Setia Menjaga Budaya
Sambil membawa ancak berisi kepala
kerbau dan segala ubo rampe di atas tandu, warga Desa Ngadas, Kecamatan
Poncokusumo, Kabupaten Malang, Jawa Timur, berjalan beriringan dari depan rumah
kepala desa menuju Sanggar Agung tempat ritual Unan-unan dilaksanakan, beberapa
waktu lalu. Unan-unan merupakan salah satu tradisi masyarakat Tengger yang
dilaksanakan tiap lima tahun sekali. Unan-unan kali ini jatuh pada tanggal 15
bulan Desta kalender Tengger.
Masyarakat Tengger yang berdiam di
sekitar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Jawa Timur, teguh memegang budaya.
Meski keyakinan mereka kini beragam, kegiatan adat tidak luntur.
Dalam lima bulan terakhir setidaknya
ada tiga upacara adat yang dilakukan oleh warga Tengger yang tinggal di Desa
Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang. Terakhir, mereka baru saja
mengikuti Yadnya Kasada di kawah Gunung Bromo, akhir Juni. Mereka melaksanakan
ritual ini bersama warga suku Tengger lain yang bermukim di wilayah Kabupaten
Probolinggo, Pasuruan, dan Lumajang.
Sebelumnya, pada pertengahan April,
warga juga berbondong-bondong menuju Sendang Widodaren di Taman Wisata Wendit,
Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang. Mereka menuju ke tempat yang berjarak
sekitar 30 kilometer dari desa guna melakukan ritual Grebeg Tengger. Grebeg Tengger
merupakan ritual tahunan sebagai wujud syukur kepada Sang Pencipta dan
penghargaan terhadap alam.
Di luar ritual rutin tahunan, ada
juga ritual adat Tengger yang dilaksanakan lima tahun sekali. Ritual yang
dimaksud adalah Unan-unan. Masyarakat Ngadas—yang tinggal di lereng barat
Gunung Semeru melaksanakannya pada awal Juni lalu.
Semua warga, baik laki-laki,
perempuan, anak-anak, maupun orang dewasa, berangkat bersama menuju punden desa
atau biasa disebut Sanggar Agung dengan membawa ubo rampe kelengkapan upacara.
Diiringi gending ”Kebo Giro”, berdiri di urutan paling depan arak-arakan adalah
para dukun, tokoh adat, perangkat desa, dam pejabat kabupaten.
Selain kepala kerbau yang masih
menyatu dengan kulit dan beberapa bagian tubuh lain, di atas ongkek (tandu)
terdapat seratusan berkat yang dibungkus memakai daun tlotok. Berkat berisi
sego golong (nasi) dan aneka ricikan (kue) itu kemudian diperebutkan warga
seusai ritual yang dipimpin oleh dukun Sutomo. Kepala kerbau dan bagian tubuh
lain kemudian dibawa kembali ke rumah kepala desa untuk dimasak dan dimakan
bersama.
”Hari ini, hampir semua warga tidak
ada yang bekerja, tidak pula ke lahan. Sanak saudara yang tinggal di luar
daerah kalau bisa juga pulang. Apa pun keyakinannya, baik yang menganut Hindu,
Buddha, maupun Islam, mereka mengikuti Unan-unan,” ujar Kepala Desa Ngadas
Mujianto.
Apa yang dikatakan Mujianto
dibenarkan oleh Wistono (60), salah satu warga. ”Ini tidak ada hubungannya
dengan agama. Ini adalah budaya yang sudah berlangsung turun-temurun,” ucapnya.
Rentetan Unan-unan dilaksanakan
sejak sehari sebelumnya dengan pemotongan satu kerbau. Kerbau jantan dibeli
secara patungan oleh warga. Besar iuran bervariasi, mulai Rp 50.000 hingga Rp
110.000 per keluarga, tergantung status sosial.
Unan-unan merupakan tradisi untuk
mendoakan keselamatan desa agar warga dijauhkan dari malapetaka dan hasil bumi
melimpah. Di dalam ritual juga ada permintaan maaf kepada alam atas apa yang
telah dilakukan oleh warga selama ini.
Sedekah agung
Dukun Senetram mengatakan, Unan-unan
kali ini jatuh pada tanggal 15 bulan Desta kalender Tengger. Unan- unan biasa
dilakukan selang 5 tahun 3 bulan atau 5 tahun 7 bulan. Dukun yang usianya masih
muda ini menjelaskan, ada perhitungan (bondanan) tersendiri di kalender Tengger
mengenai penentuan waktu ritual.
”Hanya ada tiga bulan yang biasa
dipakai untuk penyelenggaraan Unan-unan, yakni Karo, Kalima, dan Desta yang
jatuh secara bergantian. Semuanya di tanggal 15,” ujarnya.
Salah satu tokoh adat Desa Ngadas,
Ngatono, menuturkan, Unan-unan juga disebut sebagai ritual mendudukkan tahun.
Durasi bulan pada kalender Tengger berdasarkan penanggalan rembulan adalah
29-30 hari. Artinya, setiap satu bulan ada satu hari yang hilang (hanya 29
hari, tidak genap 30 hari). Jika ditotal, selama lima tahun ada 30 hari yang
hilang (sama dengan satu bulan).
”Karena itu, saat ini bulan Desta
(bulan ke-11) dimajukan menjadi bulan ke-10. Alasannya, untuk membayar satu
bulan yang hilang tadi. Ini namanya mendudukkan tahun dengan melakukan panglawu
(sedekah) agung,” katanya.
Mendudukkan tahun ini punya posisi
penting. Bagaimanapun, masyarakat Tengger tak bisa dilepaskan dari penanggalan
dan hari baik. Hampir semua kegiatan didasarkan pada hitungan hari, seperti
saat membangun rumah, menentukan hari berkhitan, menikah, dan lainnya.
Di luar tujuan untuk mengusir anasir
negatif dan berharap akan kecukupan rezeki, ritual sakral itu telah mengukuhkan
anggapan bahwa masyarakat Tengger masih berpegang teguh pada nilai-nilai
peninggalan leluhur.
Pengajar di Universitas Widyagama,
Malang, Purnawan D Nagara, menuturkan, dalam konteks lebih luas, apa yang
dilakukan oleh masyarakat Tengger merupakan bentuk bagaimana mereka menjaga
lingkungan dengan nilai-nilai. Indonesia negara yang kaya akan budaya
(megaculture), tetapi selama ini penekanannya hanya pada keragaman hayati
semata. Sementara keragaman budaya banyak dilupakan.
”Nah, keragaman budaya inilah yang
justru memelihara kekayaan hayati. Sekarang yang sering terjadi adalah rusaknya
nilai-nilai budaya menjadi penyebab rusaknya lingkungan. Dan warga Tengger
masih teguh mempertahankan nilai budaya itu,” ujar Purnawan yang pernah
melakukan penelitian Kearifan Lingkungan Tengger dan Peran Dukun sebagai Faktor
Penentu Pelestarian Lingkungan pada Desa Enclave Ngadas Taman Nasional Bromo
Tengger Semeru.
Wistono mengakui bahwa nilai-nilai
tradisi masih melekat di masyarakat. Tidak hanya terkait dengan lingkungan,
tetapi juga perilaku sosial. Dia mencontohkan, di Ngadas masih ada tradisi
Petekan yang bertujuan untuk menjaga kesucian gadis-gadis setempat.
Pelanggarnya tidak hanya mendapat sanksi sosial berupa perasaan malu, tetapi
juga harus membayar denda berupa semen. Semen yang terkumpul akan dipakai untuk
memperbaiki infrastruktur.[Sumber : Kompas, Sabtu, 8 September 2018|Oleh: Defri Werdiono]
Comments