Jalan Kehidupan bagi Petani


Usaha menuju sejahtera tak cukup hanya samangat dan anugerah alam yang subur. Infrastruktur yang layak juga mutlak diperlukan. Petani Desa Suntenjaya, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, perlahan menapakinya dengan membuat prioritas penggunaan dana desa yang tepat.
KAKI Tua Ema (52) berjalan kokoh di jalna beton selebar 3 m, pecan lalu. Setelah seharian berada di kebunnya, Ema pulang ke rumahnya di Kampung Gondok, Desa Suntenjaya. Tiada lagi ratu khawatir da nlelah di wajahnya yang renta.
“Sekarang jalannya nyaman. Hanya butuh paling lama setengah jam. Sudah ada jalan pintas yang lebih layak. Setahun lalu, dari kebun ke rumah harus memutar hingga 1 km. Paling cepat menghabiskan waktu sejam karena jalannya kecil,” kata petani penanam brokoli, sawi, dan buncis itu.
Keberadaan jalan tadi di Desa Suntenjaya juga dirasakan Acep (39), petani brokoli di Kampung Cibodas. Sebelum ada jalan beton, saat panen ia memi,ul hasi kebunnya. Dari kebun ke rumahnya yang berjarak 1,5 km butuh lebih dari 1 jm untuk mengangkut sayuran seberat 61 kg.
“Sekarang tidak perlu jalan kaki, bisa pakai mobil. Jaraknya juga tidak sampai 100 m,” ujarnya tertawa.
Jalan di Kampung Cibodas dan Kampung Gondok adalah bagian dari 18 jalur baru di Desa Suntenjaya. Total panjangnya mencapai 30 km dengna lebar jalan rata-rata 3 m. pembangunannya menggunakan 70% dari total dana desa 2018 sebesar Rp 1,2 miliar.
Kepala Desa Suntenjaya, Asep Wahyono menuturkan, infrastruktur lahan pertanian mendapat perhatian utama. Berada dekat Gunung Tangkubanperahu, Desa Suntenjaya dikenal sebagai sentra sayur Karena kesuburan tanahnya. Hidup dan mati warga berasal dari tanah yang diolahnya.
Dari total luas desa 1.456,5 ha, lebih dari separuhnya merupakan lahan pertanian. Dihuni 8.164 jiwa, sekitar 60% di antaranya petani.
Akan tetapi, punya tanash subur dan panen melimpah saja tidak cukup. Kesejahteraan ini tidak hanya dilihat dari perekonomian . kenyamanan petani menjalani hidupnya juga harus diperhitungkan.
“Butuh dukungan infrasturktur jalan untuk mewujudkannya. Ada banyak hal yang bisa diraih jika semua itu tersedia,” kata Asep.
Tidak hanya untuk mendukung urusan perut, jalan juga mendukung konsep penjagaan lingkungan. Jalan itu menjadi semacam batas warga bsia bertani. Hal itu bisa dilihat dari jalan yang tiba-tiba berhenti di pinggir hutan. “Tidak disambung karena itu jadi pengingat warga pada batas pengelolaan kebun sayur. Hutan tidak boleh ditanami,” ujarnya.
Agrowisata
Fungsi yang tak kalah penting adalah menjaga napas pertanian dari beragam godaan rupiah. Kuncinya di lebar jalan yang hanya 3 m. artinya jalur ini tidak bisa dilewati dua kendaraan roda empat yang berpapasan.
Menurut Asep, jalan sengaja dibuat tidak lebar demi menghindari lahan warga dijual ke pada pihak luar. “Jika dijual, lahan rentan dijadikan penginapan atau mungkin rumah makan,” katanya.
Bukan mengada-ada, Desa Suntenjaya tidak hanya subur, tetapi juga punya potensi wisata tinggi. Buktinya, banyak tempat wisata alam baru dibangun di sekitarnya. Truk sayur berpapasan dengan busa pariwisata hal lumrah di sana.
Warga memagn tidak menutup diri pada potensi wista. Namun, konsepnya agrowisata dengan petani sebagai pelaku usaha. Kemampuan warga bertani menjadi daya jual utamanya.
Salah satu petani, Ulus Pirmawan (44), pada 2017 mendapat penghargaan dari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO). Dia dianggap sukses menerapkan konsep pertanian ramah lingkungan yang hasilnya lolos ekspor. Komoditas seperti baby buncis, brokoli, hingga sawi sudah dikirim ke Singapura hingga Perancis.
Akhr Januari, panen Ulus kembali mulus. Panen brokoli mencapai 500 gr pr buah dengan bunga brokoli yang padat. Selai ntata kelola tani yang ideal, kualitas sayur yang baik  itu didukung akses ideal.
“Kalau diangkut sambil berjalan kaki ada banyak kendala seperti terjatuh dan barang yang tertindih, sehingga bisa mengurangi kualitas. Kalau jalan bagus, hasil pun berkualitas,” kata Ulus.
Ulus tidak sendiri. Banyak petani sukses lainnya dari Desa Suntenjaya. Ilmu yang mereka miliki bisa menjadi wahana interaksi yang menarik bagi wisatawan dalam dan luar negeri.
“Kini, kami sudah memiliki dua kampong Gondok dan Pasir Angling, sebagai kawasan agrowisata. Setiap akhir pecan selalu ada saja yang datang menikmati alam pertanian desa kami,” kata Asep.
Dengan jalan yang mulus, wisatawan disuguhi perkebunan sayur hingga panorama khas dataran tinggi Bandung. Proses jual beli  sayuran  bisa langsung dilakukan di tempat dengan harga miring. Pengunjung juga ikut merasakan menjadi petani saat memanen sayur bersama warga.
Tahun ini, Desa Suntenjaya bahkan berencana membuka agrowisata baru di Kampung Batuloceng. Kawasan ini punya potensi peternakan sapi perah, pembibitan tanaman, pemanfaatan bahan bakar biogas, dan instanlasi limbah ternak. “Fokus awal membuat jalan baru dari Pasir Angling dan Gandok menuju Batuloceng,” kata Asep.
Jalan baru itu menurut rencana dibuat sepanjang 2 km. Paling lambat rampung tahun 2020. Biayanya kembali diambil dari dana desa. Namun, kali ini hanya 60% dari dana desa yang akan disisihkan. Sebagian dana lainnya, akan digunakan untuk meningkatkan pengetahuan bertani warganya.
“Alokasi infrastruktur memang lebih kecil. Tahun ini prioritas pemerintah pemberdayaan manusia,” kata Asep.
Desa Suntenjaya bisa menunjukkan bertanai punya sejuta manfaat. Dengan penerapan anggaran yang baik dan campur tangan pemerintah pusat, warga desa tikda sekadar bisa memenuhi pangan, tetapi juga bisa menawarkan serunya hidup setia bersama alam. [Sumber : Kompas, Rabu, 13 Februari 2019 | Oleh : Machradin Wahyudi Ritonga]

#Seorang petani tersenyum saat melintasi jalan desar dari lahan pertaniannya di Kampung Gandok, Desa Suntenjaya, Lembang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Selasa (29/01/2019). Jalan keras ini membantu petani mengakses lahan pertanian dan pemasaran.


Comments

Popular Posts