nama-nama obyek
wisata di Banjarejo. Kasu anak-anak saya jual Rp 35.000 sedangkan dewasa Rp
60.000 per buah. Sejak ada desa wsiata, pendapatan bersih bisa mencapai Rp 5
juta per bulan,” ujar Fuad yang tengah menabung untuk me mbuat kios permanen.
Sementara Salamun, yang juga buruh tani, mendorong istrinya
membuka warung kopi. Dari usaha warung kopi, mereka bisa mengantongi
penghasilan Rp 200.000 per hari. Jauh lebih besar ketimbang upah buruh tani
yang hanya Rp 70.000 per hari.
Bupati Grobogan mengatakan, ide kreatif memadukan bisnis
wisata dengan kearifan lokal akan menumbuhkan ekonomi masyarakat di Banjarejo
dan sekitarnya. Perpaduan itu, mengubah wajah desa sekaligus memakmurkan
warganya. [Sumber : Kompas, Rabu, 21 November 2018|O leh: Winarto Herusansono]
Comments