GALAU Hadapi Hama Padi


@Rasidi (42) sedang mempersiapkan selang untuk menyalurkan air dari sumur bor ke sawahnya yang akan ditanami palawija, di Desa Parigimulya, Kecamatan Cipunagara, Kabupaten Subang, Jawa Barat, Jumat (21/7).

Sebelumnya, produksi padi di lahan sawah seluas 1 hektar milik Rasidi anjlok akibat diserang hama wereng coklat, tikus, dan penyakit kerdil hampa.
Untuk kesekian kali, sebagian petani di Jawa Barat tertunduk lesu. Minim inovasi dan mitigasi bertani, hama yang setiap hari semakin kuat menghantam harapan mereka untuk hidup lebih sejahtera.
Rasidi (42) dan Wasti (35), istrinya, tak punya teman saat mengolah tanah milik sendiri di Desa Parigimulya, Kecamatan Cipunagara, Kabupaten Subang, Juli lalu. Mereka tak punya uang untuk mempekerjakan buruh guna membantu mereka menanam kacang panjang dan jagung di lahan seluas 1 hektar itu. Buruknya panen padi dua bulan lalu menjadi pemicu.
Rasidi mengatakan, wereng membuat sawahnya gagal memberikan panen 5,5 ton gabah kering giling (GKG) seperti biasanya. Gara-gara sawahnya diserang wereng coklat, ia hanya mendapat sekitar 2 kuintal GKG atau setara Rp 800.000. Jumlah itu jauh dari modal tanam yang harus ia keluarkan Rp 7 juta. Sebagian di antaranya ia dapatkan dari berutang.

“Kalau berhasil panen, bisa dapat Rp 22 juta. Tadinya sebagian uangnya akan dipakai untuk biaya sekolah anak masuk SMP. Sekarang, anak saya sepertinya berhenti sekolah dulu. Banyak utang yang harus dibayar terlebih dulu,” kata Rasidi, lesu.
“Sekarang saya juga libur dulu menanam padi. Saya tanam jagung dan kacang panjang. Meskipun untungnya kecil, yang penting tidak semakin rugi,” ucap Rasidi. Keringat yang membasahi muka semakin memperlihatkan keruwetan hidupnya siang itu.
Wajah murung Rasidi mewakili nasib sebagian petani di Subang, salah satu lumbung pangan Jabar, akibat serangan wereng. Data dari Himpunan Alumni Institut Pertanian Bogor di Subang menyebutkan, sebanyak 6.250 hektar dari total lahan seluas 84.000 hektar di Subang terserang wereng coklat. Sebanyak 750 hektar di antaranya ada di Desa Parigimulya. Kejadian ini seperti ulangan dari hal serupa tahun 1998, 2005, dan 2010.

Meskipun sawahnya berkali-kali diserang hama, Rasidi dan Wasti tak juga paham mengapa itu bisa terjadi. Bibit padi yang mereka pakai diklaim unggulan dan tahan hama. Pestisida Rp 325.000 per botol untuk 1 hektar lahan juga rutin disemprotkan seminggu sekali. Namun, hama semakin ganas tahun ini.
“Saya bahkan sudah sebarkan minyak solar untuk membunuh hama,” kata Wasti, menunjukkan tanah yang kehitaman dan berbau solar menyengat.
Ketua Gabungan Kelompok Tani Sritani Desa Parigimulya Mastam (44) mengakui serangan hama kali ini adalah yang terganas. Kalau dulu masih bisa dapat setengah dari idealnya 5,5 ton GKG per hektar, sekarang hama hanya menyisakan 3 kuintal GKG.

Bumerang
Fakta bahwa hama yang kebal dan tidak mati dihantam pestisida serta gelontoran solar mencemari sawah jelas memicu keprihatinan. Saat hama berevolusi lebih kuat, petani seperti jalan di tempat.
Selain masih menggunakan jalan pintas menggunakan pestisida, nyaris tak ada teknologi baru diterapkan di sawah. Pengairan masih menggunakan selang seadanya. Satu per satu rumput liar masih dicabut tangan-tangan petani.
Keadaan itu diperparah saat manfaat beragam program pemerintah belum dirasakan petani sepenuhnya. Bahkan, ada program yang rentan jadi bumerang jika tak diiringi pendampingan lanjutan bagi petani.
Salah satunya adalah program perluasan areal tanam. Namun, keinginan meningkatkan produksi lewat program itu justru rentan mengundang hama. Ketersediaan makanan setiap saat membuat hama leluasa berkembang biak.
Hal itu dialami Masroni (45), petani Desa Kalensari, Kecamatan Widasari, Indramayu. Keinginan lekas menanam setelah panen terakhir berbuah petaka. Tiga kali menanam ulang, semuanya tanpa hasil. Modal Rp 7 juta habis tak berbekas. “Semuanya gagal tumbuh karena diserang wereng,” katanya.
Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas Pertanian dan Peternakan Indramayu Takmid mengemukakan, daerahnya punya target penambahan areal tanam 258.000 hektar tahun ini. Jumlah itu lebih luas ketimbang luas lahan yang dipanen tahun lalu, 240.000 hektar. Artinya, dengan luas lahan hanya 110.000 hektar di Indramayu, petani harus menanam padi 2-3 kali setahun. Jika tidak diserang hama, rata-rata 1 hektar sawah di Indramayu bisa menghasilkan 6-7 ton per panen.
Program asuransi usaha tani padi yang dijadikan salah satu mitigasi bagi petani juga masih butuh sosialisasi lebih keras. Bertujuan mengurangi risiko kerugian saat gagal panen, banyak petani belum jadi peserta asuransi. Di Parigimulya, misalnya. Pada musim tanam Maret dan April tahun ini, tak ada satu petani pun yang ikut asuransi itu.
“Hingga musim tanam akhir 2016, asuransi usaha tani masih diminati meskipun tak banyak. Saat itu hanya 20 petani dengan kepemilikan lahan seluas 20 hektar yang menjadi peserta asuransi,” katanya.
Penyuluh Pertanian Lapangan Parigimulya, Ruswati Sri Widyastuti, mengatakan, sebagian petani masih enggan menjadi peserta asuransi. Premi Rp 36.000 per hektar per musim tanam dianggap terlalu berat. Padahal, kerugian petani bisa ditekan jika sawah dihajar hama hingga 75 persen. Peserta asuransi bisa mendapat klaim hingga Rp 6 juta per hektar.
“Serangan hama yang muncul sejak Desember 2016 relatif sulit dibasmi. Tanpa asuransi, petani akan semakin sulit untung di tengah cuaca yang tidak bersahabat dan penerapan teknologi yang minim,” kata Ruswati.

Raja tikus
Hal itu juga yang dikhawatirkan Mastam. Tahun ini, hama terus datang seperti tak memberi petani kesempatan bernapas. Belum selesai wereng, tikus datang lagi menebar ancaman. Trauma warga muncul lagi. Sekitar 12 tahun lalu, tikus sukses menggerogoti banyak padi petani “Setelah usaha perburuan tikus tak berhasil, pemilik tanah disarankan tetua desa untuk melakukan ritual khusus mengusir tikus,” kata Mastam.
Saat itu beberapa pemilik lahan, kata Mastam, menyanggupi. Mereka mengitari lahan sawah dengan kondisi tanpa busana tiga hari berturut-turut. Waktunya pada pukul 24.00-03.00. Jika ritual itu dilakukan, mereka diklaim bisa melihat Si Raja Tikus dan membunuhnya. Hasilnya nihil. Cara itu tak berhasil. Tikus tetap saja rakus. Petani tetap gagal panen.
Tanpa solusi efektif, 12 tahun kemudian sejumlah petani tergoda melakukan hal itu lagi meski tahu cara itu dulu tidak manjur. Namun, putus asa mengalahkan logika. Desakan ekonomi membuat ritual tanpa sentuhan inovasi teknologi itu berpotensi kembali jadi harapan. “Warga galau. Setelah semua cara gagal dilakukan, mereka berpikir mungkin tidak salah ritual itu diulang lagi. Kami sudah lelah terus dihajar masalah seperti ini,” kata Mastam. [Sumber : Kompas, Kamis, 24 Agustus 2017|Oleh : Samuel Oktora]

Comments

Popular Posts